Sepeda milik salah satu mahasiswa yang bersepeda menuju kampus diparkirkan di tangga Sekretariat UKM Bela Diri Unisba. (Foto: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM)
Banyak moda transportasi yang bisa digunakan mahasiswa untuk menempuh jarak menuju kampus. Pada kampus urban seperti Unisba, kebanyakan mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik menggunakan kendaraan bermotor, baik pribadi maupun umum, dalam perjalanannya menuju kampus. Di balik kepraktisannya, moda kendaraan bermotor membawa masalah-masalah yang tidak praktis untuk diselesaikan.
Polusi sebagai Konsekuensi
Sesuai namanya, kendaraan bermotor menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak roda, jenisnya pun beragam mulai dari beroda dua (sepeda motor) hingga beroda empat (mobil). Dari beragam jenis, semua kendaraan bermotor memerlukan daya untuk dapat bergerak.
Galibnya, mesin tersebut membutuhkan bahan bakar, seperti bensin, solar, avtur, dan lain-lain. Selain menghasilkan tenaga, semua bahan bakar tersebut menghasilkan residu atau sisa pembakaran yang dibuang ke udara.
Kotoran tersebut bercampur dengan udara yang manusia hela ke paru-paru sekaligus ikut menyumbang polusi di atmosfer bumi. Nampak mustahil bukan? Namun itulah kenyataan yang membuat es abadi di berbagai belahan dunia mencair, termasuk Indonesia (Pegunungan Jayawijaya, Papua).
Selain menggunakan bahan bakar, kini muncul mesin kendaraan yang dinilai lebih ramah lingkungan, berdaya listrik. Jenis kendaraan yang menggunakan listrik ini digadang-gadang menjadi masa depan masyarakat urban dalam bepergian. Meski terlihat lebih ramah lingkungan, masih terdapat kepulan asap di balik bersihnya mesin listrik.
Untuk mengetahuinya kita perlu melihat terlebih dahulu dari mana listrik tersebut dihasilkan. Dari banyaknya jenis pembangkit listrik di dunia ini, baik yang terbarukan maupun tidak, ternyata masih banyak persebaran pembangkit listrik yang tidak terbarukan dan menghasilkan polusi seperti pembangkit listrik tenaga batu bara.
Padatnya Kota
Masalah lain yang dihasilkan kendaraan bermotor adalah padatnya volume kendaraan di jalan. Berdasarkan data terakhir (2021) dari BPS, di Kota Bandung saja kendaraan bermotor jenis roda dua dan roda empat pribadi sudah mencapai 1,3 juta lebih. Jumlah tersebut belum dihitung dengan kendaraan bermotor lain yang berjenis umum dan dinas. Sudah terbayang padatnya?
Di lingkup yang lebih kecil, kampus Unisba misalnya, banyaknya pengguna kendaraan bermotor berpengaruh pada padatnya tempat parkir di waktu-waktu sibuk seperti perkuliahan. Sulitnya mencari tempat parkir seolah sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa Unisba.
Mungkin pembaca berpikir jika padatnya tempat parkir tersebut hanya berlaku untuk kendaraan bermotor roda dua, nyatanya tidak. Hal yang sama juga menimpa tempat parkir kendaraan beroda empat. Bukan saja dosen ataupun birokrat kampus, mahasiswa juga turut mengisi volume tempat parkir mobil.
Bersepeda Adalah Melawan!
Memang belum ada solusi instan untuk mengatasi semua masalah di atas, semua harus diusahakan mulai dari hal-hal kecil. Misalnya, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan menggantikannya dengan kendaraan konvensional seperti kereta angin atau sepeda. Terdengar menggelikan bukan? Tetapi hal tersebut bisa menjadi sebuah bentuk perlawanan atas masalah yang ada.
Perlawanan adalah hal yang melekat dengan identitas mahasiswa, biasanya mereka tidak bisa diam melihat problem sekitar. Meski begitu, perlawanan tidak melulu mesti dengan aksi massa, perlawanan bisa diterapkan di bagian-bagian kecil kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut bisa menunjukkan sikap mahasiswa atas problem yang ada.
Dalam masalah lingkungan dan moda transportasi menuju kampus, bersepeda dapat menunjukkan sikap sekaligus sedikit mengatasi permasalahan lingkungan. Karena sepeda tidak menggunakan mesin bahan bakar, tentu tidak akan mengeluarkan sisa pembakaran yang mengotori udara.
Memang sepeda memerlukan tenaga dari tubuh manusia sehingga banyak orang yang malas menggunakannya karena menguras tenaga. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, hal tersebut juga merupakan sebuah perlawanan, lebih tepatnya perlawanan terhadap rasa malas dan sakit (olahraga). Bukankah malas dan sakit perlu dilawan?
Selain itu, meskipun di Unisba sendiri belum tersedia tempat parkir khusus untuk sepeda (salah satu syarat menjadi Green Campus), bersepeda menuju kampus juga merupakan perlawanan atas padatnya parkiran. Dengan profilnya yang ramping, sepeda lebih efisien dalam penggunaan lahan parkir.
Penulis: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM