
Foto: Dokumentasi Pribadi
Oleh: Bobby Agung Prasetyo* dan Redaksi Pers Suara Mahasiswa
“Tolong, nanti buku ini dibagikan buat seluruh peserta Diklat Pers Suara Mahasiswa. Jumlahnya terbatas, enggak apa-apa ya kalau misalkan ada yang enggak dapat,” kata pria itu, suaranya berat namun gagah di waktu bersamaan, siang hari di Ciburial, Dago Pojok, Bandung, sekira tahun 2013.
“Kalau saya minta satu, boleh enggak, Bang?” Kata seorang wartawan kampus. Ia berharap bisa mendapat khazanah berbentuk buku saku yang dibuat sosok bertubuh jangkung itu.
“Kalau ada sisa, kamu ambil saja. Yang penting dahulukan buat peserta diklat,” ujarannya masih begitu menempel dibenak. Wartawan kampus kecewa dan mendadak sensitif, ingin sekali memilikinya.
Menebus rasa penasaran, wartawan kampus berpikir untuk menguras ilmu bukan lewat buku, melainkan tanya langsung kepada sang pembuat. Dia bernama Sayyid Ahmad Taufik Al Jufry, seorang jurnalis, aktivis, advokat, pengajar, dan pejuang kebebasan yang begitu besarnya dalam sejarah pers dan kemanusiaan Indonesia.
***
Ahmad Taufik yang tersohor lewat sebutan AT (beberapa menuliskannya ‘Ate’), meninggal dunia pada Kamis malam, 23 Maret 2017, sekira pukul 19.24 WIB, di RS. Medistra, Jakarta. Usianya 51 tahun, divonis kanker paru. Kondisi Ate dikabarkan menurun dari beberapa waktu kebelakang, meski banyak yang bilang kalau “dia tetap ketawa-ketawa saja, seolah enggak merasakan sakit apa-apa.” Inilah yang membuat kepergiannya bagai tikungan tajam: mendadak, tiba-tiba, begitu saja.
Bagai terekam tak pernah mati. Mengiringi kepergiannya, banyak yang membuat memoar Ate dalam berbagai macam kemasan: artikel, foto, gambar tangan, sampai video. Adanya di segala kehidupan, baik maya maupun nyata. Mereka datang dari berbagai macam kalangan seperti kerabat, sahabat, aktivis, pengajar, mahasiswa, media, hingga pejabat negara.
Ate dihadapkan dengan kegiatan menulis sejak kecil, seperti yang dibilang dalam bio Facebook-nya, kalau dia “menulis sejak anak-anak, membantu Aba membuat press release sejak SMA, menulis untuk media massa baru pada 1985”. Ia aktif dalam organisasi kepemudaan baik di sekolah maupun daerah rumahnya, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Setelah lulus dari SMAN 24 Jakarta pada tahun 1984, Ate melanjutkan studinya ke Kota Bandung, Jawa Barat. Kiprah aktivisnya kian terasah dan makin menjadi-jadi, sesampainya di sana.
Perjuangan dimulai dari Kampus Biru
Ate mengenyam bangku kuliah pada tahun 1984 sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Unisba dan FPBS jurusan Bahasa Arab, IKIP (sekarang UPI). Menjalani perkuliahan double degree, ternyata tak mengurungkan dirinya buat berkegiatan dalam ranah kemahasiswaan. Untuk beberapa organisasi, bahkan Ate merupakan pelopornya.
“Saya dan Opik ngekos berdekatan, daerah Dago. Kalau Opik di atas, saya di bawahnya. Enggak tahu tuh dia, bisa kuliah didua tempat begitu. Capek atau enggak,” kata Joko Oetoro Oemaryono, mahasiswa Fikom jurusan Ilmu Jurnalistik angkatan ’84, salah satu rekan Ate semasa kuliah.
Ate kerap terlibat dalam aksi unjuk rasa seperti advokasi sengketa tanah di Badega, Garut hingga Kacapiring, Bandung. Pada masa itu, orang mengenalnya sebagai pria muda bertubuh kurus, menjulang tinggi, pemberani, dan kritis.
Siapa yang menyangka, kiprah garang Ate di luar kelas tidak ia tunjukan di dalam kelas saat ia masih berkuliah. Hal ini didapat dari kawan sekelas Ate saat berkuliah di FH Unisba, Dini Dewi Daniarti.
“Dia saat di kelas justru orangnya pendiam, makannya saya kaget. Kalau dulu yang lain pada maceh, kalau dia enggak. Tapi dalam diamnya kita tidak tahu berjuta-juta ide yang dia miliki untuk mengangkat harkat dan martabat manusia,” cerita Dini, yang juga Dosen FH Unisba kini.
Dini pun mengaku Ate semasa kuliah di Unisba sedikit ‘macet’. Tapi menurutnya, macet bukan karena hal yang tidak bermanfaat, sebaliknya, Ate di luar perkuliahan mempunyai kegiatan yang luar biasa untuk membantu sesama.
“Memang dulu kuliahnya agak macet karena mungkin beliau banyak bergerak di bidang advokasi. Tapi dia kan kuliah juga katanya di tempat lain, cuma yang di sini (FH Unisba) emang agak tertunda. Tapi ya karena dia memiliki aktifitas luar biasa, advokasi melindungi kaum-kaum yang lemah,” ungkap Dini.
Masih di seputaran Kampus, Ate pernah menjabat sebagai Ketua Senat Fakultas Hukum lalu mendirikan Forum Aksi Mahasiswa Unisba (FAMU). Organisasi ini begitu tersohor pada masanya, dihuni aktivis mahasiswa yang garang dan tak segan meledak pada segala lini, baik dalam maupun luar kampus.
Tak sampai situ, dirinya pun amat dekat dengan Pers Suara Mahasiswa yang mencuat sejak tahun 1989; lewat proses pengesahan serta cetak biru produk, kiprah media kampus ini baru tertulis secara sah sejak 1991. Ate mengaku bukan alumni, tapi ada yang bilang kalau dirinya menjadi salah satu penggagas.
“Enggak apa-apa, main saja ke sini. Saya bukan alumni SM kok,” kata Ate, ketika ditanya wartawan kampus, saat Pers Suara Mahasiswa menggelar temu alumni bertajuk “Nostalgia Waktu” di Kampus 2 Unisba, 2012 silam. Perlu dicatat, bahwa Ate yang mengakunya bukan alumni SM, adalah orang pertama yang datang ke temu alumni. Acara dimulai selepas Maghrib, ia datang sore hari; langsung dari Jakarta.
Seorang alumni bernama Ari Suryadinata, secara blak-blakan bilang di depan hadirin kalau Ate menjadi panutan ‘bocah-bocah SM’ kala itu. Sosoknya begitu dielu-elukan, bahkan mampu membikin histeris di dalam hati.
“Bang Ate tuh ya, kalau datang ke SM, gayanya gagah. Kita-kita langsung pada ngeliatin, keren banget, anj*ng!” Kata Ari, masih membekas betul omongan nyeleneh itu, tepat di hadapan orang yang dimaksud. Ate cuma mesem-mesem saja, tak tahu harus berkata apa.
Kedekatan Ate dengan SM memang dilatar belakangi kegandrungan Ate pada dunia pers kampus. Hal ini diutarakan kawan baik Ate semasa kuliah, Septiawan Santana. Septi menceritakan, saat berkuliah dulu, Ate getol mengembangkan Pers Kampus di Unisba.
Dosen Fikom Unisba ini pun menceritakan kenangannya bersama Ate. Septi mengatakan, ia dan Ate dulu dekat karena sama-sama menggeluti bidang jurnalistik. Ia lalu menceritkan tatkala ia dan Ate bersaing untuk mendapat wawancara eksklusif dengan rektor baru Unisba kala itu. Karenanya, Septi dan Ate dipandang sinis oleh pejabat kampus.
“Dia (Ate) dari Fakultas Hukum saya dari Fikom, kan waktu dulu ada rektor baru Pak Tirto (Alm. Achmad Tirto Sudiro). Kita pengen wawancara dia kan, di tahun-tahun itu yang namanya pers kampus punya niat wawancaara rektor aja udah hebat, karena yang namanya rektor itu milik pejabat. Saya dan Ate lalu saingan, dan alhamdulillah saya bisa ngeduluin Ate buat memunculkan wawancara dengan rektor,” cerita Septi.
“Dia sosok yang punya integritas,” lanjut Septi. Baginya, ia bangga memiliki sahabat seperti Ate. Bahkan aku Septi, Ate mempunyai sumbangsih luar biasa padanya ketika Septi menempuh kuliah di pasca sarjana: dibantu untuk bertemu narasumber untuk penelitian, diberi motivasi hingga dibantu lewat uang.
Sama dengan yang lain, Septi melihat Ate memang adalah pejuang kebebasan pers saat rezim orde baru. Ia vokal betul, sampai-sampai apapun resikonya ia siap telan dan terima. “Ate itu bukan cuma milik Unisba, tapi juga Indonesia,” ungkap Septi.
Usai lulus kuliah lalu berada di sejumlah media, Ate kemudian resmi menjadi jurnalis Tempo pada tahun 1989. Sistem pers yang dikekang akibat kezaliman rezim Orde Baru, jelas membikin dirinya gerah.
Pada fase berikutnya, kita memasuki periode Ate dan pemberedelan Tempo, Editor serta Detik tahun 1994, dibentuknya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai akomodasi perjuangan pers, lalu penahanan akibat menerbitkan media alternatif tanpa Surat Izin untuk Penerbitan Pers (SIUPP) bernama ‘Suara Independen’. Tak sedikit pihak, mulai dari individu hingga media massa, yang menulis cerita Ate di fase ini. Namun, kesaksian kawan satu selnya yakni Eko Maryadi, pendiri AJI yang sama-sama dibui, dan seorang sumber yang merupakan mantan narapidana kasus lain, mengundang kenangan tersendiri.
Dari penjara ke penjara
“Kami pernah dibui selama kurang lebih dua tahun, lapas ke lapas. Mulai dari Polda Metro Jaya, Salemba, Cipinang, sampai Cirebon,” ujar Eko Maryadi, pasca prosesi pemakaman Ate di TPU Karet Kebembem, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Bersama mengarungi sel penjara, mereka berdua kemudian berpisah ditahap keempat perpindahan. Ketika Eko dilepas, Ate tetap mendekam di dalam sel, bahkan dipindah ke Kuningan, Jawa Barat.
“Saya dibebaskan saat berada di penjara Cirebon, namun tidak dengan Ate. Dia tetap ditahan karena beberapa hal, bahkan sampai tak bisa melayat Abanya yang meninggal,” kata Eko.
Sang ayah menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1996, persis ketika Ate berada di dalam penjara. Sempat mengajukan izin buat melayat, namun upayanya tak mendapat restu dari pihak lapas dengan berbagai macam alasan, salah satunya takut kalau-kalau Ate melarikan diri.
“Dia sempat meminta izin untuk keluar dan melayat ayahnya, tapi tak dibolehkan. Karena kesal, dia membuat buku tentang kebusukan sistem dan polemik yang terjadi di dalam penjara,” tutur Eko. Saat ini, jenazah Ate dimakamkan satu liang lahat dengan ayahnya.
Bagaimana nasib Ate selama berada di dalam sel? Cerita ini didapat dari salah satu sumber, saat bertemu usai tahlilan malam kepergian Ate, yang mana dirinya mengaku sebagai mantan narapidana dan kerap melindungi Ate selama dibui.
“Gue yang ngejaga (Ate) di dalam penjara. Ya begitu-begitu aja dia mah orangnya, enggak aneh-aneh,” kata sumber tersebut. Dirinya mengaku sebagai mantan preman, namun kini telah insyaf dan memastikan kalau kini telah, berada di jalan yang benar.
Selama berada di penjara, sumber ini mengaku mengagumi sosok Ate. Terlebih, Ate mendekam dalam sel karena memperjuangkan demokrasi atas masa-masa kegelapan pers akibat cengkraman Orde Baru. Tampak dalam binar matanya, kalau ia menaruh kehormatan khusus kepada mendiang Ate.
“Dulu, yang bantuin dia masukin laptop ke dalam penjara tuh gue. Ngetik dah tuh dia, bikin buku. Laptop itu lebih susah dan bahaya, ketimbang masukin narkoba. Karena gue kenal (orang-orang dalam penjara), ya sudah, masuk-masukin saja,” tutur sumber, memutar kembali memorinya pada masa itu.
Sepak terjang Ate dalam penjara yang juga dilatari karena tak boleh melayat Abanya, kemudian ia tumpahkan dalam buku berjudul Penjara, The Untold Stories. Ketajamannya mencatat penyimpangan seks dalam bui, penerimaan jasa Wanita Tuna Susila (WTS), hingga kenyataan bahwa penjara adalah lahan bisnis belaka, terangkum dalam buku itu.
Selain kisah-kisah di atas, Ate sempat bertemu dengan Xanana Gusmao, gerilyawan sekaligus Presiden pertama Timor Leste, yang menjadi tahanan politik selama tujuh tahun di LP Cipinang, Jakarta Timur. Keduanya tampak akrab dalam sebuah foto.
Ate gemar membikin lukisan dan puisi, bahkan karya yang disebut terakhir kerap dikirim lalu dibacakan oleh penyiar radio di daerah Kuningan, Jawa Barat saat itu. Singkat cerita, Ate dibebaskan dan kembali menghirup udara bebas. Ia lalu menjadi Kepala Tempo Biro Jakarta, lalu Daerah, kemudian Luar Negeri. Ate juga aktif sebagai penasihat hukum, pengajar, aktivis, pernah juga mencalonkan diri sebagai Komisioner KPK dan Gubernur DKI Jakarta walau terhenti di tengah jalan.
Selepas jatuhnya rezim Orde Baru lalu tembok sekat pers meruntuh, ketajaman Ate tak berhenti sampai situ. Masih ingatkah Anda, dengan tulisan fenomenalnya di Majalah Tempo yang berjudul ‘Ada Tomy di Tenabang?’ serta perannya membebaskan Hendra Saputra, office boy yang terseret kasus korupsi proyek videotron akibat diperalat oleh Riefan Avrian, anak mantan Menteri KUKM Syarief Hasan? Sesuai dengan kesaksian yang didapat, banyak orang mewajari kalau kepergian Ate ditangisi segala kalangan, utamanya kaum terpinggirkan.
Tatap sedih nan meratap
“Ate adalah bapaknya orang-orang tertindas,” kata salah satu pelayat, saat melakukan tahlilan. Saat itu, Ate baru saja disemayamkan di rumah duka, Jln. Kebon Pala I, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Suasana amat haru biru, dihadiri segala kalangan mulai dari kerabat, rekan media, mantan narapidana, sampai Menkominfo Rudiantara.
Kepergiannya bahkan begitu berat untuk dirasakan. Menurut kerabat Ate, saat ia tengah berada di rumah sakit, ada seorang warga negara Korea yang membawakan umbi-umbian, “makanan sekulkas sampai penuh”, hingga umpatan serapah yang bilang kalau ia rela menukar Tuhannya demi kesembuhan Ate.
“Enggak tahu tuh orang Korea, segitunya banget sama Opik. Dia sampai bilang ‘kalau misalkan kesehatan Opik bisa ditukar dengan Tuhan saya, maka tukarkan saja’,” kata kerabat Ate, menceritakan kembali omongan si orang Korea. Omongan itu terjadi saat orang Korea itu tengah menjenguk Ate di rumah sakit beberapa waktu ke belakang. Seperti biasa, Ate hanya cengar-cengir tanpa berkata satupun.
Dari perkataan sang kerabat, pun didapat kesimpulan bahwa tindakan Ate saat membela Hendra ‘office boy’ bukan sekedar pencitraan belaka. Korban tumbal korupsi itu sempat diboyong menuju kediaman Ate buat singgah sejenak, lalu diantar pulang sampai ke kampung halamannya di pelosok Kabupaten Bogor.
“Setelah menangin perkara, Opik diangkat-angkat terus dilempar ke atas sama orang banyak. Kemudian dibawa pulang tuh si office boy, disuruh mandi, makan, istirahat, segala macam, terus diantar pulang ke kampungnya sono noh, jauh, di Cikupa. Emang Opik tuh baik benar orangnya,” kata kerabat.
Tangisan-tangisan terus berlanjut di Tanah Abang, dari Kamis malam hingga Jumat siang, 23 – 24 Maret 2017. Bunga-bunga di sepanjang Jalan Kebon Pala, menyimbolkan duka atas berpulangnya Sayyid Ahmad Taufik Al Jufry.
Tak pelak, makam Ate turut dipenuhi pelayat. Mereka berbondong-bondong ingin menjadi saksi pemakaman dari sosok yang berpengaruh dalam hidupnya, sesuai pengertian masing-masing. Tampak hadir di sana, Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin.
Masih segar dalam ingatan, malam tahlilan kala itu. Ada orang datang tergopoh-gopoh bagai tak sanggup, ia berjalan lemas dari depan gang hingga rumah duka duka, lalu memecah kesunyian dini hari. Dalam isak tangis, seluruh tamu yang hadir dipelukinya dengan erat sambil berkata:
“Dia (Ate) itu masih dibutuhkan sama negara, negara masih butuh dia.”
***
“Bang, kalau enggak sibuk, sudi kiranya buat menulis di situs kami, suaramahasiswa.info. Isinya bebas, menyangkut apa saja, opini juga boleh,” kata wartawan kampus, berbicara kepada Ate setelah ia melakukan perbincangan ilmiah kepada Ikatan Alumni (IA) Unisba terkait rencananya melenggang sebagai Komisioner KPK, 2014 silam.
Pertemuan keduanya berlanjut setahun usai acara temu alumni SM. Dengan isi obrolan serta kondisi yang berbeda, mereka bercakap dalam waktu singkat.
“Ada nih saya, tulisan ini pernah dikirim ke Tempo tapi tidak dinaikkan,” ujarnya. Wartawan kampus sumringah sekaligus heran. Mengapa bisa, sekaliber Ate saja mendapat penolakan ajuan naskah dari Tempo? Surel darinya kemudian masuk, lalu wartawan kampus membaca paragraf demi paragraf.
Wartawan kampus dibuat tertawa dalam hati. Ternyata, tulisan ini mengandung unsur kritikan terhadap Tempo (baca tulisannya di tautan ini), medianya sendiri, yang saat itu dinilai ‘berpihak’ dalam Pemilu Presiden 2014. Yang benar saja!
Singkat kata, bincang-bincang antara Ate dan wartawan kampus pada saat itu menjadi yang terakhir kalinya diantara mereka. Kalaupun minggu kemarin bertemu, salah satu dari kedua pihak telah pergi untuk selamanya menuju keabadian; merengkuh sisi Sang Raja.
Atas segala kerendahan hati, kebaikan, kelembutan, namun tersisip keberanian, idealisme, serta perjuangan yang menggema, wajar saja kalau Indonesia merasa kehilangan sosok yang semulia itu. Ia adalah distorsi pengganggu kedigdayaan 32 tahun rezim nan korup, namanya Ahmad Taufik.
Ya, minggu kemarin, ada tangis di Tenabang.
***
Selamat jalan Bang Ate,
12 Juli 1965 – 23 Maret 2017,
Pigeons flock together, but eagles fly alone.
*Penulis bekerja sebagai jurnalis di ibu kota, serta wartawan kampus yang dimaksud pada teks di atas