
Foto: .Net
Oleh: Agil Nanggala
Politik baik ilmunya maupun praktiknya sangat penting bagi keberlangsungan sebuah negara. Sebab negara bisa menjalankan roda kekuasaan atau roda organisasi negaranya, jika ada orang yang melek akan ilmu politik. Mengerti dinamika negera baik yang ditinjau dari sisi ilmu politik maupun ilmu ketatanegaraan.
Pada dasarnya politik berbicara mengenai idealitas, atau semua hal yang baik, karena politik mengandung kemuliaan, baik untuk negara maupun untuk masyarakatnya. Jika dilihat sekilas, politik penuh dengan drama, baik pertentangan maupun kepentingan, karena tidak bisa kita pungkiri politik merupakan sebuah dinamika, yang tidak bisa diprediksi secara pasti hasilnya. Dunia politik penuh dengan kepentingan, jika kepentingan itu tidak terakomodir, maka akan dipastikan terjadi konflik. Sebaliknya jika terakomodir, maka akan terjadi kompromi politik, dan sekaligus bentuk politik yang paling pragmatis, itulah dunia politik yang harus kita sikapi secara dewasa.
Berbicara mengenai politik tentu tidak akan lepas dari beberapa kelompok, seperti kelompok penguasa. Alhasil kadang sering terjadi pertentangan, sehingga mengeluarkan banyak analisis pakar dan isu yang dikonsumsi oleh masyarakat, terlepas benar atau tidaknya isu tersebut.
Kemajuan teknologi yang semakin canggih, memudahkan akses informasi dari setiap penjuru negeri, termasuk akses informasi mengenai dunia politik. Interaksi masyarakat yang hari ini semakin banyak dilakukan di media sosial memberi kesempatan, untuk mereka seolah menjadi pakar politik dengan memberikan tanggapan, atau opininya terhadap sebuah kejadian politik. Hasilnya politisi harus berhati-hati dalam berperilaku, jika tidak ingin menjadi santapan kemarahan publik, kemajuan teknologi ini memudarkan budaya sopan santun masyarakat kita dalam bijak menggunakan media sosial.
Penyebaran isu dan kabar dunia politik yang cepat, membuat masyarakat kita mudah terjebak dalam berita bohong, yang lebih terkenal dengan hoaks. Menurut berita beredar, kabar tersebut sengaja diproduksi demi kepentingan politik, sangat disayangkan persatuan dan kesatuan harus menjadi korban dalam upaya mewujudkan kepentingan politik ini, melalui cara yang kurang beradab.
Persatuan dan Kesatuan Harus Menjadi Kepentingan Utama
Indonesia adalah negara yang memiliki karakteristik unik, yaitu walaupun beragam suku bangsa, tetapi mereka sadar akan persatuan, dan mau menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Permasalahan utama saat ini adalah penggunaan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) telah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Seperti yang diberitakan, polisi kembali membongkar bisnis penyebaran kebencian berkonten sara yang dilakukan oleh kelompok Saracen. Sejak November 2015, kelompok ini menyebar berita sara dan hoaks melalui media sosial maupun situs internet. Hingga saat ini diketahui jumlah akun yang tergabung dalam jaringan Grup Saracen lebih dari 800.000 akun. Saracen mengunggah konten ujaran kebencian dan berbau sara berdasarkan pesanan. Tujuan mereka menyebarkan konten tersebut semata alasan ekonomi (Kompas, 2017).
Riskan, dengan kepentingan jangka pendek persatuan dan kesatuan nasional dipertaruhkan, terlebih sikap masyarakat yang mudah menerima informasi, dan menyebarkannya. Tentunya hal itu menambah pekerjaan rumah kita bersama dalam upaya mempertahankan persatuan dan kesatuan di Indonesia.
Politik identitas bukan hal baru di Indonesia, setelah lama tidak terdengar lagi, politik identitas mulai ramai dibicarakan. Musababnya penggunaan isu SARA menjadi salah satu strategi jitu dalam memenangkan konstelasi pemilihan umum, baik kepala negara, maupun kepala daerah, yang membuat disintergrasi dalam masyarakat, rasionalitas dalam menentukan pilihan dalam pemilu menjadi hilang.
Beredarnya kabar bohong seputar calon, dan ajakan memilih pemimpin dengan dalih seiman, bahkan dengan iming-iming surga, membuat pesta demokrasi, berupa pemilihan umum, menjadi arena yang kental akan penggunaan agama demi kepentingan politik, inilah yang salah kaprah. Agama yang seharusnya suci, dan meningkatkan fitrah seseorang, malah digunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, bahkan dibisniskan untuk kepentingan politik jangka pendek; membuat kehidupan sosial dan politik kita terancam.
Pesta demokrasi, berupa pemilihan umum, seharusnya menjadi wahana pendidikan dan pembelajaran politik bagi masyarakatnya. Karena itu dengan rangkaian pesta demokrasi seperti pendaftaran calon, kampanye politik, pemaparan visi misi, dan program kerja calon, debat calon, bahkan proses pemungutan suara; seharusnya menghasilkan warga negara yang cerdas dalam berpolitik. Pada dasarnya masyarakatlah yang nantinya langsung menilai, dan mengawasi berjalannya roda pemerintahan, sebagai hasil dari pesta demokrasi tersebut, hanya alat sebagai upaya dalam menyejahterakan masyarakat.
Lain cerita jika strategi politiknya hanya menggunakan isu SARA, atau politik identitas, dalam upaya untuk menang, akan menghasilkan masyarakat yang apatis dalam mengawasi kehidupan berpolitik bangsa. Di sini masyarakat hanya menjadi korban, karena suara digiring dengan menggunakan agama sebagai alat politik, melahirkan demokrasi semu.
Akhiri Politik Identitas
Politik identitas membuat kehidupan politik bangsa Indonesia memperihantinkan, karena timbulnya stigma kaum mayoritas dan minoritas. Hal itu membuat perilaku politik masyarakat menjadi tidak menentu, ada yang acuh dan ada yang peduli. Sepatutnya masyarakat diberikan sebuah pemahaman berupa pendidikan politik, karena untuk menentukan sikap terbaik, kehidupan politik harus menjaga Indonesia agar tetap utuh dengan keadaan masyarakat yang multikultural. Juga mewujudkan kesejahteraan sosial dalam kehidupan masyarakatnya.
Semua harus dewasa dalam menyikapi fenomena politik yang ada, karena politik bisa mempersatukan, bahkan memecah belah bangsa. Nilai esensial dari politik mulai ditinggalkan ditambah pragmatisme dalam politik yang mulai meningkat. Inilah dunia politik, yang selalu ber-irisan dengan publik.
*Penulis adalah Mahasiswa Departemen Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI