Oleh Tsabit Aqdam Fidzikrillah
Welcome to Flower City…
Begitu bunyi salah satu penggalan lirik lagu milik Mocca, band kenamaan asal Bandung. Konon katanya, lagu ini dipersembahkan Mocca sebagai hadiah ulang tahun ke-204 Kota Bandung pada 2014 silam.
Bercerita tentang rasa cinta terhadap tempat yang (katanya) dijuluki “Kota Kembang”, meski dengan gets so overcrowded-nya. Dengan lagu ini, kita belajar untuk mencintai Bandung beserta segala kekurangan dan tetap mengunggulkan kelebihannya.
Lho, emangnya kota ini punya kekurangan, ya? Bukannya Bandung diciptakan ketika tuhan sedang tersenyum, lebih dari sekadar geografis, dan Soekarno ingin kembali kepada cintanya yang sesungguhnya di sini?
“Kota Kembang” Sebagai Kekurangan Bandung di Masa Lampau
Julukan “Kota Kembang” ini konon disematkan pada masa kolonial, bahkan sebelum Bandung mendapatkan status Gemeente atau Kotapraja pada 1906. Tepatnya pada 1890-an, setelah kongres pertama Pengurus Besar Perkumpulan Perkebunan Gula (Bestuur van de Vereniging van Suikerplanters) dilaksanakan di Bandung.
Bandung yang saat itu penduduknya masih sekitar 29.382 jiwa pada 1896 (Reitsma dan Hoogland, 1921), mendapat sebuah kehormatan besar menjadi tempat diselenggarakannya kongres para pembesar gula yang berbasis di Surabaya tersebut. Saat itu, Bandung masih jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan Kota Surabaya.
Haryoto Kunto, dalam buku Wajah Bandoeng Tempo doeloe-nya, menjelaskan kalau kondisi penerangan kota di Bandung pada saat itu masih minim. Jembatan Sungai Cikapundung yang berada di Jalan Asia-Afrika pun katanya masih terbuat dari balok kayu yang berkarpetkan jerami, lengkap dengan tai kudanya.
Kondisi Bandung yang masih terbilang udik itu membikin panitia kongres kebingungan memikirkan cara menjamu para pembesar gula tersebut. Seorang pendahulu tuan perkebunan Priangan (Preangerplanters) yang terkenal royal, Meneer Schenk, memberikan sebuah ide untuk membawa wanita-wanita cantik dari perkebunan Pasirmalang buat “menghibur” para peserta kongres.
Brilian! Mengingat pada zaman tersebut praktek seperti itu terbilang cukup lumrah dan masif. Sudah bisa ditebak, ide itu pun berhasil menyukseskan gelaran kongres para pembesar gula tersebut.
Baru setelah kongres selesai, melalui mulut para peserta kongres, berdengung Kota Bandung dengan sebutan “De Bloem der Indische Bergsteden” atau “Bunganya Kota Pegunungan di Hindia-Belanda”. Meski belum jelas julukan itu diberikan kepada Kota Bandung atau kepada para wanita dari Pasirmalang barusan, tetapi yang jelas kejadian itu menunjukan kekurangan Kota Bandung saat itu.
Biar begitu, peristiwa tersebut bisa dibilang jadi titik awal pembangunan Kota Bandung modern yang bisa kita lihat sekarang. Pada tahun 1898, sebuah perhimpunan berhasil mewadahi para warga dan masyarakat Bandung untuk menyalurkan aspirasi dan partisipasinya dalam membangun kota ini jadi lebih baik.
Wadah ini bernama Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya (Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstreken). Perkumpulan itu diketuai oleh Residen Priangan, Mr. C.W. Kist, dengan beranggotakan beberapa orang ternama saat itu, seperti K.A.R. Bosscha (Preangerplanter dari Pangalengan), Meneer Schenk (Onderneming Pasirmalang), Moeder Homann (Pemilik Hotel Savoy Homann), dan masih banyak lagi.
Perkumpulan ini melancarkan kiprahnya mulai sejak dibentuknya tahun 1898 hingga Bandung mendapatkan status Gemeente atau Kotapraja pada 1906. Pembangunan kota ini pun berlanjut sampai sekarang.
Pembangunan Sebagai Kekurangan Bandung di Masa Kini
Sebagaimana tertuang dalam tembang merdu milik Mocca tadi, kini Bandung memang sudah kelewat ramai. Kamu bisa terjebak hingga berjam-jam dalam kemacetan–sambil tetap mencintai kota kecil ini.
Per 2023, penduduk Kota Bandung diperkirakan mencapai angka 2.569.107 jiwa. Bisa dibayangkan–karena penulis malas menghitung–berapa persen lunjakannya dibandingkan dengan saat Bandung mendapat julukan Kota Kembang dulu.
Jumlah itu belum dihitung dengan penduduk sekitar Kota Bandung (Bandung Coret) yang setiap hari hilir mudik mengais rezeki di kota ini. Tak mengherankan Bandung sudah mulai menyaingi Jakarta dalam bidang lomba kemacetan.
Selain kemacetan, penyediaan hunian layak pun tidak dapat dipenuhi di Kota Bandung. Per 2016, jumlah tunawisma di Kota Bandung mencapai 779 orang.
Tidak hanya itu, warga-warga yang sudah memiliki rumah pun tetap dihantui dengan bayang-bayang penggusuran. Puluhan kasus penggusuran yang dilakukan pemerintah maupun swasta mewarnai catatan merah kota ini beberapa tahun ke belakang.
Katanya, alasan dari beberapa penggusuran tersebut untuk menata kota supaya terlihat lebih rapi dan mengurangi pemukiman kumuh, seperti yang terjadi pada kasus penggusuran Tamansari RW 11. Alasan semacam itu sepertinya memang sudah menjadi watak kota ini sejak dulu, bersolek hanya untuk tamu saja.
Di balik pesona Bandung yang indah, masih banyak bopeng yang tersebar di mukanya, bahkan hingga ke pedalaman tubuh. Untungnya, kecacatan tersebut masih bisa ditutupi dengan make-up kalimat-kalimat glorifikasi yang berhasil menyihir kita.
Kini, orang-orang pun sibuk mencari jawaban untuk menjawab pertanyaan bodoh tapi romantis tentang kota ini. Kenapa Bandung?
*Tulisan ini dibuat dalam rangka Ulang Tahun Kota Bandung
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Dakwah Unisba