Oleh: Insan Fazrul
Awan nyaris sirna di mega-mega langit siang hari ini. Ditambah terik surya menggagahi siapa saja yang ada di naungannya. Deru suara kendaraan dua maupun empat saling bersahutan dengan klakson menjadi realitas “manja” di setiap kota besar pada tahun 2020, tak terkecuali di sini, di kota yang bernama Utopis.
Meskipun namanya Utopis, yang berarti tata masyarakat yang hanya bagus dalam gambaran, yang tak mungkin sampai dalam realitas nyata, namun Utopis memang ada, menjadi surga diantara deretan manusia pengemis harapan. Orang berbondong-bondong ber-urbanisasi datang ke sini, memadatkan tiap sudut kota yang sudah sesak dengan bangunan menjulang menantang langit. Tujuan mereka uang, kaya dan segala kemewahan fana lainya.
“Semua ada disini, apapun bisa menjadi uang.” Ujar pendatang yang baru tinggal 28 jam.
“Kota ini layaknya tanah subur pagi para pendatang, sialnya, nyatanya, kota ini sudah tak layak huni, sudah sesak. Ditambah, tindak amoral sudah merajalela tak terkendali, Agama sepertinya hilang disini. Orang bagai binatang binal. Nama kota ini memang benar-benar Utopis, semua pemimpi terhimpun disini. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja kota ini rata dengan tanah, karena kebiadaban di dalamnya.” Keluh seorang pengamat, atau mungkin ia bisa disebut kritikus.
Lantas, apakah Utopis sejalang itu? Atau bahkan sehina itu? Banyak para minoritas yang masih memaktubkan prinsip “Utopis” di sanubari, meneriakan ke-idealisan bersanding dengan nama Tuhan dan ke-Esa-annya.
“Kota ini harus bersih dari segala perbuatan dosa dan hina! Ingatlah! Tuhan itu satu, Tuhan maha kaya dibanding Utopis. Dan camkanlah! Jangan kita sekutukan Tuhan dengan hal hina lainnya!”
Teriakan itu menggema diantara gemaan dasyat Utopis lainnya. Tetap saja, para peneriak Tuhan teriakanya kalah lantang dengan kemegahan kota Utopis. Tak dihiraukan, teracuhkan dalam bayang-bayang matrialistik yang sudah membumi di tanah Utopis.
Teriakan ketauhidan, serta nilai-nilai kebaikan lainnya nyaris bagai lolongan yang nyaring bunyinya ber-nas maknanya, tapi “terdistraksikan” di kota ini. Orang-orang lebih senang berlari, mengudara mencari kaya, memenuhi nafsu mereka ke kanan dan kekiri. Pun dengan sang pemegang kekuasaan, Agama tak dilirik dalam berbagai kebijakan yang akan diambil, dilirik saja tidak, apalagi diperhatikan. Agama sekarat di kota ini, mungkin dalam waktu dekat Utopis akan dibalikan tanahnya oleh Tuhan, seperti para manusia-manusia pendahulu yang tak menghiraukan wahyu-wahyu dari Agama samawi.
67 orang yang masih aktif meneriakan nama Tuhan, dari ratusan ribu orang di Kota Utopis.
“Tuhan Maha Besar, Tuhan satu, Tuhan kita semua.. Bertaubatlah wahai manusia! Hentikan kebiadan akan memuja harta dan organ diselangkangan..”
Orang banyak memprediksi Utopis akan kehilangan agama sekitar 235 hari lagi.
***
230 hari kemudian Utopis semakin binal, semakin jalang. Bahkan perbuatan binatang tak malu dilakukan di tempat-tempat umum. Trotoar, halte, bus kota menjadi tempat maksiat bagi sesiapa yang nafsunya merongrong ingin dipuaskan.
Dan memang benar, belum genap 235 hari agama nampaknya sudah tak terlihat lagi disini, kemanakah wahai wahyu Tuhan? Apakah sudah enggan menjadi naungan kota busuk ini? kemanakah para peneriak Tuhan? Apakah kalian terbawa arus hina kota Utopis?
Awan hitam yang menggelayut di kota ini nampak indah berkolaborasi dengan siluet emas senja hari. namun sayang, keindahan tangan Tuhan tak selaras dengan kota megah ini, yang kini menjadi kota para binatang yang selalu ingin memuaskan nafsu mereka.
“Tunggu saja murka Tuhan..”