
tradisi membeli baju lebaran yang berlebihan mengancam lingkungan. (Ilustrasi: Linda Puji Yanti/SM).
Suaramahasiswa.info, Unisba- Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran semakin dekat, tradisi membeli baju baru seolah menjadi kewajiban tak tertulis yang tidak boleh dilewatkan. Selain itu, momen ini juga menjadi kesempatan berharga untuk mempererat tali silaturahmi dan saling memaafkan sebagai bentuk kebersamaan.
Tak hanya itu, Lebaran juga identik dengan berbagai hidangan khas yang selalu hadir di momen Lebaran, seperti ketupat, opor ayam, dan beragam kue kering. Tidak ketinggalan, tradisi berbagi rezeki melalui pemberian angpao atau Tunjangan Hari Raya (THR) juga menjadi wujud kepedulian dan rasa syukur yang dibagikan kepada keluarga serta kerabat.
Asal – Usul Baju Lebaran
Kebiasaan membeli baju baru saat Lebaran sudah ada sejak abad ke-16 pada masa Kesultanan Banten. Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, kebiasaan ini dimulai sekitar tahun 1596, ketika masyarakat Banten mulai mempersiapkan pakaian baru menjelang hari raya Idul Fitri sebagai bagian dari perayaan hari kemenangan.
Pada masa itu, hanya kalangan kerajaan yang mampu membeli pakaian mewah untuk merayakan Lebaran, sedangkan rakyat biasa cenderung menjahit pakaian mereka sendiri. Meskipun mencerminkan perbedaan sosial yang nyata, tradisi ini tetap menjadi simbol semangat kebersamaan dalam menyambut hari raya di berbagai kalangan masyarakat.
Selain berakar dari tradisi lokal, kebiasaan membeli baju baru saat Lebaran juga ternyata mendapat pengaruh dari budaya Eropa pada abad ke-20. Menurut catatan Snouck Hurgronje dalam suratnya yang tertanggal pada 20 April 1904, kebiasaan ini terinspirasi dari tradisi masyarakat Eropa yang mengenakan pakaian baru saat perayaan tahun baru sehingga kemudian diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Ditambah hal itu selaras dengan ajaran Islam untuk memakai pakaian terbaik sebagai simbol kesucian dan rasa syukur di Hari Raya.
Dalam ajaran Islam, mengenakan baju baru saat Idul Fitri bukanlah kewajiban, melainkan dianjurkan untuk memakai pakaian terbaik yang dimiliki. Anjuran ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hasan bin Ali r.a., di mana Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk mengenakan pakaian terbaik pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Dampak Konsumtif di Hari Raya
Tradisi mengenakan pakaian baru saat hari raya Idul Fitri telah menjadi simbol kebahagiaan dan bentuk rasa syukur dalam merayakan hari kemenangan. Namun, jika tidak diimbangi dengan bijak, kebiasaan ini dapat berisiko memicu perilaku konsumtif yang berlebihan tanpa memperhatikan kebutuhan yang sebenarnya.
Perilaku konsumtif sendiri diartikan sebagai tindakan memakai produk yang tidak tuntas. Dalam kata lain, sebuah produk yang dipakai seseorang belum habis pakai namun telah menggunakan produk jenis yang sama dari merek lainnya atau membeli barang karena banyak orang memakai barang tersebut.
Perilaku konsumtif ini bisa mendorong pertumbuhan fast fashion, yaitu model bisnis yang memproduksi pakaian secara massal dan cepat untuk memenuhi permintaan pasar. Istilah fast fashion ini pertama kali muncul pada tahun 1990 dalam artikel New York Times yang menyoroti proses produksi pakaian hingga distribusi yang hanya memakan waktu 15 hari. Industri tersebut kini berkembang pesat dan didukung oleh kemudahan berbelanja di toko online dengan mudah dan cepat.
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh individu pasti akan menghasilkan akibat, baik itu akibat yang berdampak positif maupun berdampak negatif. Di sisi lain dapat memberikan lapangan pekerjaan namun fast fashion juga mengancam keberlanjutan lingkungan yang lebih baik karena sekitar 30% produk tidak terjual dan akhirnya dibuang atau dibakar setiap tahunnya.
Setiap pakaian yang berakhir di tempat pembuangan dapat menyebabkan pencemaran tanah. Hal ini karena hanya 12% material dasar pembuat produk tersebut yang bisa didaur ulang dan kurang dari 1% bisa digunakan untuk membuat produk pakaian baru.
Menurut studi dari Parliament UK, diperkirakan tingkat konsumsi pakaian akan meningkat sebesar 63% pada tahun 2030. Selain itu, produksi di dunia fashion juga diprediksi akan mengalami kenaikan hingga tiga kali lipat pada tahun 2050.
Di Indonesia, limbah tekstil memberikan dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023, sampah tekstil menyumbang 2,87% dari total komposisi sampah nasional atau sekitar 1,75 ton dari estimasi 70 ton timbunan sampah per tahun.
Jika tidak ditangani dengan baik, masalah ini dapat memperburuk kondisi lingkungan dan meningkatkan volume limbah yang sulit terurai. Akibatnya, tingkat pencemaran terhadap tanah dan perairan akan terus meningkat sehingga dapat merusak ekosistem.
Salah satu contohnya adalah pencemaran limbah tekstil di sungai Citarik, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang diduga berasal dari pabrik-pabrik di Sumedang dan Bandung Timur. Perbedaan warna air juga terlihat di pertemuan Sungai Citarik dan Sungai Cikijing di mana sering terjadi saat musim hujan karena naiknya debit air.
Mengendalikan Diri Menjelang Lebaran
Agar terhindar dari fast fashion dan kehancuran bumi ini, kita harus sadar dan tidak sembarang untuk mengkonsumsi baju lebaran yang dibeli. Pada dasarnya yang harus diperhatikan yaitu pemilihan pembelian produk, cara perusahaan memproduksi barang, atau bahkan dengan tidak membeli baju lebaran jika hanya keinginan semata.
Selanjutnya, bila terpaksa harus membeli baju lebaran. Sobat Kampus bisa pilih pakaian yang mencerminkan gaya pribadi, sesuaikan warna dengan tone kulit dan pastikan ukurannya pas agar tampilan terlihat lebih menarik. Jika ingin berhemat, manfaatkan pakaian yang sudah ada dengan mix and match gaya baru dan cukup beli salah satu item seperti atasan atau bawahan saja.
Sebelum memutuskan untuk membeli baju lebaran, alangkah baiknya memikirkan secara panjang tentang usia produk tersebut. Bertanggung jawab dalam memilih pakaian dengan memilih bahan yang tahan lama, bukan hanya karena tren.
Seseorang dengan pengendalian diri yang baik cenderung mampu menghindari perilaku konsumtif karena mereka dapat mengontrol dirinya sendiri dan berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Ketika dihadapkan pada iklan yang menawarkan diskon atau promo menarik, mereka mampu menahan dirinya sendiri sehingga terhindar dari kebiasaan belanja berlebihan.
Penulis: Linda Puji Yanti/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM