Banjir setinggi paha orang dewasa di Jalan Kopo Sayati Gg Hj Mustofa RW 07A kecamatan Margahayu Selatan, desa Margahayu pada Minggu (29/3/2020).
Kini suasana malam hari bukan lagi ditemani derik jangrik, bukanlah waktu yang tepat untuk tidur cantik agar bisa #workfromhome esok hari. Hal itu diakibatkan tingginya curah hujan, dan jebolnya tanggul wilayah kami (Kopo Sayati, tanggul Cikahiyangan). Bayangkan saja, larut malam, beberapa warga tengah mengelurkan air dari dalam rumahnya, bagai perahu bocor hendak tenggelam.
Esok hari pun tiba, penulis melihat wajah memerah korban banjir menahan capek ketika malam. Sinar mentari menjadi kebahagiaan untuk kami. Namun, tak lama kami bertemu sore, hujan deras kembali menghampiri. Dengan sigap air menghantam rumah dan perabot yang ada.
Dampak banjir ini membuat beberapa masjid daerah kami memberikan informasi terkait pengungsian. Bagaimana tidak, banjir membuat beberapa dari kami terpaksa tidur disana karena lenyap di rendam air yang masuk kedalam rumah.
Ada juga yang rela tidur didekat kandang ayam karena rumahnya terendam habis. Masjid pun ramai dengan pengungsi, pedagang, ibu rumah tangga yang menyusui, kakek dan nenek.
“Ah boro-boro tidur, di masjid berisik banyak yang ngorok, belum lagi kepikiran perabotan dirumah takut kerendem,” ujar seorang kakek.
Bagaimana bisa kami diam di rumah saja, kalo beberapa warga akibat banjir harus pontang- panting kebingungan mencari tempat untuk tidur. Menjadi dilema besar banjir ini berbarengan pandemik Covid-19 yang tengah mengancam 7 miliar penduduk dunia.
Jika wilayah kami terus seperti ini, physical distancing hanyalah angan-angan, malah kami akan banyak bersentuhan fisik dengan sesama. Bahu-membahu satu sama lain, kerja bakti, hingga mengungsi.
Tak hanya itu, untuk mempertahankan imun tubuh? bagaimana kami korban banjir. Dapat dibayangkan, beragam sampah seperti sisa makanan, popok hingga kotoran manusia hanyut bersama aliran air. Jadi, kami bukanhanya berperang dengan Covid-19 melainkan mikroorganisme lainnya seperti E.coli, Cyptosporidium, Hepatitis A, Kolera, dan banyak lagi.
Lagi-lagi dilema kita alami. Bingung harus bagaimana, namun tetap secercah harapan kami tujukan pada pemerintah setempat, agar kami pun bisa dengan tenang melakukan karantina dirumah saja dan physical distancing.
Bisa dilihat, BPDD Jawa Barat mencatat ada tujuh lokasi banjir yaitu, kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Katapang, Soreang, Banjaran, dan Majalaya. Dari catatannya, banjir tersebut berdampak terhadap 9.659 rumah warga, 38 tempat ibadah, dan 26 sekolah. 11.944 kepala keluarga atau 42.352 jiwa terdampak.
Selain itu, ada juga warga yang mengungsi ke posko pengungsian sebanyak 73 KK atau 229 jiwa yang mengungsi akibat banjir tersebut. Untuk tidur nyaman pun tidak bisa dilakukan korban banjir, sekali lagi, bagaimana mau pshycal dintancing, Work From Home (WFH), dan Stay safe?
Setelah penulis banyak digembor dengan pemberitaan di televisi, koran, dan media sosia mengenai korban Covid-19 terus saja bertambah. Dari tulisan ini, penulis berharap untuk masyarakat Indonesia berkaca kepada kami korban banjir. Lakukan physical distancing dengan tertib, lakukan apa yang diperintahkan pemerintah dengan baik.
Penulis: Puspa Elissa Putri