
Ilustrasi Catcalling yang dilakukan oleh sekelompok pria terhadap seorang wanita. (Ilustrasi: Fikri Rizal Naufal/SM)
Oleh Fikri Rizal Naufal
Catcalling sudah tidak lagi menjadi kata yang asing di kalangan masyarakat, khususnya di kampus. Perspektif patriarki yang masih melekat dengan gambaran bahwa laki-laki memiliki maskulinitas dan martabat yang tinggi, sedangkan perempuan dianggap lemah serta tidak dominan.
Konsep budaya patriarki di Indonesia sejalan dengan pemikiran Michael G Peletz tentang “jenis kelamin” yang meliputi budaya, simbol, makna, praktik, dan hal yang berkaitan dengan lima rangkaian fenomena. Di antaranya, perempuan dan feminitas, laki-laki dan maskulinitas, androgynes, transgender, dan individu yang dikebiri atau tidak memiliki gender.
Menurut penulis, pelecehan seksual secara verbal yang menyebalkan ini menjadi bentuk pelecehan yang paling nyata dan dapat dialami oleh masyarakat termasuk mahasiswa. Pelecehan seksual secara verbal ini seringkali terjadi di ranah publik, di mana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kerabat ataupun tidak saling mengenal satu sama lain.
Laki-laki seringkali menjadi pelaku dan perempuanlah yang menjadi korban, walaupun tidak menutup kemungkinan jika sebaliknya. Catcalling bisa ditandai dengan simbol-simbol, seperti siulan, godaan, atau hal lain yang mengarah pada hal seksualitas.
Pengertian ambigu yang muncul ketika simbol-simbol dilemparkan terhadap korban pun menjadi sebuah permasalahan. Korban menjadi cemas, takut, dan tidak percaya diri. Di sisi lain, masyarakat masih memandang bahwa catcalling ini sebagai candaan atau benar-benar merendahkan terhadap perempuan.
Meski begitu, bagi penulis, jika catcalling dibiarkan, bahkan dinormalisasikan, perempuan akan menjadi mudah dilecehkan. Dari sudut catcaller sebenarnya mudah, tinggal mengaku hanya bercanda, sepertinya bukan suatu masalah lagi.
Lalu, apabila catcalling ini merambah di kampus, akankah menjadi mimpi buruk? Bukankah kampus adalah ruang aman warganya dari kekerasan seksual? Untuk mencegahnya, nilai-nilai adab dalam kampus perlu diterapkan dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Tak lepas dari itu, banyak juga yang menyalahkan pakaian dengan dalih mempertontonkan bagian tubuh yang tidak pantas. Sekali lagi, hal apa yang akan melahirkan tindakan seksis? Pakaiannya atau niat pelakunya?
Menurut penulis tak adil rasanya apabila harus menyalahkan pakaian yang terlalu mempertontonkan atau apalah. Hal yang perlu dibenahi bukan selalu apa yang dipakai oleh lawan jenis, tapi kendalikan syahwat!
Kampus harus jadi ruang aman dan bebas tindakan seksis bagi para mahasiswa. Tak sepatutnya lingkungan akademik dikotori pelecehan seksual, meski sekecil catcalling.
Tidak semua orang bisa menerima saat menjadi korban catcalling, dan semua pelaku hanyalah pengecut.
Boys will be boys but girls will be women
Penulis merupakan Pengurus Pers Suara Mahasiswa