
Ilustrasi pejabat yang seolah-olah menindas rakyat. (Ilustrasi: Syifa Khoirunnisa/SM).
Oleh Radika Yolandra
Sementara rakyat berebut makanan yang terguling dari dalam sebuah truk, para pejabatnya malah tertawa, menari, dan bernyanyi atas keadaan yang mereka ciptakan. Nyatanya, di beberapa pinggiran kota besar ada jiwa yang selalu was-was memikirkan perut mereka tanpa sempat protes terhadap pejabat yang telah lancang membuat hidupnya sengsara.
Ironi di negara yang katanya “kaya” ini para pejabat selalu lancang terhadap rakyatnya. Masih aku ingat bagaimana mereka menangis, memohon, mengemis suara dari rakyat agar memilihnya dengan dibaluti janji-janji manis.
Namun kini, berbagai macam cara mereka lakukan untuk membungkam rakyat agar tetap patuh dan menuruti mereka. Bahkan ketika rakyat menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi pun mereka dipukul dan ditangkap.
Ini adalah surat terbuka untuk para pejabat yang selalu lancang terhadap rakyat. Kami, rakyat, tidak pernah takut terhadap kalian. Kami, rakyat, akan terus menentang kelancangan kalian sampai kami mati. Kau membunuh saudaraku, kau juga akan membuat lahirnya ribuan saudaraku.
Sekarang ini pula Indonesia sedang mengalami masa-masa “gelap”. Salah satu pejabat dalam Kabinet Merah Putih 2024-2029, Luhut Binsar Pandjaitan meresponnya dengan mengatakan “yang gelap bukan Indonesia, tapi kau yang gelap”. Melihat respon itu saja kita semua sudah tahu bagaimana kapasitas komunikasi dari para pejabat kita.
Semua omongan mereka yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa demokrasi semuanya bohong. Seperti yang dikatakan Soe Hok Gie bahwa “Kita seolah-olah merayakan Demokrasi, tapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”.
Sangat menyayat hati rasanya melihat pejabat kita hidup bergelimangan harta, hidup tanpa khawatir masa tua. Namun, di sisi lain jutaan rakyat harus memutar otak mereka 180 derajat untuk memikirkan besok apakah mereka bisa makan atau tidak.
Aparatku Keparat
Akhir-akhir ini, berbagai macam aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan koalisi sipil terjadi di Indonesia. Aksi ini pun tak lepas dari sorotan banyak pihak terhadap para aparat kepolisian yang seharusnya menjaga jalannya demonstrasi. Sayangnya bukan sorotan yang baik, namun justru sorotan negatif.
Bagaimana tidak, selama menjaga berjalannya demonstrasi di kota-kota besar Indonesia tak terhitung banyaknya represifitas dari para aparat kepolisian. Represifitas itu mulai dari pukulan dengan pentungan atau tendangan.
Tindakan represif yang dilakukan oleh para aparat kepolisian tak hanya menyasar para demonstran. Mereka juga sering kali salah sangka kepada masyarakat sekitar yang hanya menonton aksi demonstrasi. Aksi bejat mereka pun tak memandang bulu, mereka tak peduli mau itu anak sekolahan, mahasiswa, perempuan, tim medis, mereka libas seakan ingin menghabisi.
Kekerasan yang terus menerus dilakukan aparat selalu disanggah oleh kata-kata “oknum”. Apakah mereka tak sadar pentungan yang mereka pakai untuk memukul demonstran adalah pentungan dari hasil uang rakyat?. Tak hanya itu mereka juga seringkali mengerahkan para Intel untuk masuk kedalam massa aksi entah itu untuk memprovokasi bahkan memecah belah para massa aksi.
Tak hanya tindakan represif, para aparat juga kedapatan melakukan aksi-aksi yang tidak manusiawi. Seperti menyerang tim medis yang sedang berusaha mengobati demonstran, lalu menghadang mobil ambulans ketika membawa para demonstran yang terluka ke rumah sakit. Selain itu, melakukan sweeping mobil ambulans yang sedang mengantarkan demonstran yang terluka ke Polisi Re bukan ke rumah sakit.
Para aparat juga kedapatan melakukan sweeping ke dalam rumah sakit, mengajak paksa para mahasiswa untuk dibawa ke polres. Tindakan itu tak berotak, hewan saja kalah oleh kedunguan para aparat. Seharusnya pejabat di negara ini dapat menjadi manusia terlebih dahulu sebelum berkuasa.
Penulis adalah salah satu Siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Bandung