
Ilustrasi kenaikan harga untuk mendapatkan pendidikan. (Ilustrasi: Syifa Khoirunnisa/SM).
Oleh Tsabit Aqdam Fidzikrillah
Belakangan ini ramai anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) yang akan dipangkas oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Anggaran yang mulanya direncanakan Rp 22,5 triliun diubah hingga sekitar Rp 14,3 triliun. Hal tersebut berisiko menaikan biaya kuliah bagi mahasiswa.
Efisiensi anggaran yang menyasar beberapa bidang ini berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025. Kabarnya, hal ini dilakukan untuk menjalankan program prioritas pemerintah, salah satunya adalah Makan Bergizi Gratis (MBG).
Kuliah Sudah Mahal, Mahal Ditambah Mahal
Tak dapat dipungkiri, pendidikan tinggi adalah warisan berharga yang bisa orang tua berikan kepada anaknya. Bagaimana tidak, biaya kuliah tahun per tahun terus mengalami kenaikan layaknya harga tanah. Bahkan, di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang katanya biayanya lebih murah tampaknya hanya omong-omong semata.
Menurut Ketua Majelis Rektor PTN Indonesia (MRPTNI) Eduart Wolok, dalam wawancaranya kepada Kompas.id, Kamis (13/2/2025), tidak semua PTN mampu untuk mendapatkan dana lain di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa. Menurutnya, Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) tiap PTN yang sebelumnya saja belum mampu menutupi Biaya Kuliah Tunggal (BKT) tiap mahasiswa.
Dampaknya jelas, biaya UKT berisiko naik. Bahkan, melalui efisiensi anggaran ini, BOPTN akan dipotong hingga sebesar 50% dari pagu awal sekitar Rp 6 triliun. Bukan hanya itu, anggaran kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) juga akan dipangkas bersama beberapa anggaran lain.
Liberalisasi Pendidikan
Biaya yang sudah mahal, kini akan bertambah mahal. Tak heran, pendidikan kini sudah menjadi komoditas yang laku di pasar dunia. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperluas liberalisasi sektor perdagangan jasa melalui Perjanjian Umum Tentang Perdagangan Jasa (GATS) yang di dalamnya terdapat pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang diperjualbelikan. Pendidikan menjadi hal yang bersifat komersial dan tidak sakral.
Sialnya, Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi bagian dari WTO dan menandatangani GATS. Negara yang menjadi bagian dari hal di atas wajib tunduk dan mengikuti peraturan liberalisasi ini. Syahdan, GATS diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.
Pendidikan sendiri seharusnya menjadi prioritas dan tanggung jawab negara dalam membangun bangsa. Termaktub pula dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD)1945 sebagai salah satu tujuan negara. Dengan liberalisasi pendidikan, negara seolah-olah lepas tangan akan kewajibannya dan melelang pendidikan.
Nasib Mahasiswa Kampus Swasta
Dalam konteks pemotongan anggaran pendidikan tinggi ini, bukan hanya mahasiswa PTN yang terdampak. Bantuan Kelembagaan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) juga direncanakan akan terpotong hingga sebesar 50% dari pagu awal Rp 365 miliar. Belum lagi mahasiswa Penerima KIP-K di kampus swasta juga akan terdampak karena pemotongan sebesar 9% dari pagu awal Rp 14 triliun.
Meskipun PTS terlihat seperti wujud nyata komersialisasi pendidikan, bukan berarti mahasiswa kampus swasta hanya bisa diam menerima penghisapan biaya kuliah yang kapitalistik. Swastanisasi pendidikan sering dibalut dengan kalimat “quasi public goods” yang bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap barang publik yang tidak bisa disediakan pemerintah. Jika dilihat lagi, swastanisasi pendidikan ini justru menjadi bukti bahwa negara belum mampu memenuhi tanggung jawabnya dalam bidang pendidikan.
Seperti yang sudah dibahas di atas, adalah kewajiban negara untuk memenuhi pendidikan yang murah–bahkan gratis–bagi setiap rakyat. Ini seharusnya menjadi cita-cita jangka panjang yang diperjuangkan oleh massa rakyat, khususnya pemuda-mahasiswa. Pendidikan semestinya menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat.
Sudah saatnya mahasiswa berkonsolidasi untuk memperjuangkan pendidikan gratis. Pendidikan bukan sebuah privilese, pendidikan adalah hak!