
Foto : Ilustrasi main hakim sendiri. (Fadhila N. Rizky/SM)
Suaramahasiswa.info – “Maling, maling, maling!” teriak warga. Seketika jalan di sekitar masjid itu ramai oleh warga. Di tengah kerumunan itu seorang pria dihujani pukulan dan tendangan dari puluhan warga. Setelah dihajar, si pria dimandikan bensin, lalu api berkobar, mengakhiri aksi main hakim sendiri.
Perkara semacam ini tak hanya terjadi sekali, aksi main hakim sendiri sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Abi Qowi, salah satu korban main hakim sendiri yang juga kehilangan nyawanya akibat dikeroyok karena dituduh mencuri rokok elektrik senilai Rp 1,6 juta. Selain itu, seorang penjambret kalung seberat 10 gram di Cirebon yang bernama MD Suwadi pun langsung dibakar di pinggir jalan.
Dilansir dari data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK), jumlah konflik main hakim sendiri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2013 terjadi sebanyak 2734 kasus, lalu tahun 2014 meningkat hingga mencapai angka 4306 kasus, dan mulai menurun pada tahun 2015 dengan jumlah 1125 kasus. Korban tewas rata-rata mencapai 191 orang setiap tahunnya.
Budi Rajab, dosen Antropologi Unpad berpendapat fenomena sosial tersebut timbul karena beberapa faktor. Salah satunya masyarakat yang emosional disebabkan maraknya kriminalitas, namun penegak hukum dianggap lambat dalam bertindak.
“Sebenarnya bisa saja main hakim sendiri dicegah dengan saling tegur di lingkungan masyarakat. Tapi kebanyakan orang masih takut untuk saling mengingatkan, karena seolah-olah kan ikut campur,” ungkapnya saat ditemui di Gedung Fisip Unpad, Jl. Raya Sumedang KM 21.
Pendapat yang senada dilontarkan oleh Umar Yusuf, menurutnya perkara ini terjadi sebagai bentuk kekecewaan masyarakat atas hukum yang tidak konsekuen. Ia pun menjabarkan, jika membahas ihwal faktor penyebab terjadinya main hakim sendiri, subjeknya jelas beragam.
“Ya kalau ditinjau dari faktor psikologisnya, mungkin saja pelakunya itu memiliki kepribadian psikopat. Tapi secara umumnya, tindakan ini berawal dari merasa kecewa hingga akhirnya frustrasi maka munculah langkah agresi itu,” tutur Kepala Pusat Pelayanan Psikologi dan Pengembangan Kepribadian (P4K) ini.
Umar juga menceritakan, tak hanya faktor pribadi tetapi segi lingkungan sosial pun dapat mempengaruhi seseorang melakukan main hakim sendiri. Pengaruh sosial itu dapat berupa kurangnya pendidikan moral di lingkungan keluarga dan keterikatan dengan suatu kelompok di masyarakat.
Main hakim sendiri tak sebatas melukai korbannya, para pelaku pun dapat dijerat tuntutan pasal 351, 170, 187, dan 406 KUHP. Berisikan hukuman mengenai penganiayaan, kekerasan, pembakaran, dan perusakan. Maka perilaku main hakim sendiri ini jelas termasuk tindakan yang mencederai hukum dan keadilan.
“Cara paling ampuh mengatasi main hakim sendiri agar tidak membudaya di masyarakat ya, dengan kontrol sosial atau tindakan hukum yang tegas,” tutup Budi Rajab.
*Ditulis oleh Delinda Ardelia, mahasiswa Fikom Unisba 2016