Oleh Moris
“Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.” Kira-kira itulah yang dikatakan Tan Malaka sekitar dua puluh tahun kemudian setelah membuktikan apa yang ditulisnya dalam buku Aksi Massa yang terbit tahun 1926.
Serupa dengan apa yang terjadi di penghujung bulan lalu, saat berjuta mata tertuju pada mundurnya demokrasi di republik ini. Aksi massa yang terjadi dalam beberapa hari—dan beberapa daerah—timbul sendiri karena berbagai keadaan.
Pemicu yang paling kuat adalah keadaan di mana sosok Mulyono yang (ingin) menjelma menjadi penguasa tunggal, dengan jalan dan manuver politik yang disediakan hanya untuknya, dan keluarganya. Drama-drama setelah itu tidak kunjung menemui hasil yang diinginkan massa aksi saat demonstrasi lalu. Hal ini mempertegas bahwa “Revolusi Agustus” kemarin belum selesai.
“Revolusi Agustus” saya ambil dari perjuangan Vietnam dalam memperjuangkan kemerdekaan negaranya atas Prancis pada bulan Agustus 1945. Juga pada tulisan Goenawan Mohamad yang berjudul Tan Malaka, Sejak Agustus Itu dalam Majalah Tempo edisi 25: 11 Agustus 2008 yang menggambarkan situasi politik Indonesia di sekitar bulan Agustus 1945.
Meskipun “Revolusi Agustus” sebenarnya menyoal perjuangan melawan penjajah di Vietnam dan (mungkin) Indonesia pada masa lalu, tentu berbeda konteks dengan aksi “Peringatan Darurat” Agustus 2024—yang juga bukan sebuah revolusi—namun ungkapan tersebut saya rasa lucu untuk disandingkan dengan demonstrasi yang terjadi pada bulan lalu, mengingat apa yang dilakukan Mulyono tampak seperti kompeni-kompeni yang mempertontonkan neo-feodalisme.
Tentu banyak dari kita berang dengan tingkah Presiden Republik Indonesia ketujuh dan koleganya itu, namun demonstrasi yang dilakukan baru-baru ini bukanlah jalan yang tepat untuk melengserkannya. Mengingat banyak “keluarganya” yang hidup dalam pusaran politik lima tahun ke depan, perjuangan yang dilakukan itu masih jauh panggang dari api.
Kalaulah berpikir pragmatis; pengaruh massa aksi tidak sebanding dengan pengaruh “Raja Jawa”. Celaan dan hinaan padanya tidak akan membuat duduknya goyah, sebab pengaruhnya masih akan kita rasakan setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Pergantian kepemimpinan tidak akan membuat usaha massa berbuah manis, hanya pergantian foto presiden saja. Hal yang paling mungkin untuk mengentaskan kebosanan kita pada jajaran pemerintahan dewasa ini hanyalah revolusi—meskipun revolusi sungguhan tidak semudah apa yang saya tulis di sini.
Jika mengutip Tan Malaka yang mempercayai revolusi timbul dengan sendirinya atau hasil dari berbagai keadaan maka keadaan setelah ini sangat memungkinkan kita untuk terus melakukan revolusi. Keadaan objektif ini membawa pada situasi revolusioner, setidaknya terlihat jelas pada aktivitas massa yang meningkat signifikan menghasilkan distrust pada Mulyono dan koleganya.
Namun seorang revolusioner tidak akan bisa menari di tengah keadaan objektif saja. Bapak revolusi Bolshevik, Vladimir Lenin menambahkan bahwa revolusi tidak bisa bergerak “mengikuti” keadaan objektif. Lenin berpendapat bahwa revolusi harus punya komponen subjektif.
Komponen subjektif ini menghasilkan kesadaran revolusioner yang memberikan arah pada saat-saat krisis. Komponen ini sekilas tampak seperti ilham yang kiranya masih terlalu tabu untuk muncul di republik ini.
Namun perlawanan yang tidak pernah usai seperti menandakan adanya keharusan untuk berubah total. Dari “Revolusi Agustus” menjadi Revolusi Agustus. Dari epos heroik hingga tindakan heroik yang sebenarnya.
Untuk mewarnai tindakan heroik tanpa adanya sosok “hero” pada aksi bulan lalu, rasanya tidak berlebihan jika aksi kemarin dijadikan dongeng pengantar revolusi. Meski revolusi sungguhan tidak pernah sama dengan dongeng ksatria.