
Memberikan rantang berisi makanan pada zaman kerajaan menjadi awal mula parsel lebaran. (Ilustrasi: Alfira Putri Marcheliana Idris/SM).
Suaramahasiswa.info, Unisba- Menjelang Hari Raya Idul Fitri, masyarakat muslim tidak hanya disibukkan dengan memilih pakaian terbaiknya, tetapi juga sibuk mempersiapkan parsel lebaran. Hal ini seolah menjadi bagian penting sebelum perayaan tiba.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, kata Parsel didefinisikan sebagai bingkisan yang berisi hadiah, seperti aneka kue, makanan dan minuman kemasan, atau pernak-pernik. Biasanya, hadiah tersebut disusun apik dalam keranjang untuk diberikan kepada orang-orang spesial.
Dari waktu ke waktu, pemberian parsel ini seolah menjadi tradisi yang diwariskan turun temurun. Menurut pengamat budaya Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar, bahwa adanya parsel lebaran tidak terlepas dari kebudayaan Indonesia di masa lampau.
Sejarah Parsel di Indonesia
Mulanya, hantaran parsel ini diberikan saat momen hari raya panen pada masa kerajaan abad ke-16. Saat itu, masyarakat terbiasa memberi hantaran hasil bumi kepada raja dalam bentuk rantang. Sebagai balasannya, raja tersebut membekalkan hasil olahan berupa makanan serta kue yang bisa dibawa pulang oleh rakyatnya.
Namun, sejak runtuhnya kerajaan tersebut, hantaran makanan pun mulai diberikan kepada tetangga, saudara, atau orang yang dikenal. Hingga di era kolonial, mereka saling mengirimkan hantaran kepada keluarga saat lebaran, biasanya rantang itu diisi oleh makanan khas lebaran, seperti ketupat, opor, kari, rendang, atau kue basah tradisional.
Kebiasaan ini telah berkembang menjadi tradisi untuk memperkuat hubungan sosial serta menjadi simbol kepedulian antar masyarakat. Menurut sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran (Unpad), Fadly Rahman mengatakan tradisi ini mencerminkan karakteristik masyarakat agraris yang menganggap rantang sebagai perekat hubungan. Sehingga ketika diberi hantaran dalam bentuk rantang, masyarakat spontan mengembalikannya dengan isian makanan.
Lalu pada masa penjajahan, masyarakat mulai mengenal kue kering seperti nastar, kastengel, lidah kucing, dan putri salju dalam kemasan toples. Akhirnya, kue-kue tersebut dijadikan sebagai hantaran Lebaran dari keluarga Eropa kepada keluarga priyayi dari kalangan Pribumi.
Transformasi Parsel di Era Modern
Memasuki awal tahun 2000-an, masyarakat menyebut parsel lebaran dengan sebutan hampers. Kemasannya pun bertransformasi lebih modern menjadi bingkisan yang dikemas dengan rapi dan menarik. Jika parsel cenderung lebih sederhana, maka hampers dikemas dengan tampilan yang lebih elegan.
Bukan hanya di kalangan keluarga atau tetangga, para pemilik perusahaan negeri maupun swasta pun turut memberikan parsel lebaran kepada karyawannya. Hal ini sebagai bentuk apresiasi kepada karyawan menjelang hari raya.
Namun, sejak 2015 hingga kini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan peraturan untuk menolak hampers lebaran bagi pejabat dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Larangan tersebut diatur karena parsel dapat berpotensi menjadi gratifikasi atau bahkan suap oleh pihak-pihak tertentu.
Meski begitu, hingga kini masyarakat masih konsisten melestarikannya kepada berbagai pihak. Tradisi ini dianggap menjadi tanda keakraban, persaudaraan, dan mempererat tali silaturahmi.
Penulis: Alfira Putri Marcheliana Idris/SM
Editor: Melani Sri Intan/SM