
Ilustrasi seorang umat muslim yang kebingungan saat bulan Ramadan. (Ilustrasi: Sopia Nopita/SM).
Suaramahasiswa.info, Unisba-Ternyata berbuka enggak harus dengan yang manis-manis. Beberapa ungkapan terkadang seolah-olah menjadi kewajiban karena berulang kali diucapkan dan didengar. Seperti istilah “berbukalah dengan yang manis-manis”, awalnya muncul karena doktrinasi iklan sebuah produk yaitu tagline dari minuman teh botol Sosro.
Dipertegas pula oleh Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta Syamsul Bakri bahwa istilah tersebut bukan hadis maupun sunah Nabi Muhammad. Melainkan, hadis yang ada itu menganjurkan untuk berbuka dengan kurma basah.
Kepercayaan yang belum terbukti kebenarannya namun begitu diyakini oleh segelintir orang dapat muncul karena berbagai faktor. Di antaranya, sebagai cara menjelaskan fenomena alam, peristiwa sejarah yang dilebih-lebihkan, atau untuk menanamkan nilai-nilai budaya dan kepercayaan tertentu.
***
Ketika Bulan Ramadhan tiba, suasana yang khas seperti kesenangan, kedamaian, serta ketentraman akan terasa oleh setiap umat muslim. Hal itu karena pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka selebar-lebarnya serta rahmat Allah yang tercurah seluas-luasnya.
Ibadah Puasa sendiri adalah salah satu ibadah yang mengharuskan kita agar bisa menahan diri untuk makan, minum dan segala sesuatu yang membatalkan puasa. Perintahnya tercantum dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183 dan diwajibkan bagi umat muslim yang sudah baligh, sehat jasmani atau rohani dan bukan musafir.
Hal lain yang ternyata keliru yaitu mempercayai larangan makan setelah imsak. Nyatanya imsak tidak ada dalam ajaran islam, ia baru muncul di Indonesia periode mazhab Syafi’i abad ke-8.
Imsak ini juga, sebenarnya bertujuan untuk membuat umat muslim mempercepat waktu sahurnya serta digunakan untuk pengingat bahwa adzan subuh akan segera berkumandang. Bukan untuk menghentikan makan sahur.
Selanjutnya, ketika sudah masuk waktu adzan magrib, sebagian orang melaksanakan solat terlebih dahulu sebelum berbuka. Padahal rasul dengan tegas menurunkan hadits yang berisi perintah menyegerakan berbuka.
Hal ini salah satu upaya agar umat muslim lebih khusyuk saat menjalankan sholatnya. Sehingga mereka tidak akan terbayang-terbayang hidangan yang sudah disajikan di meja makan.
Di sisi lain, ketika berpuasa, kita bukan hanya menahan lapar saja tapi juga menahan perilaku tidak sesuai ajaran yang membuat kita was-was saat menjalankan aktivitas sehari-hari. Nah, seperti tidur sepanjang waktu dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari konon katanya bisa membatalkan puasa.
Padahal sebenarnya tidur dalam waktu yang lama tidak akan membatalkan puasa namun mengurangi pahala bila tidur itu menghambat waktu ibadah. Islam merupakan agama yang bijak dan mempermudah hambanya bahkan orang yang tidur saat puasa ramadan pun dianggap ibadah. Apalagi jika kita mengisi hari-hari dengan kegiatan yang lebih positif, seperti membaca kalamnya, mendengarkan kajian, hingga berolahraga.
Pemahaman bahwa tidur saat puasa mendapat pahala juga terkadang umat muslim salah kaprah dalam menyikapi ini. Faktanya, tidur saat berpuasa yang mendapat pahala itu ketika diniatkan untuk menjaga kekuatan dalam melaksanakan ibadah lainnya. Sebaliknya, tidur yang berlebihan tanpa tujuan jelas bahkan dapat mengurangi nilai pahala.
Namun kita kadang merasa serba salah saat berolahraga karena dapat menguras energi yang membuat tubuh mengeluarkan keringat dan rasa haus yang berlebihan, menyebabkan tubuh mudah lelah. Sehingga terkadang berolahraga saat puasa dianggap dan diyakini oleh beberapa orang dapat membatalkan puasa.
Malah mereka yang sering berolahraga bisa memperkuat imun tubuh sehingga lebih kuat menghadapi kita semakin bugar. Sehingga intensitas olahraga juga harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Lalu yang terakhir, dalam membicarakan keburukan orang lain atau fitnah dapat membatalkan puasa. Nah, fitnah ini hukumnya memang haram tapi tidak membatalkan puasa secara langsung namun akan mengurangi atau menghilangkan pahala puasa. Sebaiknya sebagai umat muslim kita menghindari hal ini.
Masih adanya beberapa kepercayaan yang ternyata keliru ini menunjukkan tingkat literasi dan kemampuan bertabayyun masih rendah. Padahal tabayyun merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi prinsip penting dalam menjaga kemurnian agama Islam dan keharmonisan pergaulan sosial.
Penulis: Sopia Nopita/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM