Tri Ramidjo, Seorang yang merasakan langsung pahitnya pengasingan Boven Digul dan Pulau Buru. (Ilustrasi: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM)
Teks Oleh: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM
Judul Buku: Kisah-Kisah Dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru
Penulis Buku: Tri Ramidjo
Penerbit: Ultimus
Digul dan Buru, dua tempat yang memiliki sejarah merah di Indonesia. Trikoyo Ramidjo atau Tri Ramidjo adalah orang yang pernah mengecap pengalaman di kedua tempat tersebut. Ia menuliskannya menjadi puluhan judul cerita, kemudian dituangkan ke dalam sebuah buku berjudul “Kisah-Kisah Dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru”.
Ketika berumur setahun (1927), Tri yang masih bayi sudah harus menempuh perjalanan panjang dari Pulau Jawa ke Tanah Merah, Boven Digul, Papua. Boven Digul sendiri merupakan daerah kamp pengasingan bagi para Tapol yang dianggap melawan pemerintahan Hindia Belanda di era 1926-1927.
Masa Kecil di Digul
Tri mesti diberangkatkan ke sana bersama ibu dan saudara demi menemani ayahnya, Dardiri Ramidjo, yang merupakan Tapol. Mereka bersama dengan keluarga bernasib sama lain (Interniran) berangkat menggunakan salah satu kapal perang milik Hindia Belanda, Kruiser Java, pada Maret 1927.
Setelah tujuh hari berlayar, mereka sampai di Tanah Merah sebagai rombongan Interniran gelombang kedua. Di sana telah berdiri barak-barak hasil rombongan Interniran pertama. Pendaratan ini merupakan penanda awal kisah Tri kecil di tanah yang penuh dengan malaria dan berbagai bahaya tersebut.
Pada masa itu, Boven Digul memang masih berupa belantara hutan dan rawa yang dialiri oleh sungai lebar. Di dalamnya tersimpan mara bahaya seperti penyakit mematikan, hewan berbahaya, dan suku-suku pedalaman kanibal di zamannya. Sungai Digul pun diisi oleh buaya kuning yang ganas.
Meski penuh kepahitan, Tri menggambarkan kisahnya di Digul dari perspektif anak kecil. Cerita ini tidak diisi dengan konsolidasi, perjuangan massa, atau hal-hal berat lainnya, melainkan berisi tentang kerukunan, etika, solidaritas, dan kebaikan antar sesama Interniran Digul. Menurut Tri, sudah banyak buku-buku tentang Digul tetapi beberapa kisahnya terlalu melebih-lebihkan kekejaman Hindia Belanda.
“Tidak ada penjara. Belanda tidak sekejam Soeharto dan masih punya rasa perikemanusiaan.” Begitu tulisnya.
Setelah 13 tahun menemani ayahnya di Digul, tepatnya 1940 ketika Jepang mulai menggantikan Belanda, Tri bersama ibu dan saudaranya dikembalikan ke Jawa. Ayahnya tidak dapat ikut karena beberapa orang ditarik oleh pihak Belanda ke Australia untuk dijadikan serdadu milisi pribumi. Tri melanjutkan kehidupannya di Pulau Jawa hingga beristri dan punya anak.
Masa Muda di Buru
Suatu pagi, dua jam lewat tengah malam di rumahnya, ia ditangkap dan diangkut ke Markas Besar Angkatan Kepolisian, Jl. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dirinya ditangkap atas tuduhan terlibat G30S karena anak dari anggota PKI dan rekam jejaknya di Digul. Dalam tulisannya, ia mengakui dirinya anak PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1971 Tri ditempatkan di Unit 14 Bantalareja, Pengasingan Pulau Buru. Kemudian ia dipindahkan ke Unit 15 Indrapura yang konon diisi oleh orang-orang keras kepala. Unit yang berada di atas bukit ini berisi 500 orang dan terbagi menjadi 10 barak.
Dalam kisah Buru ini, Tri lebih menggambarkan tentang perjuangan, kreasi, dan trik-trik para Tapol untuk dapat bertahan hidup di Pulau Buru yang penuh tekanan. Contohnya, ketika Unit 15 yang berada di atas bukit itu minim air, mereka membuat instalasi sederhana untuk mengalirkan air dari gunung. Di dalamnya pun banyak diceritakan latar belakang orang-orang yang ditemuinya di sana.
Tri juga menceritakan siksaan-siksaan yang diterimanya bersama Tapol lain di Buru. Bahkan, sebelum berangkat ke Pulau Buru dirinya mendapat siksaan berat saat diinterogasi. Selain penyiksaan fisik, Tapol-tapol di pulau ini tidak mendapatkan persediaan bahan makanan layak meski telah melakukan kerja (paksa) setiap hari.
Ini Bukan Buku Sejarah
Kisah-kisah yang dituliskan Tri Ramidjo ini sepenuhnya subjektif berdasarkan pengalaman yang dialaminya. Awalnya ia hanya membagikan kisah hidupnya ini melalui surel ke teman-temannya. Dirinya pun tak menyangka ada penerbit yang ingin membukukan ceritanya.
Meski subjektif, pembaca bisa menjadikan kisah ini sebagai bahan renungan. Pembaca akan terbawa ke dalam perspektif dan perasan seorang korban dari kejamnya hegemoni politik. Seperti yang dituliskan oleh Jakob Sumardjo, seorang tokoh filsafat, dalam kata pengantarnya di buku ini. “Di situlah baru anda mengadili ‘secara objektif’ diri sendiri dan yang lain itu.”
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM