Sengkarutnya pemikiran manusia dalam membahas eksistensi. (Ilustrasi: Muhammad Irfan/SM)
Oleh Novanda Jessa
Setiap manusia pernah merasa dirinya ‘berbeda’, seperti orang luar yang asing dengan orang-orang di sekitarnya. Bila hidup di suatu tempat baru, perasaan ini biasanya muncul. Akan tetapi, menjadi ‘berbeda’ tampaknya bukan hanya kondisi sementara, melainkan juga bisa menjadi kondisi permanen manusia.
Bayangkan jika dirimu tiba di suatu tempat yang baru, hidup bersama orang-orang yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Perasaan bahwa dirimu merupakan orang luar yang ‘berbeda’ akan muncul. Tentu saja ini kondisi normal. Adapun yang tidak normal adalah jika perasaan itu muncul di antara orang-orang yang sudah kamu kenal seumur hidup ini, Seperti, orang tua, saudara, dan tetangga.
Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman, menyatakan dengan jelas, bahwa manusia adalah makhluk yang ‘ada-di-dunia’. Manusia adalah makhluk yang mendunia, karena dengan mendunialah manusia justru menjadi manusia. Tidak ada dunia tanpa manusia, dan tidak ada manusia tanpa dunia. Akan tetapi jauh di dalam hati kita, kita tahu bahwa kita lebih dari sekedar dunia. Manusia adalah bagian dari dunia, sekaligus lebih daripadanya.
Dalam bahasa fenomenologi eksistensialis, manusia itu selalu memiliki kemungkinan untuk retak dengan dunianya. Keretakan itu menciptakan perasaan tidak nyaman. Ketidaknyamanan menciptakan perasaan terasing. Apa faktor yang menyebabkan perasaan terasing? Perasaan terasing muncul di antaranya ketika kamu melakukan sesuatu yang mengungkung kebebasan dirimu. Kamu tidak hidup dalam kebebasan, tetapi dalam ketakutan dan belenggu yang mencekik.
Perasaan menjadi ‘berbeda’ identik dengan perasaan terasing. Akan tetapi, perasaan semacam ini tidak bisa melulu dinilai secara negatif, ada unsur positif di dalamnya. Martin Heidegger pernah menulis, bahwa perasaan cemas dan gelisah merupakan tanda bahwa manusia terhubung dengan hakikat dirinya. Pada momen itu manusia diminta berhenti sejenak, dan melakukan refleksi mendalam terhadap apa yang telah ia alami.
Anthon Giddens secara gamblang menegaskan bahwa ketika merasa cemas, kesadaran diskursif manusia akan meningkat. Kreativitas dan kemampuan intelektual memaksanya untuk beradaptasi. Pada titik ini manusia menjadi lebih kuat dan vital, daripada ketika kondisi normal karena himpitan risiko akan membuat kreatifitas memuncak. Pada saat itu manusia mencapai kondisinya yang paling prima.
Mungkin adalah tuntutan ranah kodrat kita untuk dapat menjadi ‘berbeda’, bahkan di lingkungan yang sudah kita anggap paling nyaman. Mungkin sudah saatnya kita menyadari bahwa hidup adalah tegangan antara perasaan intim dan perasaan terasing. Tidak ada hidup yang sepenuhnya intim, dan tidak ada hidup yang sepenuhnya terasing. Hidup itu sendiri berarti tegangan (Tension) antara yang intim (The Intimate) dengan yang asing (The Foreign). Tanpa keduanya serasa menjadi tidak pantas. Salam Kebestarian.
Penulis merupakan Demisioner Dewan Amanat Mahasiswa Unisba (DAMU)