ilustrasi seseorang yang memikirkan tentang pemindahan Ibu Kota Baru di Kalimantan. (Fais Azhar Djohari/SM)
Oleh Novanda Jessa
Peraturan tentang penggunaan dan pemilikan tanah telah diupayakan oleh berbagai kesatuan masyarakat yang berlaku terbatas pada kesatuannya dan diatur sejak jaman dahulu. Pengaturan tanah lazim diatur dalam suatu hukum adat atau pranata adat. Dalam hukum adat atau pranata adat terdapat aturan-aturan yang mengatur tentang penggunaan dan pemilikan tanah. Pranata-pranata yang mengatur masalah tanah tersebut sangat bervariasi pada tiap-tiap daerah atau suku bangsa.
Masalah tanah merupakan masalah yang sangat pelik dan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Persoalan tanah yang merupakan produk masa lalu, salah satunya adalah tanah ulayat desa (I Ketut Kaler, 2018).
Sebagaimana yang kita ketahui karateristik Indonesia yang beragam dan masyarakat adat yang terikat oleh wilayah adat, belum dijelaskan secara mendalam untuk memperhatikan Hak Atas Tanah Masyarakat Adat dalam Rancangan Undang- Undang (RUU) Ibu Kota Baru (IKN). Sebagai wujud primer atas pelaksanaan dari amanah konstitusi Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yaitu negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana diatur dalam undang-undang (UU).
Fungsi kearifan lokal masyarakat desa adat dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam desakan kehidupan modern saat ini memiliki peran penting untuk mempertahankan nilai-nilai yang diwariskan leluhur untuk mengatur hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Namun suasana pembangunan IKN diduga akan memberi perubahan lingkungan dan kawasan hutan yang mengancam kehidupan hewan-hewan dan tumbuhan di lokasi tersebut. Mengutip laporan Masterplan IKN berdasarkan hasil kajian cepat dari Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukan bahwa wilayah IKN memiliki keanekaragaman hayati. Sebaran keanekaragaman hayati di wilayah tersebut ditandai dengan jumlah tumbuhan di Kalimantan Timur sekitar 527 jenis, 180 jenis burung, lebih dari 100 mamalia, 25 jenis herpetofauna dan beberapa spesies berstatus konservasi tinggi, dilindungi, endemik, serta spesies penting.
Secara umum dalam draf RUU IKN tidak terdapat pasal yang spesifik memberikan gambaran yang rasional, utuh dan saintifik, terkait dengan konsep pembangunan IKN yang berwawasan lingkungan dengan mematuhi prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan” (Brundtland Report dari PBB, 1987), khususnya dalam hal perlindungan kawasan hutan termasuk didalamnya perlindungan hewan dan tumbuhan langka di lokasi IKN.
Penulis merupakan mahasiswa Universitas Islam Bandung