Road Barrier bertuliskan “mosi tidak percaya” yang ditulis oleh sejumlah massa aksi di sekitar area Gedung DPRD Jawa Barat, pada Selasa (6/10/2020). Aksi penolakan ini dilakukan setelah DPR RI mengesahkan UU Cipta Kerja, pada Senin (5/10/2020). (Ahmad Fadlan/SM)
Suaramahasiswa.info – Tok! Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna di Gedung DPR RI, hari Sabtu (3/10). Tiga kali ketukan palu oleh Aziz Syamsuddin pimpinan sidang sekaligus pemegang palu sidang menjadi tanda disahkannya UU Ciptaker. Beberapa menit setelah ketuk palu, sosial media, portal berita, dan siaran stasiun televisi menyoroti pengesahan UU Ciptaker.
“Sudah jatuh tertimpa tangga pula” itulah gambaran rakyat Indonesia sekarang. Masalah Covid 19 yang makin merajalela, polemik penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi, hingga dibatalkannya penyelenggaraan liga sepakbola sebagai satu-satunya hiburan masyarakat, ditambah pengesahan RUU Ciptaker ditengah pandemi. Wajar rakyat bertanya “Pemerintah maunya apa sih?”
Di media sosial secara masif netizen menggaungkan tagar Mosi Tidak Percaya sebagai bentuk kekecewaan rakyat terhadap pemerintah. Bukan tanpa alasan, sebelumnya RUU Ciptaker ini banyak mengalami penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Dilansir dari Kompas.com setidaknya ada 74 UU yang akan berdampak buruk bagi rakyat, terutama buruh. Presiden Joko Widodo melalui unggahan Intagramnya, pada Senin (27/4) menginstruksikan agar DPR menunda pembahasan RUU Ciptaker dengan alasan pemerintah sedang fokus dalam penanganan Covid 19 dan mendalami substansi RUU.
Alih-alih fokus penanganan Covid 19, nyatanya tetap saja pemerintah sahkan RUU di tengah pandemi yang belum usai. Wajar pula rakyat marah, sebab pembahasan dan pengesahan RUU Ciptaker ini terkesan terburu-buru. Bahkan paripurna yang kabarnya akan diselenggarakan Kamis (8/10) dipercepat menjadi hari Sabtu (3/10).
Gelombang gerakan massa dan tindak represif aparat
Sebagai bentuk kekecewaan, beribu-ribu rakyat turun ke jalan dan menjalankan haknya sebagai warga negara demokrasi. Massa aksi tergabung dari beberapa elemen seperti mahasiswa, buruh, dan rakyat yang dirugikan oleh RUU Ciptaker ini. Aksi penolakan UU Ciptaker berjalan selama tiga hari, sejak Selasa (6/10) hingga Kamis (8/10). Di Kota Bandung aksi dilaksanakan di beberapa titik, yakni di depan gedung DPRD Jawa Barat dan depan Gedung Sate. Tiga hari jalannya aksi dihiasi dengan bentrokan massa aksi dengan aparat kepolisian. Penangkapan hingga tindak represif aparat tidak bisa dihindarkan pada saat itu.
Sejak hari pertama demo terlaksana, aparat kepolisian telah siaga dan bersiap jika massa aksi yang sewaktu-waktu akan meledak. Berlanjut di hari ke-dua dan ke-tiga, emosi tidak terbendung hingga banyak mahasiswa yang ditangkap oleh aparat kepolisian. Hingga pada suatu waktu aparat menggeruduk massa aksi yang sedang istirahat di kawasan Tamansari Bandung. Saat itu, mereka dengan sembarang menembakkan bom asap, gas air mata dan peluru karet dengan dalih membubarkan kerumunan.
Dua diantaranya menyebabkan fasilitas kampus yang terletak di Jalan Tamansari Bandung yaitu Unisba mengalami kerusakan akibat selongsong bom asap dan peluru karet. Kaca pos keamanan kampus dan gedung perkuliahan nampak pecah. Tak hanya itu, aparat pun melakukan tindak kekerasan terhadap petugas keamanan kampus yang sedang berjaga.
Tindakan represif aparat kepada petugas keamanan kampus jelas melanggar kode etik seorang penegak hukum lantaran posisi aparat pada saat itu tidak sedang terancam jiwanya. Mereka menodai Perguruan Tinggi yang seharusnya merupakan tempat paling aman untuk berlindung, malah diserang oleh aparat kepolisian.
Dengan sebab yang pasti mahasiswa marah, mereka menuntut kepolisian untuk bertanggung jawab dan meminta maaf secara langsung kepada mahasiswa. Kemudian, pada Senin (12/10) Aliansi Mahasiswa Bandung melakukan aksi demo di depan Polrestabes Bandung agar tuntutan nya terpenuhi.
Mahasiswa pun dipengaruhi oleh berbagai distraksi, dan fokus utama perlahan menguap. Dengan segala kebebasan berpendapat dan menyuarakan suara, aksi tersebut wajar dilakukan sebagai bentuk protes. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa jangan mudah terpancing dan teralihkan. Jangan sampai substansi aksi penolakan UU Ciptaker berubah fokus menjadi tuntutan tindakan represif aparat. Sisanya biarkan jalur hukum yang bertindak dengan segala bukti yang tersebar luas dan terpampang nyata.
Dihimbau Kemendikbud
Banyaknya pelajar ditangkap dan sempat mendapat tindak kekerasan dari aparat kepolisian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan surat himbauan nomor 1035/E/KM/2020 perihal imbauan pembelajaran secara daring dan sosialisasi UU Cipta Kerja.
Melalui surat tersebut, Kemendikbud secara tidak langsung melarang pelajar dan mahasiswa untuk tidak ikut berdemonstrasi. Hal tersebut tertulis dengan jelas pada poin ke-empat surat. Dengan embel-embel kesehatan, mahasiswa dihimbau tidak berdemonstrasi sebab demonstrasi dianggap membahayakan keselamatan dan kesehatan mereka. Hal ini kemudian dipandang sebagai upaya politik dalam meredam demonstrasi secara halus. Demonstrasi mungkin berbahaya bagi kesehatan, lebih aman jika pilkada bergulir, menggelar hajatan atau campur sari. Tarik ses!
Selain poin ke-empat, poin ke-lima surat edaran tertulis sosialisasi dan diskusi intelektual mengenai UU Ciptaker pun menyita perhatian. Jika diperhatikan kata mensosialisasikan pada poin kelima terdengar ambigu. Apakah yang sebenarnya harus disosialisasikan, keberadaannya, bahayanya, atau kecacatan dari UU ini?
Kemudian pada poin ke-enam, Kemendikbud meminta para dosen untuk tidak memprovokasi mahasiswa dan terus mengadakan kajian objektif terhadap undang-undang tersebut. Provokasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan yang membangkitkan kemarahan, namun kiranya amarah sudah ada sejak provokasi belum terjadi. Aktor-aktor yang sedang bermain di panggung politik nasional yang menjadi api provokasi yang sebenarnya.
Sempat menjadi bahan pertanyaan tentang kebenaran asal surat edaran tersebut. Kemudian Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nizam, mengkonfirmasi kebenarannya melalui Kompas.com dan Detik.com. Ia membenarkan bahwa surat yang beredar bukanlah rekayasa semata. Lalu melalui laman Tirto.id, Nizam mengatakan kaum intelektual tidak boleh termakan hoaks oleh sebab itu himbauan mengenai kajian ini dikeluarkan.
Jika saja informasi mengenai rapat dan draf undang-undang ini dapat diakses dengan lengkap pada laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pasti dapat meminimalisir kesimpangsiuran informasi yang dituduhkan. Tentu saja hal ini membuat jalan negosiasi yang ditawarkan terasa seperti omong kosong belaka.
Dilansir dari CNNIndonesia.com, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) meminta menteri pendidikan dan kebudayaan, Nadiem Karim untuk mencabut surat himbauan ini. Dengan lantang mereka menolak upaya peredaman gerakan mahasiswa yang merupakan bagian dari pembatasan mimbar akademik. Penolakan datang tidak hanya dari kalangan mahasiswa, para dosen yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law mengecam surat himbauan tersebut.
Ditengah banyaknya narasi penolakan terhadap undang-undang cipta kerja, ada saja upaya yang dilakukan pemerintah untuk meredam suara rakyat. Padahal, dalam perspektif hukum hak menyampaikan pendapat dimuka umum dilindungi di dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menjadi tameng bagi warga negara. Hanya saja, saat ini ada alasan kesehatan yang dapat mengurangi keutuhan berekspresi. Antara pandemi atau memang api semangat sudah mulai padam.
Dosen hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Unisba, Arinto Nurcahyono memberi tanggapan terkait surat himbauan dari Kemendikbud. Baginya surat ini tidak lebih dari sekedar himbauan orang tua yang menginginkan anaknya belajar di rumah dengan baik. Karena sifatnya himbauan, seharusnya hal ini tidak membuat mahasiswa menjadi lesu, sebab ia percaya jika mahasiswa masih memiliki kekuatan semangat yang penuh.
“Slow atuh euy! Maju aja, tidak perlu membuat himbauan ini menjadi suatu yang besar,” ujarnya.
Kemudian ia membandingkan pergerakan mahasiswa terbesar kala 20 tahun lalu. Dalam menghadapi demonstrasi yang sangat besar, represi yang luar biasa telah terjadi, penculikan, penjara, tentara, semuanya dihadapi tanpa rasa takut. Para demonstran saat itu tetap fokus pada tuntutan yang mereka bawa. Tetap berapi-api walaupun tahu yang sedang dihadapi bukanlah persoalan kecil.
Judicial review dan pembangkangan sipil
Setelah mengalami penolakan secara besar-besaran, aksi dan kerusuhan dimana-mana nampaknya hal tersebut tidak lagi digubris oleh pemerintah. Masalahnya RUU Ciptaker sudah disahkan, tak ada ruang lagi bagi rakyat untuk berdiskusi dengan perwakilan rakyat agar UU ini dicabut. Presiden Joko Widodo menyarankan agar pihak yang merasa dirugikan oleh UU Ciptaker ini mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Dilansir dari Pikiran-Rakyat.com, Direktur Eksekutif Lokataru dan ahli hukum, Haris Azhar dalam acara Mata Najwa mengatakan jika menempuh jalur judisial review merupakan hal yang sia-sia. Bagaimana tidak, tiga hakim dipilih oleh Presiden yang merupakan anggota DPR. Sedangkan Presiden dan DPR merupakan pihak yang menyetujui adanya UU Ciptaker ini.
Ketika berbagai jalur yang ditempuh secara benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku tidak diindahkan. Pembangkanan sipil disinyalir merupakan langkah selanjutnya yang ditempuh oleh rakyat yang dirugikan. Dilansir dari laman tirto.id, kelompok buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam golongan bernama Golongan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) melakukan aksi di depan Istana Negara, hari Selasa (20/10). Dalam aksi tersebut GEBRAK mengajak masyarakan untuk melakukan pembangkangan sipil terhadap UU Ciptaker.
Dalam Jurnal Dialektika berjudul Pembangkangan Sipil dijelaskan jika pembangkangan sipil merupakan alat untuk perubahan hukum. Dalam definisi lain pembangkangan sipil ini dilakukan sebagai upaya terakhir untuk merubah suatu undang-undang. Kemudian pembangkangan sipil terjadi ketika tata tertib hukum sering dipreteli sedemikian rupa, sehingga pembangkangan sipil bisa jadi merupakan awal dari sebuah tindakan revolusi. Revolusi yang dimaksud adalah untuk merubah struktur regulasi sosial yang berdampak pada aturan main kehidupan sosial kedepannya.
Elemen masyarakat kembali pada tuntutannya untuk mencabut dan menolak keras UU Ciptaker ini dalam aksi pembangkanan sipil yang dimulai hari Selasa (20/10). Tindakan represif dan intimidasi aparat kepada massa aksi memang hal yang tidak dapat dihindarkan. Namun sekali lagi, jalur tuntutan yang sebenarnya kepada pemerintah. Sesungguhnya pemerintah berlindung di balik tameng aparat, dan aparat menjalankan tugas dari pemerintah. Jangan mau diadu domba, dan jangan mau pula menjadi domba.
Redaksi