Suaramahasiswa.info, Unisba–Konon, selain kuntilanak, terdapat jenis hantu lain yang cukup terkenal di Unisba, ialah “si Noni Belanda”. Kisah tersebut tentunya lekat dengan sejarah Kampus I Unisba yang katanya bekas pemakaman Belanda.
Dahulu, ketika Bandung mendapat status Gemeente (Kotapraja), tepatnya tahun 1906, otonomi diberikan sepenuhnya untuk mengatur kota ini. Beberapa hal pun mulai dikembangkan oleh pemerintah Belanda di Kota Bandung, bahkan hingga ke pemakaman.
Menurut Ridwan Hutagalung, salah satu peminat sejarah dari Komunitas Aleut, terdapat tiga pemakaman berdasarkan keturunan di Bandung. Dalam artikelnya, pemberian status Kotapraja menandai pembukaan dan pemeliharaan kuburan baru bagi keturunan Eropa (Kebon Jahe) di Jalan Pajajaran, kuburan Tionghoa di Cikadut, dan bagi keturunan pribumi di Tamansari.
Sama seperti nasib pemakaman Kebon Jahe, kompleks makam yang ada di Tamansari tersebut dibongkar untuk dijadikan pemukiman dan gedung perguruan tinggi (kemungkinan Unisba). Hal itu diperkuat dengan terbaringnya sebuah makam kuno di antara pemukiman sempit Tamansari.
Mitos jika Kampus I Unisba merupakan bekas pemakaman rupanya bukan hanya candaan horor belaka. Dalam buku Setengah Abad Unisba: 1958-2008, terdapat sebuah foto dengan keterangan “Kampus Unisba Tamansari saat mulai dibangun, 1970-an, di atas kuburan belanda (Kerkoff)”.
Namun, kisah hantu Noni Belanda di Unisba belum bisa disebut sejalan dengan sejarah yang ada. Berdasarkan kisah-kisah, noni tersebut merupakan sosok keturunan Belanda atau Indo, sedangkan dari pemaparan di atas, pemakaman yang berada di Tamansari dikhususkan untuk pribumi. Tentu hal tersebut kurang masuk akal.
Fakta jika gedung Unisba Tamansari bekas pemakaman pun tidak bisa dijadikan alasan mahasiswa untuk takut berkegiatan di Kampus Biru ini, bahkan hingga malam hari. Nalar seorang mahasiswa mestinya tidak menelan kisah mistis mentah-mentah.
Justru, banyak cerita sejarah yang bisa dinikmati dengan menelusuri gedung perguruan tinggi di bekas kuburan ini. Sejarah bukan untuk ditakuti.
Penulis: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM
Editor: Muhammad Irfan/SM