Salam kenal, aku adalah ikan yang telah lama hidup di akuarium kantor pejabat kampus. Disebelah sana ada temanku, gunting kuku, benda yang selalu digunakan untuk memotong kuku. Di sebelah kirinya ada pisau; biasa digunakan oleh manusia untuk memotong apel atau memotong lehernya. Nah, diseberang kita, yang membuka pintu tadi, ialah seorang berengsek yang terlahir untuk menjadikan mahasiswa yang asalnya berbahan dasar ‘emas’ menjadi sampah, dan berbahan dasar ‘sampah’ menjadi kotoran kuda.
Sebagaimana ikan piaraan yang telah terjerat zona nyaman, aku tak pernah melakukan pengembaraan seumur hidupku. Berbeda dengan teman-temanku yang menggeliat bebas di samudera. Mereka mungkin telah bertatap mata dengan Eiffel, mengelilingi patung Liberti, atau setidaknya, mereka telah berputar-putar di Samudera Hindia meski marabahaya siap menerkam macam kail pancing dan limbah. Ah, betapa beruntungnya mereka.
Sedangkan hidupku dihabiskan disini; memandang seluruh dunia hanya dari satu sudut pandang dan satu ruangan. Menyedihkan memang. Tapi aku menikmatinya kok. Suwer! Karena disini, aku selalu mengetahui gosip-gosip terhangat nan kontroversial terlebih dahulu. Andaikan aku ditakdirkan menjadi seekor ikan jurnalis, pasti kasus-kasus kontroversial di institusi ini terbongkar habis.
Betapa tidak, dimulai dari agama yang dijadikan ‘label’ demi progresifitas bisnis institusinya, tertutupnya pemilihan pejabat juga transparansi dana, hingga cacatnya pendidikan politik kampus adalah beberapa kasus yang canggih yang ‘sangat-tidak-pendidikan-banget’ di institusi ini. Suara nadir nan getir diredam; dibuang ke tong sampah agar terlihat bersih. Lucunya ditiru pula oleh para mahasiswa keparat cum eksis bersinggasanakan tahta.
Jika aku analogikan, hal tersebut seperti upaya penutupan jerawat dengan sabun colek. Hasil akhirnya cukup tragis, dimana wajah memutih bak kapur dan leher tetap hitam penuh daki. Imut kan?
Oh iya, aku juga lupa mengenalkan majikanku yang gembul itu. Kutu Kupret namanya, bukan nama asli karena aku tak tahu nama beliau –kusebut itu karena dia sering garuk-garuk kepala pertanda pusing. Dia adalah seorang pejabat disini dengan gelar banyak. Ha? Oh bukan.Bukan gelar tikar, gelar sajadah, atau gel rambut. Gelar studi, bos. Selalu sulit kulafalkan bila kubaca. Kau tahu, dia adalah seorang penguasa polos dengan sekian cericit ‘tikus got’ serakah yang selalu menawarkan bisikan setan padanya. Kasihan aku. Bahkan aku, seekor ikan yang tak punya otak, tahu bahwa bisikan-bisikan tersebut bukanlah syair-syair kebaikan.
Jika kuibaratkan seperti penyakit, ‘tikus-tikus got’ itu adalah makhluk-makhluk yang perlu diamputasi dari institusi ini sedini mungkin. Kenapa? Aku tak tahu. Mungkin kau, manusia yang menganyam pendidikan bisa menjawab.
Sejauh ini, cita-citaku cukup sederhana; mengelilingi seluruh sudut akuarium dan mengetahui seluruh partikel yang bersemayam disana. Dan selagi aku bergulat dalam menggapai mimpiku, banyak tragedi norak bin aneh namun menggema di institusi ini. Beberapa contohnya ialah pola ‘kaderisasi’ yang kian tergusur esensinya menjadi ‘eksistensi’, tradisi yang selalu diupayakan untuk bertahan namun tak tahu alasannya, hingga otoritarian tuan-tuan yang menjabat dalam mengatur sistem pendidikan tanpa melibatkan rakyat yang menjalaninya.
Maka biarkan aku bertanya: apakah semua orang ditakdirkan untuk menjadi akademisi? Bagaimana dengan orang-orang yang ditakdirkan sebagai petani, pedagang asongan, atau bahkan, seniman jalanan? Apakah pendidikan merupakan mesin yang dihadirkan untuk menciptakan robot-robot baru, atau justru merupakan wadah yang mampu menjadikan manusia sebagai manusia?
Itu baru satu. Belum lagi ironi-ironi kocak yang lain seperti masalah tradisi yang dibudidayakan. Contoh nyatanya adalah mewariskan kebenciannya terhadap suatu kelompok kepada mahasiswa baru. Kemudian, meng-anti-kan diri terhadap segala hal, diwariskan kembali, dan bangga sebangga-bangganya karena berhasil melakukan upaya doktrinisasi tersebut. Pfffffttt.. Budidaya kebencian, kaderisasi macam apa itu?
Pada akhirnya yang tersisa hanyalah rasa bangga yang berlebih dan membutakan. Fanatisme terhadap seluruh kultur, tanpa tahu mengapa sebabnya. Manusia berbeda dengan keledai, kan?
Sepertinya kampus ini perlu menengok institusi tetangga, Unisba, yang adem ayem nirkonflik. Menurut temanku, Gunting Kuku, yang konon pernah dibawa ke Unisba oleh Kutu Kupret, mahasiswanya jenius-jenius bak Professor Habibie. Dosen-dosennya memenuhi kualifikasi internasional pula, murni mengajar demi pendidikan bangsa, bukan uang. Mereka juga memiliki visi untuk menjadi universitas yang terkemuka di Asia Tenggara. Fasilitas kumplit, plit, plit. Kampusnya dijadikan wadah berkreasi dan bereksplorasi mahasiswa –tentu tanpa eksploitasi. Dan jumlah harga pendidikan yang dibayarkan oleh mereka, diberikan transparansi sejelas-jelasnya dengan sistem yang kredibel dan memuaskan.
Sedangkan disini, kebijakan-kebijakan yang diputuskan selalu tampak sepihak, biaya pun melonjak tinggi setiap tahun dengan transparansi dana publik yang super tertutup. Aneh sekali. Eksekutif mahasiswanya pun menjijikan seperti itu pula; apakah mereka berjalan kaki menuju Rektorat dengan niat membela mahasiswa sungguh-sungguh, atau malah menjilat pantat mereka yang membungkam mulut mereka dengan menggunakan uang dan ancaman nilai?
Di institusi yang kudiami ini –entah di kampus idamanku Unisba, kepedulian terhadap organisasi pun minim sekali rasanya. Permintaan-permintaan yang diajukan pun seolah lolongan anjing yang tak dipedulikan. Ialah makrab temu pihak penguasa dan mahasiswa, yang diselenggarakan oleh pemerintahan mahasiswa contohnya.
Biarkan aku bertanya kembali; Apakah mereka takut bila para aktivis populasinya semakin banyak? Puaskah bila ada alumni yang telah lulus dari kampus, namun kualitasnya sama-sama saja dengan kualitas dedek-dedek SMK? Sulitkah memberi jatah beasiswa kepada setiap organisasi, agar kampus lebih hidup? Puaskah mereka bila mampu menjerat begitu banyak calon mahasiswa dengan jumlah yang diluar nalar, dengan fasilitas yang bisa ditalar itu?
Maaf, sebentar. Telepon masuk. Hah, apa? Ya, Si Brengsek. Mengapa?
Ah, lihat! Si-Brengsek-Yang-Menjadikan-Mahasiswa-Emas-Menjadi-Kotoran-Kuda mulai berbicara! Menawarkan sejumlah kebijakan sepihak yang tak akan dipedulikan oleh mahasiswa keparat yang hanya peduli sepatu Converse dan arak jawa, juga mahasiswa panggung yang hobinya memasang quotes Gie di status media sosial, namun tak pernah sudi untuk menyentuh buku-bukunya!
***
Tolong!
Tolong, mahasiswa yang biasanya menolong, kini harus ditolong!
Tolong, mahasiswa yang biasanya mencekal, kini jalannya dicekal pula oleh para mantan aktivis mahasiswa yang telah duduk manis di kursi jabatan!
Tolong, tegakah kampus, membiarkan anak didiknya terjerumus dalam kebodohan?!
Tolong!
Tolong…
Blub.. Blub.. Blub..
Cimahi, 19 Januari 2016
(Hasbi/SM)