Poster “Peringatan Darurat” bergambar burung garuda dengan latar berwarna biru diunggah secara masif oleh warganet di media sosial pada Rabu, (21/8). Unggahan tersebut dianggap sebagai bentuk perlawanan masyarakat usai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengabaikan konstitusi.
Mulanya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan dua partai terkait ambang batas pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). MK juga menegaskan batas usia pencalonan tidak berubah, minimal 30 tahun untuk gubernur dan 25 tahun untuk bupati atau wali kota, saat penetapan pencalonan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
DPR pun menyiasati putusan MK ini melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada dengan mengembalikan ambang batas pencalonan 20% kursi DPRD atau 25% suara sah dan usia calon kepala daerah dimaknai saat pelantikan. Dengan mendobrak konstitusi, DPR rela mengebut keputusan pengesahan RUU Pilkada dalam waktu tak sampai tujuh jam.
Kemarahan masyarakat tak hanya dituangkan dengan unggahan peringatan darurat saja. Aksi unjuk rasa pun terjadi di beberapa titik Indonesia saat hari sidang paripurna untuk mengesahkan RUU Pilkada pada Kamis, (22/8). Usut punya usut, DPR menunda sidang paripurna karena kuorum yang tidak terpenuhi.
Ribuan massa aksi menolak usulan Badan Legislasi (Bales) DPR dan ingin putusan MK tetap dilaksanakan. Aksi demonstrasi diwarnai dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian untuk membubarkan massa aksi. Universitas Islam Bandung (Unisba), salah satu titik evakuasi aksi, menjadi saksi banyaknya massa aksi berjatuhan, alami luka-luka.
Buntut ditundanya sidang paripurna, RUU Pilkada dibatalkan dan “katanya” DPR akan tunduk pada putusan MK. Walaupun begitu, kita harus tetap mengawasi berjalannya demokrasi.
Ini bukan hanya soal siapa yang bisa dan tidak bisa mencalonkan. Bukan soal Mahkamah Konstitusi versus Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi ini soal demokrasi yang tergerus. Baleg seharusnya taat pada putusan MK yang kekuatan hukumnya bersifat mengikat, final, serta self executing sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Akal-akalan DPR tentu mengangkangi konstitusi. Kemungkinannya tidak akan jauh dari kandidat yang akan mereka akomodasi. Entah orang yang usianya hampir 25 tahun atau hampir berusia 30 tahun ngebet jadi kepala daerah.
Publik tidak boleh menutup mata pada kesewenang-wenangan, jangan sampai demokrasi mengalami pembusukan karena peniadaan suara-suara kritis. Apalagi mahasiswa yang berada di kelas menengah dianggap menjadi angin segar bagi demokrasi. Jangan diam, turun ke jalan, dan suarakan keresahan karena gerakan kolektif harus dilakukan.
Redaksi