Seperti namanya, Pemilu, yang membuat pilu
Jalanan telah dipenuhi baliho, pepohon ditempeli poster yang berisi janji, dan kolom komentar media sosial pun menjadi medan perang relawan pemenangan. Fenomena lima tahunan yang menjadi tanda, Pemilu sebentar lagi.
Pesta demokrasi ini biasanya membuat tensi kehidupan bermasyarakat naik. Sebuah hal wajar jika masyarakat pada umumnya begitu bersemangat dalam menyambut dan menjagokan pilihannya di Pemilu. Pasalnya, calon-calon terpilih nanti akan menjadi pemegang kendali haluan negeri ini.
Lalu bagaimana dengan mahasiswa? Mayoritas dari kelompok terpelajar ini merupakan pemilih pemula. Artinya, kebanyakan mahasiswa belum memiliki pengalaman sebagai pemilih di Pemilu sebelumnya. Kalangan pemuda-mahasiswa pun menjadi lahan basah bagi para calon dalam mencari suara karena jumlahnya yang cukup mayor.
Mahasiswa dan Haluannya
Meski pemula, mahasiswa sepatutnya memiliki analisa jernih dalam menentukan ke arah mana pakunya akan menancap di bilik suara nanti. Jangan sampai paku asal menancap di salah satu sosok gegara sempitnya pemikiran atau bertaruh dengan mantera ‘cap-cip-cup’ ala bocah ingusan .
Selain pikiran, nurani seorang mahasiswa mesti terasah untuk menentukan sikap di masyarakat. Sialnya, benturan pragmatisme adalah bongkahan es yang cukup kuat untuk menggoyangkan–bahkan menggeser–nurani seorang mahasiswa. Fenomena di muka pun menjadi kesempatan tiap koalisi untuk memengaruhi mahasiswa.
“Aku bingung kenapa politik di Indonesia tidak menampilkan hal yang sebenarnya gitu, tanpa ada embel-embel seperti itu, maksudnya politik transaksi, sebenarnya kan ada cara lain tapi entahlah cuma aku memandangnya konyol aja, makannya aku ikut-ikutan politik cuman buat duit doang,” kata Mario (bukan nama asli), seorang buzzer dari kalangan mahasiswa ketika menjelaskan politik menurut pandangannya.
Ihwal Gerakannya
Sebagai kelas menengah, mahasiswa memang berada di antara dua kutub yang saling berkontradiksi, yaitu bawah dan atas. Karena semangat muda serta jiwa merdekanya, mahasiswa kerap diidentikan dengan gerakan populis. Hal itu pun sesuai dengan fitrah ilmu pengetahuan yang mesti bertujuan untuk memudahkan hidup masyarakat.
Reformasi ‘98 yang sering dibanggakan mahasiswa–meski hanya indah sebagai roman–merupakan bukti peran mahasiswa di tengah masyarakat. Gerakan mahasiswa dengan spektrum politik berbeda-beda begitu terkonsolidasi untuk tujuan yang sama. Namun kaburnya arah gerak membuat gerakan mahasiswa kini terasa lesu.
Sangat mengkhawatirkan, melihat gerakan mahasiswa yang tengah lesu akan berhadapan dengan arus hebat dari pusaran Pemilu. Apa akan terseret, terpecah, hingga terombang-ambing? Tentu sekalian pembaca yang budiman tak menginginkan hal itu terjadi, bukan?
Sikapnya: Epilog
Mungkin pembaca sekalian bertanya-tanya, bagaimana mahasiswa menghadapi pusaran itu? Apakah mahasiswa mesti menjadi golput untuk terhindar dari pusaran? Tentu tidak! Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mahasiswa merupakan manusia terpelajar.
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”
– Pramoedya Ananta Toer
Dalam konteks Pemilu, adil bukan berarti mencoblos semua calon–setidaknya tak semudah itu. Sikap adil bisa mahasiswa terapkan dengan membolak-balik setiap sisi dari pilihan yang ada guna membuat analisis menjadi lebih komprehensif. Setelahnya, pilihan menjadi hak pribadi seorang mahasiswa.
Selamat merayakan pesta ini, dengan atau tanpa pilihan.
Redaksi
*Diolah dari berbagai sumber