Suaramahasiswa.info, Unisba—Selain Paris Van Java, Kota Bandung dijuluki sebagai Kota Kembang. Di sana-sini memiliki versi yang berbeda akan arti dari Bandung Kota Kembang. Disebut salah satunya karena para perempuan Bandung yang berhasil mencuri hati para lelaki kolonial zaman Hindia Belanda.
Saat itu, tepatnya tahun 1896, Bestuur van de Vereeniging van Suikerplanters (Pengurus Perhimpunan Pengusaha Perkebunan Gula) di Surabaya memutuskan Bandung untuk menjadi tuan rumah Kongres Pengusaha Perkebunan Gula. Namun keputusan tersebut sempat diragukan karena saat itu tidak ada perkebunan dan pabrik gula di wilayah priangan serta jaraknya yang jauh.
Walau begitu, penyelenggaraan kongres gula tetap terlaksana selama tiga hari di Bandung atas sikap optimis seorang wartawan. Ia adalah Fabricius yang berpendapat bahwa kekhawatiran itu tak beralasan.
Kesempatan ini pun digunakan sebaik mungkin oleh seorang Asisten Residen, Pieter F. Sijthoff. Menurut keterangan pegiat Komunitas Aleut dan pemerhati sejarah Bandung, Ariyono Wahyu Widjajadi, pada ayobandung.com, bahwa para peserta kongres diberikan hiburan salah satunya adalah perempuan.
Perempuan-perempuan tersebut berdarah Indo Eropa yang dibawa dari Pasirmalang kemudian didandani. Meski belum jelas sejauh mana peran mereka dalam menghibur para tamu, rencana ini tetap berhasil meninggalkan kesan yang baik hingga Bandung kemudian dikenal dengan sebutan De Bloem der Indische Bergsteden, “Bunganya Kota Pegunungan di Hindia Belanda”.
Pelacuran dan Pergundikan Zaman Kolonialisme
Jauh sebelum itu, praktik serupa yang menggunakan perempuan sebagai hiburan sudah ada sejak abad ke-16. Lelaki kolonial yang datang menjajaki Hindia Belanda sering merasa kesepian dan tidak punya tempat untuk melepaskan hasrat seksualnya. Maka, tak jarang mereka memelihara Nyai–sebutan untuk gundik asing atau istri tidak resmi.
Selain itu, karena tidak semua lelaki kolonial mampu menghidupi seorang Nyai maka muncullah kegiatan seks komersial atau pelacuran. Pada 15 Juli 1852, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan regulasi tentang penanggulangan praktik pelacuran. Hal itu guna mengontrol lebih lanjut praktik yang merajalela tersebut.
Bandung sendiri menerapkan regulasi 1852 ini pada tahun 1857 dengan menugaskan kepolisian mengawasi aktivitas prostitusi termasuk rumah bordil. Selain itu, para Pekerja Seks Komersial (PSK) diberi kartu kesehatan dan setiap minggu diperiksa untuk mendeteksi ada tidaknya penyakit kelamin: sifilis. Sasaran utamanya adalah kelompok militer.
Perkembangan praktik pelacuran di Bandung sejalan dengan berkembangnya pembangunan jalur kereta api yang memudahkan mobilitas tentara dan menjadikan Bandung sebagai salah satu wilayah destinasi wisata. Rumah bordil pun tumbuh subur di sekitar daerah garnisun-garnisun Bandung. Bahkan menurut pengamatan Tio Biau Sing, di sekitar Lembang banyak berdiri rumah peristirahatan sekaligus tempat pelacuran.
Jika berbicara soal pelacuran di Bandung, sepertinya tidak akan pernah terlepas dari lokalisasi yang bernama Saritem (1838-2007). Lokasinya berada di suatu stasiun kereta di Bandung, tepatnya di antara Jalan Astana Anyar dan Gardujati.
Konon Saritem berasal dari nama seorang Nyai yaitu Neng Sari Iteung yang disebut-sebut sebagai dalang prostitusi Bandung. Ia diberi misi oleh tuannya untuk mencari perempuan pribumi agar dapat dijadikan teman kencan para lelaki Eropa lajang. Perempuan yang terkumpul pun semakin banyak dan bisnisnya semakin besar. Hingga membuat perempuan binaannya membuka bisnis serupa.
Di lain sisi, salah seorang budayawan, Budi Dalton, mengungkapkan bahwa Saritem merupakan istri seorang Belanda yang bernama Nyi Mas Ayu Permatasari. Budi mengatakan dalam bukunya bahwa Saritem bukanlah sosok yang dipandang negatif, sebaliknya ia justru berjuang menyelamatkan para PSK dari cengkeraman mucikari.
Terlepas dari cerita itu, praktik yang tak lebih dari “jual-beli” ini jelas memperlihatkan subordinasi perempuan yang dinilai lemah dan hanya sebuah objek berbatas. Perempuan kala itu tidak memiliki kuasa akan tubuhnya sendiri, mereka menjual untuk kehidupan yang diharapkan lebih baik.
Upaya pembebasan dari perbudakan atau dari segala hal yang membatasi suatu individu, terutama perempuan, untuk berkembang disampaikan oleh Raden Ajeng Kartini dalam beberapa suratnya. Di antaranya, yaitu pendidikan yang sama rata antara laki-perempuan, hentikan pandangan inferior terhadap perempuan, dan perempuan berhak bebas.
Penulis: Syifa Khoirunnisa/SM
Editor: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM