
Ilustrasi Pramoedya Ananta Toer. (Ilustrasi: Syifa Khoirunnisa/SM)
Oleh Daniel Mahendra
Pagi itu bulan puasa. Jarum pendek tepat berada di angka delapan ketika mobil kami parkir di sebidang tanah kosong tak berpagar. Berenam kami―pers Suara Mahasiswa Unisba―berloncatan turun. Menyeberangi jalan lengang, menuju sebuah rumah berpagar tinggi di Jalan Multi Karya, Utan Kayu, Jakarta Timur.
Sudah berkali-kali bel kupencet. Tak ada orang keluar.
“Betul ini rumahnya?” tanya Frino seraya melongok-longok dari balik pagar hijau yang catnya mulai mengelupas di sana-sini.
“Dari alamatnya, sih, betul,” sahutku sok yakin.
Sekali lagi kupencet bel. Tetap tak ada yang keluar. Aku menoleh ke belakang. Ke arah teman-teman yang seketika mengangkat bahu.
Tiba-tiba ada seorang lelaki melintas di depan kami. Sejenak ia memandangi kami, berhenti, kemudian bertanya: “Abang cari si Babeh?”
“Babeh?” tanyaku mengernyit.
“Ya, Babeh. Pak Pram, kan?”
“Eh, iya,” jawabku sontak antusias.
“Tuh!” tunjuk si lelaki pada sebuah jarak.
Kuikuti arah telunjuk lelaki itu. Jarinya berhenti pada sebidang tanah kosong, tak jauh dari tempat kami memarkir mobil. Astaga! Berarti? Tadi?
Mataku refleks mengernyit. Di sana kulihat seorang lelaki dengan tubuh ringkih, berkaus kuning yang sudah tampak sobek di beberapa bagian. Celananya berupa training spak biru dongker, terlihat lawas dengan bolong telah meraja di mana-mana. Kakinya dibalut sepatu bot karet warna hijau muda. Tak jauh dari kakinya, berdiri sebuah ember bekas cat berukuran besar berwarna putih. Sementara kepalanya dilindungi caping lebar berwarna cokelat. Kulihat tangan lelaki itu bergerak pelan. Menggaruk-garuk tumpukan sampah dengan garpu serok bertongkat panjang ke atas api yang membumbung tinggi. Rasanya tidaklah berlebihan bila selintas orang mengira sosok itu sekadar pemulung atau tukang sampah perumahan.
“Pram?!” bisikku tercekat tak percaya.
Sontak segala kesombongan yang bersemayam dalam diriku, terjun tanpa permisi ke dasar kaki. Melata di tanah.
Pramoedya Ananta Toer?
Sastrawan dunia itu?
Nominator Nobel bidang Sastra itu?
Sedang membakar sampah dengan pakaian seperti itu?
Serta merta kurasakan semua kejemawaanku undur diri bubar jalan tanpa basi-basi.
Pram!
Pram yang selama ini kubayangkan bagaikan dewa sastra, kuagung-agungkan karyanya, kupuji-puji kata-katanya, ternyata seperti manusia biasa pada umumnya. Berpakaian ala kadarnya. Bahkan cenderung compang-camping ketimbang sederhana. Tengah membakar sampah di sebuah tanah kosong di samping rumah.
Pram!
Setelah mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang melintas tadi, tanpa pikir panjang, kuseberangi jalan, menuju lelaki yang dipanggil ‘babeh’ oleh barangkali tetangganya itu. Frino dengan cekatan mengikutiku sembari gopah-gapah mengeluarkan kamera.
Kuhampiri penulis Tetralogi Buru itu dan menyapa, “Pagi, Pak Pram.”
Ia tak menoleh.
Kuulangi lagi sapaanku, “Pagi, Pak Pram!”
Masih juga tak mendengar. Rupanya kedatanganku sama sekali tak digubrisnya. Kulirik Frino. Meminta pertimbangan. Rupanya ia tengah sibuk menjeprat-jepretkan kamera.
Kuulangi lagi sapaanku dengan suara lebih keras, “PAGI, PAK PRAM!”
Seketika ia mendongak, memincingkan mata, dan bertanya, “Ouw, dari Bandung?”
“Iya.” kuangggukkan kepala.
“Ke rumah saja. Ke rumah.”
Lagi-lagi aku mengangguk.
Tak lama ia selesaikan juga pesta bakar sampahnya itu. Menggamit ember bekas cat, menyeret garpu serok, lantas bertatih-tatih menuju rumah. Aku mengikutinya dari belakang.
“Pagi betul,” tukasnya seolah tidak pada siapa-siapa.
Aku hanya menyengir.
“Jam berapa dari Bandung?”
“Setelah subuh kami berangkat.”
“Pagi betul.”
Sesampai di pagar, di suruhnya kami masuk ke ruang tamu. Sementara ia terus berjalan ke samping rumah. Meletakkan ember bekas cat dan garpu serok di ujung garasi. Melepas sepatu bot karetnya, lantas pergi ke kamar mandi. Giliran kami duduk bengong di ruang tamu, di rumah sastrawan yang bukunya sudah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa di seluruh dunia itu.
Selepas dari kamar mandi, Pram sempat melintasi ruang tengah rumah, tetapi tidak langsung menemui kami di ruang tamu. Perhatiannya tertuju pada bufet yang menempel di dinding ruangan. Sambil entah mencari apa, lagi-lagi ia melontarkan pertanyaan: “Kok pagi betul?”
* * *
Saat Pramoedya masih mendekam di Pulau Buru, juga setelah mendapat kebebasan untuk kembali menulis, rupanya naskah asli Bumi Manusia beredar secara sembunyi-sembunyi. Bergilir dari satu tangan ke tangan lain para tahanan politik (tapol) di sana. Naskah karya Pram praktis menjadi hiburan tersendiri bagi para tapol yang saat itu hidup dalam tekanan dan penindasan. Orang-orang yang oleh rezim Orde Baru dibuang semena-mena ke sebuah pulau terpencil di Kepulauan Maluku, tanpa pengadilan, atas tuduhan terlibat G30S.
Suatu hari, ada seorang tapol muda yang kabur dan lari ke dalam hutan. Berhari-hari ia tak pulang. Setelah dilakukan pencarian, si tapol muda pun berhasil ditemukan dan dibawa pulang. Ketika ditanya, kenapa dia kabur dan berhari-hari tak pulang? Si tapol muda menjawab: “Aku ingin jadi Minke!” Sebuah jawaban yang sungguh di luar dugaan Pram.
Aku ingin menjadi Minke, katanya.
Minke adalah tokoh utama dalam roman Tetralogi Buru yang Pram tulis selama mendekam di Pulau Buru. Pertanyaannya: betulkah karya-karya Pramoedya mampu membuat pembacanya “tergerak”? Sebegitu dahsyatnyakah karya Pram, sehingga sikap, karakter, serta keberanian tokoh-tokoh dalam novelnya mampu menginspirasi pembacanya?
Pram sendiri mengaku: ia tidak pernah bermuluk-muluk dalam menulis karya (sastra). Baginya, menulis adalah tugas nasional. Sebuah tugas yang menurutnya harus ia tunaikan sebagai warga negara. Ia merasa wajib menceritakan kenyataan hidup manusia, lengkap dengan tingkah polah sosiobudayanya, yang harus ia sampaikan kepada sesama manusia. Ada pun karyanya membuat orang “tergerak”, baik dalam sikap, karakter, serta cara berpikir, Pram menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca. Ia tak pernah mau mencampuri dunia pembaca.
Menurut Pram, jika seseorang, satu orang saja, merasa “tergerak” setelah membaca karyanya, baginya itu sudah cukup. Karena menurutnya: jangan sepelekan satu individu. Karena individu-individu itu, jika bersatu, mereka akan berubah menjadi gelombang kekuatan yang mahadahsyat.
Bagiku pribadi, sejak membaca karya-karya Pram, sontak semua pelajaran sejarah yang kupelajari mulai Sekolah Dasar hingga dewasa, kocar-kacir pamit pergi bubar jalan. Ada alternatif pemikiran tentang sejarah lewat wajah roman. Apalagi Pram merunut periode praindonesia, proses berdirinya Indonesia, hingga menjadi Indonesia.
Sejak menamatkan Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca (keempatnya kudapat dari teman-teman pers Suara Mahasiwa Unisba), aku seperti keranjingan mencari semua hal yang berhubungan dengan Pram. Kucari buku-buku lainnya, ulasan tentangnya, wawancara, data, atau apa pun yang berkaitan dengan Pram.
Di mana-mana aku membicarakan Pram. Setiap bertemu teman, aku membahas Pram. Ketika nongkrong di warung kopi pinggir jalan, aku berdiskusi tentang Pram. Setiap ke toko buku bekas atau pedagang buku loak, yang kucari karya lama Pram. Aku betul-betul tergila-gila akan Pram!
Bermodalkan potongan-potongan cerita dari berbagai kawan, materi dari media, maupun karya-karya lamanya, aku mulai merangkai gambaran tentang sosok Pramoedya Ananta Toer. Sudah sejak saat itu aku berpikir: sepertinya seru kalau ada komunitas yang bisa mewadahi orang-orang yang suka membaca Pram. Berdiskusi apa pun tentang Pram. Tentu akan mengasyikkan jika orang-orang itu dapat memuarakan kesan mereka dari hasil membaca karya-karya Pram, bersama orang-orang yang sama-sama getol membaca Pram. Namun, adakah komunitas semacam itu? Kalau ada, pasti aku mau ikut!
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh pikiranku sendiri: kalau memang tidak ada, kenapa tidak dibuat saja? Astaga! Betul juga. Kenapa harus menunggu orang lain yang membidaninya? Tak syak lagi, dari sana munculah ide sederhana dalam pikiranku: membentuk komunitas pembaca karya Pramoedya.
Bertempat di Toko Buku Kecil (Tobucil) Bandung, dimulailah Klab Baca Pramoedya. Diskusi ringan saban Sabtu sore, membahas segala hal tentang Pramoedya. Sudah sejak jauh hari, aku membuat tema per minggu untuk bahan diskusi rutin.
Siapa nyana, pertemuan awal Klab Baca Pramoedya dihadiri sekitar 25 hingga 30 orang. Mereka terdiri dari: mahasiswa S1, mahasiswa S2, mahasiswa program profesi, guru, dosen, wartawan, peneliti, penulis, pengarang, seniman, aktivis buruh, karyawan, purnawirawan, pensiunan kepala sekolah, pedagang buku, hingga pengangguran. Dengan rentang usia 18 hingga 73 tahun.
Aku betul-betul terbelalak. Senang bukan kepalang. Rupanya perkiraanku tak keliru: ada begitu banyak penyuka karya-karya Pram yang membutuhkan wadah atas pengalaman membaca mereka. Mereka adalah pembaca sunyi. Membaca karya Pram sendirian sekaligus menelan pikiran-pikiran mereka seorang diri pula, tanpa tahu mesti membicarakannya dengan siapa.
Setelah Sabtu demi Sabtu berjalan rutin, di luar dugaan, acara diskusi Klab Baca Pramoedya mendapat sorotan luas dari hampir semua media cetak nasional maupun media daring. Banyak media datang, meliput, mewawancara, serta memuat kegiatan dikusi Sabtu sore tersebut.
Kami, peserta diskusi Klab Baca Pramoedya, pun mulai menerbitkan zine bulanan atas hasil diskusi rutin kami. Kami pun menerbitkan buku yang dibiayai secara mandiri, dengan tajuk Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra, yang diedarkan secara luas ke seluruh toko buku besar di Indonesia. Tak berhenti sampai di situ, kami pun menggelar lomba baca cerpen Pramoedya untuk tingkat SMA di se-Kota Bandung.
Rupanya keberadaan Klab Baca Pramoedya sampai juga ke telinga Pram. Astuti Ananta Toer, putri Pramoedya yang biasa mengurus segala hal yang berhubungan dengan Pram, tiba-tiba mengundang kami untuk ikut hadir di acara ulang tahun Pram ke-78 yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Sementara acara diskusi rutin Sabtu tetap berlangsung, aku jadi makin kerap datang ke acara-acara Pram di Jakarta. Entah peluncuran buku, diskusi buku, atau acara apa pun yang berhubungan dengan Pram. Aku pun jadi sering bertandang ke rumah Pram. Baik ke rumah Pram di Utan Kayu, Jakarta Timur, maupun ke rumah Pram di Bojonggede, Kabupaten Bogor.
Hingga suatu hari, Mbak Titi―panggilan Astuti Ananta Toer―melontarkan sebuah tawaran, “Mas, mau nggak mengoreksi naskah-naskah Pram yang akan diterbitkan ulang Penerbit Lentera Dipantara?”
Seketika aku terkesiap. Tergeragap. Jantungku nyaris lepas dari tempat asalnya.
“Naskahnya saya bawa ke Bandung atau?” tanyaku menggantung.
“Bebas. Tapi akan lebih aman kalau ngeditnya di rumah Bojonggede. Jadi naskahnya tidak tercecer. Karena perpustakaan Pram, kan, sudah di rumah Bojonggede. Sudah nggak di Utan Kayu lagi. Ada kamar di lantai lima. Mas bisa tinggal di sana. Berapa lama pun Mas mau tinggal. Dan lagi, kalau ada apa-apa, Mas bisa tanya ke Pram langsung, kan?”
Kali ini rasanya jantungku betul-betul lepas!
* * *
“Kok pagi betul?”
Tiba-tiba aku tersentak. Pertayaan barusan seperti menyadarkan aku dari lamunan selama menunggu Pram. Rupanya, selama menunggu di ruang tamu bersama teman-teman, pikiranku melayang ke mana-mana. Mengembara sekaligus merangkai cerita atas kemauanku sendiri.
Baru kusadari: aku masih lagi mahasiswa, tengah duduk bersama kawan-kawan pers Suara Mahasiswa Unisba, di ruang tamu rumah sastrawan terkemuka Indonesia, dan terbata-bata ketika seorang lelaki tua, mengenakan kaus sobek berwarna kuning, celana training spak lawas dengan bolong telah meraja di mana-mana, bertanya: “Kok pagi betul?”
* * *
____________________
* Penulis adalah mantan Pemimpin Redaksi Majalah Suara Mahasiswa Unisba, puluhan tahun silam.