Suaramahasiswa.info, Unisba- Seorang calon dokter spesialis yang diduga bunuh diri beberapa waktu lalu memecah ruang kasus perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Indonesia. Aulia Risma Lestari, mahasiswa PPDS Universitas Diponegoro (Undip), meninggal dunia di kamar kosnya pada Senin, (12/8) pukul 23.00 WIB.
Tudingan soal perundungan ini berawal dari temuan buku harian korban di tempat kejadian perkara. Di dalamnya, menceritakan bahwa dia mengalami masa sulit selama kuliah kedokteran dan menyinggung urusan dengan seniornya. Atas hal itu investigasi pun dilakukan.
Buntut kasus bunuh diri tersebut, Dekan Fakultas Kedokteran Undip, Yan Wisnu diberhentikan sementara dari posisinya sebagai dokter spesialis onkologi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi. Selain itu, proses pembelajaran di PPDS Undip pun diberhentikan sementara sejak Rabu, (14/8).
Diungkapkan pada Rabu (3/9) oleh Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, bahwa kementeriannya menerima sekitar 1000 laporan perundungan yang terjadi di PPDS sejumlah universitas di Indonesia. Setelah didalami, terdapat 30 persen laporan yang benar-benar dinyatakan sebagai kasus perundungan.
Perkembangan terbarunya yaitu adanya dugaan pemerasan yang dilakukan kepada korban oleh oknum didalam PPDS tersebut. Juru bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Mohammad Syahril ungkap permintaan uang berkisar antara Rp 20 hingga 40 juta per bulan. Bahkan orang tua Aulia sudah melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah pada Rabu, (4/9).
STOVIA dalam Buku Jejak Langkah
Kasus ini seperti kejadian berulang ketika anda sudah membaca buku Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer yang mengambil latar kebangunan Indonesia pada tahun 1901-1912. Diceritakan Minke dan kekawan lainnya yang bersekolah di sekolah kedokteran, The School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), mengalami perundungan.
Setiba Minke di asrama STOVIA, tak lama penghuni lain sudah pada datang mengerubunginya. Sebuah kopor (kini: koper) coklat yang terletak di atas ranjang ditendang oleh seorang peranakan Eropa. Kopor itu bergeser dan ternyata rombongan penghuni lain berebut juga untuk ikut menyepak.
Melihat itu, Minke merasa harga diri dan kebanggaannya yang sedang ditendang. Sehingga ia mencoba melawan namun pada akhirnya terjerembab juga di lantai diwarnai gegar tawa tiada habisnya. Mereka pun telah menguliti Minke dari semua pakaiannya hingga tertinggal hanya selembar ikat pinggang kulit dan destar (kain untuk ikat penutup kepala).
Sesaat setelah Minke mencoba menutupi ketelanjangannya itu ke tempat tidur, orang beramai-ramai menarik Minke ke tengah ruangan. Ketika ada yang menghampiri dan hampir menghajarnya, ia kemudian melayangkan kakinya dan terasa telah menghajar rahang orang itu.
Setelah kejadian memalukan tersebut, Minke masuk ke kamar dan mulai membereskan barang-barang yang ada di kopornya. Lukisan mendiang istrinya yang ia bawa dari Surabaya ternyata sudah muncul di hadapan umum dan dengan cepat berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya.
Minke tak bisa menoleransi lagi lalu ia mengambil belati dan mengancam semua orang yang mempermainkannya. Kemudian, seorang siswa berperawakan kecil-kurus datang memasukkan lukisan itu kembali dalam sampulnya hingga singkat cerita mereka menjadi teman satu kamar.
Lelaki yang membantu itu namanya Partotenojo alias Partokleooo, ia juga sering mendapat gangguan namun tidak dapat membela diri. Selain Minke dan kleooo, nasib yang sama juga dialami Cupido`s Boog, bahkan namanya yang aneh itu juga diberikan untuk hinaan terhadap fisiknya.
Kisah perundungan pun tak sampai di situ, pada beberapa hari berikutnya Minke bangun dari tidurnya dengan kondisi ruangan yang telah kosong. Sepatu pada kakinya yang ia bawa tidur saking lelah telah lenyap dari peredaran. Muka Minke pun sudah dicoreng-monteng dan leher terkalungi karton dengan julukan baru, yaitu Gemblung.
Ia pun menyadari lukisan itu sudah keluar dari sampulnya lagi. Entah berapa orang sudah menghiasi lukisan itu dengan tulisan di bawahnya. Minke geram dan memberikan ancaman hingga mereka terpaksa minta maaf.
“Tak ada orang terpelajar, di mana pun dia bertempat, akan melanggar hak-hak perorangan kataku. Orang-orang biadab yang lakukan itu, sekalipun pernah duduk di bangku sekolah dan bisa baca-tulis. Aku bersedia membela hak-hakku, kataku lagi, sekiranya Tuan-tuan tidak mengerti tentang hak.”
Sementara itu, Sikun, seorang siswa Jawa tanpa gelar, yang mendapat kebaikan dari sang mertua, ia pergunakan untuk membiayainya belajar di STOVIA hingga memboyong anak-bininya ke Betawi. Setiap kesempatan Sikun pergunakan untuk bergabung dengan keluarganya, menyelamatkan dirinya dari hinaan para siswa bergelar.
Kesaksian Alumni Lainnya
Selain keterangan yang ditulis dalam buku Jejak Langkah, ada pula kesaksian dari Mohammad Roem, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia yang juga alumni STOVIA. Roem menyatakan bahwa perpeloncoan terjadi selama tiga bulan.
Saat itu, mahasiswa yang baru masuk dijadikan pelayan bagi seniornya. Mereka harus memanggil senior dengan panggilan kebesaran seperti “Tuan”, tak jarang juga dijadikan kurir atau mengelap sepatunya.
Kasus perundungan yang menerpa dunia kedokteran kian mencuat satu persatu usai menelan korban jiwa. Kiranya perlu disadari bahwa setiap orang berhak mendapat rasa aman dan lingkungan yang baik.
Penulis: Syifa Khoirunnisa/SM
Editor: Adelia Nanda Maulana/SM