Dini Dewi Haniarti: Itu dapat Memicu Perang Dunia Ketiga
[nk_awb awb_type=”image” awb_image=”15342″ awb_image_size=”full” awb_image_background_size=”cover” awb_image_background_position=”50% 50%” awb_parallax=”scroll” awb_parallax_speed=”0.5″ awb_parallax_mobile=”true” awb_mouse_parallax=”true” awb_mouse_parallax_size=”30″ awb_mouse_parallax_speed=”10000″]
Perang bukan lagi berarti angkat senjata, mengirim tantara atau saling adu kekuatan. Perang sudah bertambah bentuk jadi sesuatu yang lebih abstrak, dan tanpa bentuk yang pasti. Beruntung Indonesia punya ahli yang bisa mengedukasi tentang perang di zaman ini.
[/nk_awb]
TEKS FADIL MUHAMMAD
FOTO DOK. PRIBADI
Perang bukan lagi berarti angkat senjata, mengirim tantara atau saling adu kekuatan. Perang sudah bertambah bentuk jadi sesuatu yang lebih abstrak, dan tanpa bentuk yang pasti. Beruntung Indonesia punya ahli yang bisa mengedukasi tentang perang di zaman ini.
Wanita itu dikenal dengan nama Dini Dewi Heniarti. Ia muncul sebagai sosok yang sadar akan pentingnya memahami hukum dalam peperangan. Dini merupakan salah satu dari tiga ahli hukum perang di Indonesia. Ilmu yang dimilikinya, ia amalkan dengan menjadi dosen di Fakultas Hukum Unisba sejak tahun 1991 hingga saat ini.
Saat ditemui oleh Suara Mahasiswa, Dini bercerita bagaimana ia memulai karirnya sebagai ahli hukum perang. Karirnya dimulai ketika ia bergabung dengan Kementerian Pertahanan dan membangun koneksi dengan cara mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan hukum perang dan militer.
Berkat keahlian dan kerja kerasnya selama ini, ia juga menjadi salah satu pengajar di Seskoad TNI dan Universitas Pertahanan. “Saya disebut ahli hukum perang bisa, hukum militer juga bisa. Karena itu di dalam hukum militer terdapat hukum perangnya, dan juga ada pertahanannya,” tutur wanita yang juga merupakan Presiden dari Asosiasi Profesor dan Doktor Hukum Indonesia (APDHI).
Sebagai ahli hukum perang, ia sudah menulis delapan buku dan kerap melakukan perjalanan ke berbagai negara, untuk menjadi pembicara dan mempresentasikan jurnal ilmiahnya terkait hukum perang. Dalam perjalanannya Dini selalu mendapatkan dana bantuan dari Dikti, Alhasil kini 31 negara dari lima benua di dunia sudah dijelajahi.
Pada tahun 2012 dirinya melakukan presentasi di Yunani, topik pembahasananya ialah mengenai tren peradilan militer. Saat itu, ada satu hal menarik yang dikatakan oleh salah seorang profesor. “Pas lagi istirahat ada yang bilang ‘you are woman, wearing hijab, but you interested a militer law, how can?’,” ucapnya.
Tepat pada tahun 2013, salah satu jurnalnya yang berjudul ‘Countermeasures Terrorism in Indonesia : An Analysis Trough Point of View of Sociological and Juridical Approach’ mendapatkan predikat jurnal terpopuler dari New York Police Department (NYPD), jurnal ilmiah tersebut dipresentasikan pada acara 50 tahunan Academy Criminal Justice Sciences di Dallas Texas, USA, dengan NYPD sebagai penyelenggara acara tersebut.
Tentu banyak rintangan yang dihadapi seperti perbedaan cuaca, bahasa, dan budaya yang berbeda mewarnai perjalannya. Bahkan ketika ia menjajaki beberapa negara di Amerika, imigrasi bandara membuat dirinya sempat dicurigai oleh pihak berwenang. Karena penampilan serta statusnya sebagai akademisi hukum perang, banyak pertanyaan yang dilontarkan kepadanya sehingga membuat waktu pemeriksaan lebih lama dari biasanya.
Bukan cuma di luar negeri, Dini juga mencoba untuk menyadarkan masyarakat Indonesia untuk ready to combat. Ia menjelaskan bahwa saat ini Indonesia sedang menghadapi perang tanpa bentuk atau yang disebut proxy war dan hybrid war. Dini bercerita bahwa perang tanpa bentuk bukanlah perang terbuka antar angkatan bersenjata, melainkan perang dalam berbagai lini kehidupan seperti ideologi, ekonomi, sosial dan budaya, serta sumber daya alam.
“Contohnya minyak di blok Ambalat dan tiga blok migas perairan Natuna yang diprediksi selama 40 tahun ke depan tidak akan habis, hal itu dapat memicu perang dunia ketiga.” Ia mengungkapkan setidaknya sebagai ahli hukum perang ia dapat melakukan perumusan untuk mengakomodasi ketika perang tanpa bentuk ini terjadi. Karena itu menurutnya protokol internasional saat ini belum bisa mengakomodasi perang tanpa bentuk tersebut.
Menjadi seorang dosen, Dini dikenal sebagai sosok yang hebat, mandiri, pemberani, dan berkompeten. Hal itu diutarakan oleh salah satu mahasiswanya, Nur Ayu Sutarti. Menurutnya saat Dini mengajar, Ia selalu membahas mengenai persoalan konflik yang harus dipahami dan dihadapi ke depannya sebagai Warga Negara Indonesia. Bahkan tidak jarang Dini langsung membawa salah satu tentara untuk berbagi cerita, pengalaman dan pemahamannya mengenai militer.
“Saya belajar semangat berpendidikan dari beliau. Selain dari inspirasi itu saya juga mendapat berbagai ilmu di bidang hukum militer dan juga mengetahui konflik yg terjadi saat ini (baca: proxy war). Hal itu membuat saya sadar harus merubah diri menjadi lebih baik jika tidak ingin kalah dari ‘perang‘ tersebut,” tutur mahasiswa Fakultas Hukum Unisba 2015 ini.
Di akhir perbincangan, Dini sempat berpesan kepada mahasiswa bahwa sebagai generasi yang akan meneruskan peran dirinya, mahasiswa harus gagah bukan secara fisik saja. Melainkan gagah secara pikiran, berani dalam mengambil sikap, tindakan, dan apapun itu. Ia berharap generasi muda saat ini mampu lebih survive dan juga mengembangkan wawasannya.
“Terutama harus berani jangan kalah sama orang tua kayak saya. Kalau anak muda kan lebih fresh dari segi jasmani. Karena di belahan dunia mana pun itu bumi sama, cuman beda bahasa, negara jadi gak usah takut.”
Perang di era sekarang ini memang tak terasa, tetapi akan bahaya jika tetap dibiarkan. Kita sebagai generasi muda harapan bangsa, jadilah sosok yang berguna bagi negara. Jangan abaikan perang yang ada di depan mata, sebab itu bisa menghancurkan masa depan kita.