
Ilustrasi jurnalis dan tim medis menjadi sasaran kekerasan oleh aparat kepolisian. (Ilustrasi: Kelvin Rizqi Pratama/SM).
Suaramahasiswa.info, Unisba–Aksi demonstrasi itu hal yang wajar dan sah ketika terjadi di negara demokrasi. Apa lagi kalau enggak untuk menjadi wadah masyarakat sipil menyuarakan pendapat di muka umum supaya pemerintah bisa ngejalanin praktik politiknya dengan baik.
Ditambah dengan banyaknya permasalahan dalam ranah internal pemerintah Indonesia saat ini membuat aksi demonstrasi kian bermunculan. Korupsi semakin marak, kebijakan enggak pro rakyat, kebebasan berpendapat semakin ditekan, penanganan Hak Asasi Manusia (HAM) buruk, dan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sering dipaksakan menjadi faktor rakyat marah-marah.
Selebihnya, ya, masalah-masalah lokal kaya penggusuran dan pengrusakan lingkungan yang masih mengakar. Jadi enggak heran kalau misalkan aksi demonstrasi juga masih ada yang menyelipkan tuntutan-tuntutan lokal kaya gitu.
“Kenapa sih Harus Demo Pake Segala `Anarkis` Pula?”
Pertama, yang perlu diluruskan adalah anarkis sebenarnya bukan berarti huru-hara, kekacauan, kerusuhan, apalagi pemberontakan. Anarkis itu sendiri mengartikan ketiadaan tuan atau penguasa sehingga dalam arti lain individu dapat bebas berkumpul bersama secara sederajat. Kesalahan penggunaan kata ini menurut jurnal terbitan Universitas Airlangga terjadi karena minimnya literasi di Indonesia.
Tapi kalau merujuk pada kekacauan yang diakibatkan oleh para demonstran biasanya terjadi sebagai ungkapan rasa kekecewaan mereka. Bisa terjadi karena tuntutannya yang tidak terpenuhi sehingga tidak ada pilihan lain agar bisa didengarkan pemerintah.
Lalu balik lagi ke pertanyaan semula seperti yang dikatakan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yaitu Annisa Maharani Alzahra Mahesa. Dia mempertanyakan alasan kenapa masih ada yang berdemonstrasi karena menurut Annisa lebih baik berdiskusi untuk menyampaikan aspirasi.
Padahal udah jelas-jelas aksi demonstrasi atau unjuk rasa itu salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dijamin oleh Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu juga dalam UU Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3) dijelasin kalau setiap orang itu punya hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Omongan Annisa ini juga mendapat respon yang negatif dari banyak pihak. Ada juga yang mengaitkan dengan pandangan Charles Tilly yang menyatakan bahwa demo adalah bahasa ke dua rakyat ketika bahasa pertama yaitu dialog dibajak oleh orang-orang yang punya akses istimewa.
Enggak semua orang memiliki akses istimewa, sehingga Charles bilang ini disebut sebagai ketimpangan mobilisasi. Mudahnya, rakyat biasa itu enggak punya koneksi, uang, atau kesempatan buat ngobrol santai bareng pemangku kebijakan. Jadi buat mereka itu demo merupakan alat komunikasi setelah pintu-pintu tadi sudah tertutup.
Khususnya Tim Medis dan Jurnalis, Polisi Harus Melindungi Saat Demo
Dalam sebuah demonstrasi, unsur penting yang biasanya hadir yaitu tim medis dan jurnalis. Tim medis untuk antisipasi bila ada yang terluka dan jurnalis untuk penyampaian informasi selama aksi demonstrasi berlangsung.
Tapi mereka ini enggak jarang jadi sasaran kekerasan dari aparat kepolisian. Data yang dipaparkan oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Bayu Wardana mengungkapkan bahwa setidaknya ada 18 jurnalis menjadi korban kekerasan selama meliput aksi penolakan UU Tentara Negara Indonesia (TNI).
Kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi di beberapa aksi demonstrasi lainnya. Contohnya kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis saat meliput aksi Peringatan Darurat. Dijelaskan dalam Konferensi Pers bertajuk “Menyikapi Aksi Peringatan Darurat” pada Sabtu, (24/8/2024) bahwa sejumlah enam jurnalis menjadi korban intimidasi dan sepuluh jurnalis kampus mendapat kekerasan.
Padahal keamanan seorang jurnalis dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 8 yang memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap jurnalis. Peraturan itu juga mengatur tentang perlindungan hukum jurnalis, perlindungan terhadap tindak kekerasan, perlindungan dari segala bentuk penyensoran, dan perlindungan saat di wilayah berbahaya atau konflik.
Lebih jelasnya dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) Pasal 8 Nomor 9 tahun 2008 juga dijelasin kalau warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai isi hati secara lisan dan tulisan. Selain itu, baik melalui media cetak maupun elektronik.
Kasus kekerasan lainnya yaitu menimpa tenaga medis selama demo berlangsung. Sekelompok polisi diduga menggeledah tas tim medis pada saat demonstrasi tolak UU TNI. Dugaan itu muncul usai salah satu akun di platform X mengunggah foto yang memperlihatkan seorang polisi berseragam di dekat mobil ambulans dengan bagasi yang terbuka.
Tidak hanya itu, terdapat juga unggahan video yang menunjukkan barisan polisi yang diduga menghalangi jalan ambulans saat di depan DPR. Walaupun tim medis tersebut sudah meneriakan bahwa dirinya adalah tim medis namun yang berjaga tidak bergidik.
Selain serangan fisik, petugas paramedis ada yang mengalami ancaman pembunuhan serta dugaan pelecehan seksual oleh aparat kepolisian. Kejadian ini terjadi di Kota Malang saat aksi demonstrasi tolak UU TNI.
Tenaga medis memiliki hak perlindungan khusus karena mempunyai peran sebagai pelayan kesehatan masyarakat. Demo yang dikategorikan sebagai keadaan darurat menjadi waktu penting untuk medis bertugas dengan memastikan pertolongan pertama jika ada yang terluka.
Soal itu ditegasin juga di UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan bahwa dalam menjalankan praktiknya, tim medis berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Bahkan dalam peraturan polisi ada ketentuan kalau mereka harus menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang membutuhkan. Bayangin kalau tim medis juga diserang, siapa yang bakal memberikan perlindungan kesehatan selama demo?
Peran Polisi Profesional dalam Mengawal Aksi
Ketika suatu unjuk rasa terjadi, kepolisian punya kewenangan buat ngejaga unjuk rasa bisa berjalan lancar, tertib, dan aman. Ketentuan ini sudah diatur dalam UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang ngejelasin kalau polisi seharusnya membina masyarakat buat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk sadar akan hukum serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
Kenyataannya di lapangan sering kali berbanding terbalik. Alih-alih melindungi dan menjaga ketertiban dengan cara yang humanis, aparat justru kerap bertindak represif. Penggunaan kekerasan untuk membubarkan demonstrasi, pemukulan terhadap massa aksi, hingga penangkapan sewenang-wenang menjadi pemandangan yang tidak asing lagi. Bukannya menciptakan rasa aman, tindakan tersebut justru memperkuat ketakutan dan membungkam kebebasan berekspresi.
Dari data yang diinput oleh YLBHI, kekerasan yang dilakukan oleh aparat selama aksi demonstrasi pada rentang waktu 22–26 Agustus 2024 tercatat sudah 634 korban. Angka itu meliputi 254 korban luka serta 380 korban penangkapan sewenang-wenang ataupun penahanan.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga memaparkan pada tahun 2021 hingga 2023, terdapat hampir 1.000 kasus kekerasan yang terjadi di seluruh Indonesia. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kekerasan oleh aparat kepolisian meningkat, terutama saat penanganan demonstrasi atau konflik/sengketa.
Hal tersebut tidak seharusnya terjadi dalam aksi demonstrasi, karena di dalam Perkap sudah tertuang bahwa pada saat terjadi kerusuhan polisi tidak boleh melakukan pengejaran bahkan hingga melakukan penganiayaan. Penangkapan secara sewenang-wenang pun seharusnya tidak dilakukan, sebab melanggar HAM apalagi tidak didasari dengan bukti yang jelas.
Penulis: Kelvin Rizqi Pratama/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM