Suaramahasiswa.info, Unisba- Pada 12 September 1984, di Tanjung Priok, Jakarta Utara terjadi perselisihan antara Bintara Pembina Desa (Babinsa) dengan warga akibat isu terkait Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Tragedi yang terjadi pada empat puluh tahun ini dinamakan Tragedi Tanjung Priok. Hingga saat ini korban dan keluarga korban masih menunggu kebenaran dari tragedi ini.
Tragedi Tanjung Priok merupakan salah satu kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Indonesia yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada saat itu para aparat melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang di luar proses hukum. Tidak hanya itu, terdapat dugaan penyalahgunaan kekuasaan, pembunuhan, dan korban ditangkap serta ditahan tanpa alasan yang jelas.
Di sisi lain, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) membentuk Komisi Penyelidik Pemeriksa dan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T) untuk menyelidiki dan memeriksa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok. Hasil dari investigasi KP3T yaitu Babinsa, Kesatuan Arhanud, Komando Rayon Militer (Koramil) Koja, Kepolisian Resor (Polres) Jakarta Utara, dan beberapa perwira tinggi terlibat dalam pelanggaran HAM berat ini.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok dilanjutkan melalui pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi. Pengadilan ini menyelidiki dan mengadili para pelaku, termasuk pejabat militer dan aparat keamanan yang terlibat.
Terdakwa pelaku sebelumnya telah ditetapkan bersalah di Pengadilan HAM Ad-Hoc tingkat pertama. Namun terdakwa diputus bebas setelah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan bebas tersebut pun menggugurkan kewajiban negara untuk memberi ganti rugi dan pemulihan.
Dilansir dari Kompas.com, sampai saat ini belum diketahui secara pasti jumlah korban meninggal dunia dalam Peristiwa Tanjung Priok. Pemerintah memperkirakan, ada sebanyak 33 orang yang menjadi korban dalam insiden tersebut. Namun, KP3T menaksir ada ratusan orang terbunuh dalam tragedi tersebut.
Pernyataan jumlah korban yang belum diketahui ini merupakan masalah yang belum terselesaikan sampai sekarang dari peristiwa Tanjung Priok. Hal tersebut dinilai menjadi kegagalan negara dalam menuntaskan kasus HAM.
Dalam hal ini negara memiliki kewajiban untuk mengungkapkan kebenaran mengenai pelanggaran HAM sebagai pemenuhan hak korban dan keluarganya serta hak setiap orang untuk mengetahui kejadian masa lalu. Selain itu, pengungkapan kebenaran harus menyeluruh dan efektif dengan memberikan keadilan dan penegakkan hukum yang jelas.
Penulis: Linda Puji Yanti/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM