Buku Bandung Pop Darlings yang menjadi panduan pegiat skena pop di Bandung. (Ilustrasi: Muhammad Dwi Septian/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba– Buku Bandung Pop Darlings: Catatan Dua Dekade Skena Indie Pop Bandung (1995-2015) merupakan salah satu buku karya Irfan Muhammad atau akrab disapa Irfan Poppish. Rasanya buku ini mesti menjadi panduan dalam menjalani skena pop, khususnya di Kota Kembang. Perkembangan gairah indie pop di Bandung diuraikan dalam buku 400 halaman yang diterbitkan oleh EA Books ini.
Layaknya virus, menurut buku ini istilah “Pop” tersebar dari Inggris dan menjalar ke seluruh dunia, lalu berlabuh di Indonesia melalui pesisir Jakarta dan Bandung. Pada dekade 90-an, muncul istilah indie pop atau di Indonesia dikenal dengan Indies di mana kala itu melekat dengan musik british pop (britpop) yang sedang populer.
Indie pop memiliki kesamaan dengan punk karena eksistensinya lahir dari semangat perlawanan terhadap ide kapitalisme yang sedang tersebar di Inggris. Namun perbedaan di antara keduanya hanya pada stereotip yang melekat. Punk dengan tampilan yang urakan serta keras memberikan kesan garang sedangkan indie pop yang terkesan antitesa dari punk sebagai skena anak ‘culun’.
Kemunculan indies di Indonesia saat era 90-an belum seramai musik arus pinggir seperti punk dan metal karena sumber referensi dari musik indie pop terbilang sulit untuk didapatkan akibat akses yang terbatas. Khususnya di Bandung, skena indies tumbuh melalui britpop lalu tersebar oleh majalah dan pelaku awal skena atau barudak yang sering bergaul di TL (Taman Lalu Lintas) sehabis memainkan skateboard.
Tak hanya itu, sebuah toko buku Q*Ta yang berada di bilangan Jalan Riau, Bandung menjadi tempat referensi anak muda indies. Charlie Jojaya Kusuma merupakan pemilik toko buku ini, beberapa majalah yang terpampang dari luar negeri seperti Thrasher, Select, Spin, dan lain-lain yang menjadi barang istimewa kala itu bisa dibaca dengan bebas. Terdapat juga tempat memutar kaset yang secara langsung menjadi ajang saling tukar referensi musik oleh para anak muda.
Rekam jejak pegiat skena menjadi awal rentetan fenomena perjalanan pelaku skena pop dalam buku ini dapat membuat pembacanya berfantasi merasakan suasana kala itu, apalagi ketika musik yang dibanggakan terdengar di sebuah lantai dansa. “Step On” Happy Mondays yang diputar di sebuah acara dulu membuat penulis langsung memutar lagu tersebut dan ikut merasakan apa yang terjadi dalam buku ini.
Perkembangan aliran musik pop sendiri ditandai dengan munculnya Pure Saturday sebagai prakarsa yang saat itu masih sebatas band sekolah bernamakan Tambal Band. Pure Saturday membawakan lagu alternatif seperti The Cure, The La’s, Gin Blossom, dan Ride di atas panggung memberikan pengaruh bagi referensi musik indies di Kota Bandung. Cherry Bombshell dan Kubik pun tak kalah dengan turut meramaikan skena indies saat itu.
Selain itu, pengaruh britpop yang tergambar dalam buku Bandung Pop Darling memiliki nilai lebih dalam segi berpakaian menjadi pusat perhatian perempuan-perempuan gaul pada jamannya. Stereotip bagi pelaku skena Britpop ini biasanya ditandai dengan apa yang telah dicontohkan oleh band-band andalannya seperti Oasis dengan khas rambut poninya, kasual seperti Blur, bahkan gaya necis yang dibawakan Pulp atau Suede.
Skena indies saat itu terus berkembang pesat akhirnya melahirkan komunitas indies besar di Bandung yaitu tongkrongan Kintam di kawasan Ranggamalela dan Paguyuban Rockers Bandung (PRB) di Dipati Ukur (DU). Keunikan tongkrongan Kintam ditandai dengan gaya nyentrik yang menegaskan identitas sebagai penyuka musik Britpop hingga sering disangka banci oleh anak Saparua. Berbeda dengan Kintam, PRB lebih mengutamakan teknik musik daripada gaya pakaian yang sering digunakan oleh anak-anak Kintam.
Indies sempat dihadapkan dengan titik surut saat banyak skena indies beralih ke aliran musik ska yang banyak digemari pada 1999-2000 awal. Tidak hanya itu, pelaku skena indies mulai meninggalkan roots-nya karena kesibukan bekerja atau lainnya. Namun skena indies tak pernah padam, kelompok-kelompok baru tetap tumbuh walaupun daya dobraknya tidak seperti era sebelumnya. Kemudian bangkit setelah referensi musik indies menjangkau lebih luas dari sebelumnya hingga band indies pun mulai membawakan karya sendiri di pentas.
Munculnya subkultur di Bandung yang diinisiasi memperkuat keterkaitan dengan skena britpop karena memiliki kesamaan ciri khas pada keduanya adalah Mods dan Casuals. Mods yang berasal dari kelas pekerja dengan tipikal tampilan menggunakan setelan jas, cardigans, rambut rapi, dan menunggangi skuter. Fashion, musik, dan skuter menjadi inisiasi acara klub-klub skuter yang dibuat mereka, musiknya tak jauh kulturnya.
Sementara subkultur yang erat dengan paduan sepakbola, musik, dan gaya pakaian layaknya hooligan Inggris pada era 80 hingga 90-an disebut dengan kultur Casuals. Identitas yang dihasilkan melalui pengadopsian kultur Inggris dari punk, skinhead, hingga indies mulai masuk serta fanatisme pada sepakbola lokal Bandung, Persib Bandung. Tak heran jika Subkultur Casuals dipadukan dengan britpop karena hampir memiliki kemiripan dalam gaya pakaian dan musik yang didengar.
Buku Bandung Pop Darlings menjadi saksi momen-momen lengkap lahirnya skena indie pop di Kota Bandung yang mengenalkan penulis kepada pelaku kisah-kisah dalam buku ini. Irfan Popish yang menjadi inspirasi dalam mencari jalan musik yang ia imani tak kalah penulis kagumi. Perjalanan panjang tidak mudah menyelesaikan buku ini, Irfan hanya tidak ingin menjadi seperti yang dikatakan The Smiths, “I Started Something, I Couldn’t Finish”. Beribu respek penulis dibuatnya ketika membaca buku Bandung Pop Darling.
Penulis: Fikri Rizal Naufal/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM