Ilustrasi unggahan salah satu Capres di media sosialnya. Kini banyak banyak politisi yang menggunakan jasa buzzer untuk mendukungnya di media sosial, bahkan pekerjaan itu pun banyak dilakoni oleh mahasiswa. (Ilustrasi: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba— Menjelang kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, aktivitas kampanye politik secara digital sudah diramaikan, salah satunya oleh buzzer yang posting dan komen sana-sini, baik untuk meninggikan pihaknya atau menjatuhkan pihak lawan.
Secara etimologis buzzer berarti lonceng atau alarm yang berfungsi memberikan tanda. Istilah buzzer dalam hal ini disebut-sebut sebagai seseorang yang memiliki pengaruh tertentu untuk menyatakan suatu kepentingan. Dianggap efektif, semenjak Pemilu 2014, jasa buzzer mulai dilirik aktor-aktor politik.
Salah satu mahasiswa Universitas Islam di Bandung, Mario (bukan nama sebenarnya), mengaku kini tengah melakoni sampingan sebagai buzzer sekaligus koordinator buzzer salah satu pasangan Capres dan Cawapres 2024 sejak bulan Oktober lalu. Ia beralasan menerima pekerjaan tersebut karena besaran uang yang dijanjikan.
“Kalau dari total keseluruhan itu pokoknya dapat Rp 700.000 sebulan, satu akun itu Rp 150.000 cuman aku bikin beberapa akun, sebenarnya aku ngerjainnya empat akun, sih, cuman koordinator itu dapet bonus jadi meskipun enggak ngerjain juga tetep dapet,” ujar Mario saat diwawancarai di Sekretariat Suara Mahasiswa.
Selain mahasiswa yang seumuran dengannya, ada juga siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan paling tua sekitaran mahasiswa semester 15. Pekerjaan itu diminati karena syarat yang mudah. hanya perlu memiliki akun di lima media sosial, tidak ada patokan usia yang diatur.
Pekerjaan itu dilakoni Mario sejak mendapat tawaran dari salah satu senior di kampus. Kegiatan yang mesti dilakukannya pun cukup aktif, setiap hari dirinya harus memberikan like dan komentar pada akun atau berita yang mengarah kepada salah satu Capres pihaknya. Aksi itu dilakukan di beberapa platform media sosial, seperti Tiktok, Youtube, Instagram, X, dan Facebook.
“Jadi saya harus like semua hal yang berhubungan dengan beliau (Pasangan Calon yang didukungnya, Red), entah itu baik atau buruk, kalau postingannya positif, komen seperti penjilat kaya mengagungkan beliau lah, nah kalau postingannya negatif biasanya dikasih kisi-kisi dari atasan untuk menjawabnya,” ungkap Mario saat diwawancarai pada Kamis, (09/11).
Selain itu, terkadang ia pun diberi beberapa foto dan video salah satu Capres oleh atasannya untuk diposting di akun X atau Tiktok miliknya. Nantinya, seluruh kegiatan yang sudah dilakukan harus dimasukkan ke dalam Google Drive berupa tangkapan layar sebagai bukti.
“Kalau disuruh posting biasanya aku pake akun pertama, tapi setelah diposting aku screenshoot dan aku hapus lagi karena yang penting ada bukti aja untuk dimasukin ke Google Drive, kecuali kalau postingan yang ada jangka waktunya biasanya pake akun fake atau bikin akun baru,” jelas Mario.
Meski begitu, Mario mengaku bahwa Capres yang sedang dirinya “dukung” saat ini bukanlah orang yang akan ia pilih di Pemilu 2024 nanti. Di sisi lain, dirinya memandang politik Indonesia sebagai hal yang konyol dan membingungkan karena hanya menampilkan kebohongan. Menurutnya, fenomena seperti ini hanya membuat ruang bagi politik transaksi.
“Aku bingung kenapa politik di Indonesia tidak menampilkan hal yang sebenarnya gitu, tanpa ada embel-embel seperti itu, maksudnya politik transaksi, sebenarnya kan ada cara lain tapi entahlah cuma aku memandangnya konyol aja, makannya aku ikut-ikutan politik cuman buat duit doang,” ungkapnya.
Reporter: Melani Sri Intan & Syifa Khoirunnisa/SM
Penulis: Melani Sri Intan/SM
Editor: Syifa khoirunnisa/SM