Oleh Rinaldi Fitra Riandi
“Jadi orang gede menyenangkan tapi susah dijalanin,” ujar seorang anak perempuan sambil memutar sedotan di gelas berisi jus jeruk.
Penutup pariwara dari sebuah provider telekomunikasi ternama itu masih terpatri jelas di ingatan saya sampai hari ini. Meski pariwara itu lama tak tayang, saya mengamini bahwa dunia orang dewasa–di bawah sistem ekonomi-politik kapitalisme–-sungguh tidaklah menyenangkan.
Masa-masa remaja penuh cerita akan purna. Seiring berjalannya waktu, kawan-kawan segendang-sepenarian pergi satu per satu. Memasuki bursa tenaga kerja untuk menjual tenaga, pikiran, dan waktu kepada majikan si pemilik modal. Tak ada yang tersisa, selain kenangan indah di masa lalu.
Sementara, sanak keluarga di rumah berharap agar kita memiliki karir gemilang dan menjadi jutawan dadakan. Kita terus berpacu dengan waktu untuk mencari lowongan pekerjaan (loker). Tapi tak sedikit yang memahami bahwa memburu loker di Indonesia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sekalipun ada, tak jarang kita menemukan lowongan kerja yang memiliki syarat dan ketentuan membikin kita menghela nafas dalam-dalam.
Sebagai contoh, perusahaan sedang mencari posisi graphic designer dan mensyaratkan agar para pemburu loker berpenampilan menarik, usia maksimal 25 tahun, berpengalaman minimal 1 tahun kerja, mampu mengoperasikan corel-adobe-canva-Tik Tok-Instagram-kapal titanic, mahir fotografi dan videografi, mampu bekerja di bawah tekanan sampai mampu mengendalikan air-api-angin-tanah. Dengan beban kerja selangit, majikan hanya memberi sebesar 3 juta rupiah tanpa ada jaminan sosial dan kesehatan.
Kabar tidak baiknya, lowongan kerja semacam ini sangat banyak. Perlu bukti? Kamu tinggal buka saja Google, buat kata kunci “lowongan kerja graphic designer” lalu klik. Perhatikan seksama lowongan-lowongan kerja itu, dijamin seketika kamu bersungut-sungut mengingat Tuhan dengan segala kuasanya.
Barangkali kejengahan itu juga dirasakan oleh Leonardo Olefins Harmongan seorang pemuda berusia 23 tahun. Ia menggugat pasal 35 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi sejak Maret silam.
Laporan BBC terbaru menuturkan, kala itu sesudah Leo menamatkan studinya, ia mencari lowongan pekerjaan sebagai staf legal. Saat memburu loker, alangkah terkejutnya Leo menemukan sebagian besar loker mencantumkan syarat batas usia maksimal 23 tahun. Penemuan hal ganjil tersebut, pendek kata, mendorong Leo memeriksa kembali pasal-pasal ketenagakerjaan dan memantapkan hati menggugat pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Masih dari sumber yang sama, pasal yang berbunyi “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.” Menurut Leo adalah biang keladi munculnya batasan usia maksimal. Bahkan syarat berpenampilan menarik yang tak ada kaitannya dengan suatu pekerjaan
Namun, tak dinyana, gugatan itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Melansir Kumparan.com, Hakim menjelaskan bahwa hak asasi manusia dikatakan sebagai tindakan diskriminatif apabila terjadi pembedaan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Dengan kata lain, batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan tidak terkait dengan batasan diskriminasi.
Dari sekian banyak hakim yang menolak gugatan Leonardo, Hakim Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda. Menurut Guntur, seharusnya seluruh hakim mengabulkan sebagian gugatan Leo. Ia merujuk konvensi International Labour Organization (ILO) dan UU 13 tahun 2003 tidak mengatur soal batasan usia kerja.
Hakim Guntur Hamzah menambahkan bahwa syarat a quo adalah bentuk diskriminasi dalam mencari lowongan pekerjaan. Senada dengan pendapat sang hakim, kemunculan syarat “berpenampilan menarik” , “mampu mengerjakan banyak job desk”, dan kata kunci ajaib lainnya hanya akan memperparah pelanggaran hak buruh serta kejahatan seksual makin terjadi, khususnya terhadap buruh perempuan.
Inikah Masa Depan Dunia Kerja?
Di saat yang bersamaan, sebelum Leonardo menggugat batas usia kerja mencuat, para pengurus publik terus mempromosikan wacana generasi emas 2045 di tiap linimasa media sosial hingga pidato-pidato kenegaraan. Jika tak mau berburuk sangka, barangkali para pengurus publik menginginkan generasi muda mengadopsi semangat kemerdekaan empat-lima dalam membangun negeri.
Mungkin dalam benak pengurus publik, potret generasi emas 2045 adalah Elon musk, Lionel Messi, Nikki Zefanya, Olivia Rodrigo, atau siapapun yang memiliki reputasi harum di bidang yang digelutinya masing-masing. Niat yang sangat mulia sekali. Tak ada yang aneh pula. Tapi seperti pepatah orang tua dahulu, ada kalanya mimpi pun harus berpijak ke bumi.
Sementara para pengurus publik asyik dengan mimpi indahnya, kehidupan terus berjalan. Para pelajar universitas, yang sehari sebelumnya berfoto dengan senyum menyungging di bibirnya sambil mengenakan toga wisuda, harus terbangun di pagi hari demi mendapat antrian di job fair yang diselenggarakan di sebuah auditorium yang penuh sesak.
Di waktu yang lain, seorang perempuan pelajar universitas buru-buru memacu kendaraan motornya menuju kedai kopi untuk bekerja menjadi barista. Serupa naruto dengan bunshin-nya, selepas pulang ia bekerja demi mencari penghasilan tambahan untuk menambal biaya pendidikan. Di tempat lain, beberapa orang yang tak dikenal namanya, hanya bisa merenungi nasibnya kala sanak keluarga sudah menyerah dengan kenaikan biaya yang terus melonjak harganya.
Mereka yang saya ceritakan memang generasi emas 2045, seperti apa yang diimpikan pengurus publik. Mereka, anak muda, adalah bonus demografi yang dipersiapkan untuk menjadi generasi muda yang berkualitas, kompeten, dan berdaya saing tinggi. Mantra ini selalu dibawa oleh para pengurus publik di forum dagang dunia untuk meyakinkan investor menanamkan modalnya.
Bagi para majikan, bonus demografi adalah melimpahnya populasi buruh di suatu wilayah. Karena menurut perhitungan mereka, semakin banyaknya barang (baca: buruh) maka akan semakin murah harga yang didapatkan. Pendek kata, wilayah Indonesia dipandang mereka tak lebih sekedar pabrik produsen buruh murah dan patuh.
Kondisi ini jelas menguntungkan majikan, mereka dapat mempertahankan populasi buruh yang melimpah ini dengan mempekerjakan sebagai buruh dan membiarkan yang lain tidak bekerja di tempat produksi. Hal ini bertujuan agar besaran upah dan kebutuhan hidup buruh tetap stabil dan tidak merangkak naik.
Saat kondisi bisnis memburuk, mereka tak akan segan memecat buruh atau mengotak-ngatik status kerja para buruh. Status kerja sangat berpengaruh, semakin kecil upah atau hak lainnya yang didapat.
Para majikan tidak mencari banyak buruh untuk bekerja, itulah politiknya. Mereka hanya memerlukan mungkin seperempat populasi yang bisa mengerjakan banyak hal, berusia muda, dan bersedia patuh pada setiap perintah. Maka tak mengherankan, apabila kita melihat banyak sekali loker yang mencantumkan persyaratan tak masuk akal.
Tapi yang lebih tidak masuk akal lagi. Seorang pemuda berusia 36 Tahun di Desa Sukarnagara dapat mencalonkan diri dalam pemilihan ketua RT dan ia terpilih pula. Padahal batas usia calon minimal berusia 40 Tahun. Beredar kabar di kalangan warga, sang paman “membantunya” untuk meloloskan diri dari syarat batas usia.
Penulis bekerja sebagai buruh perakit kata di RAW STUDIO Cooperative, Bandung.