Cagar Alam Junghuhn, Wadah Tanaman Anti Malaria
[nk_awb awb_type=”image” awb_image=”15206″ awb_image_size=”full” awb_image_background_size=”cover” awb_image_background_position=”50% 50%” awb_parallax=”scroll” awb_parallax_speed=”0.5″ awb_parallax_mobile=”true” awb_mouse_parallax=”true” awb_mouse_parallax_size=”30″ awb_mouse_parallax_speed=”10000″]
Bandung, kebanyakan orang juga menyebutnya dengan julukan kota kembang. Masyarakat menganalogikan julukan tersebut adalah kecantikan gadis bandung. Namun, siapa sangka terdapat julukan lain sebelum itu, jawabannya terletak di kawasan Cagar Alam Junghuhn, Lembang, Bandung.
[/nk_awb]
TEKS DAN FOTO SUCI PEBRIANTI
Mulailah kami bergegas mencari tahu cerita dibalik julukan terdahulu kota Bandung. Tim Suara Mahasiswa, menelusuri jalan di daerah Bandung Barat dengan sepeda motor, tepat di Jalan Jayagiri dua Kecamatan Lembang menuju Cagar Alam Junghuhn. Sesampainya di sana kami masuk ke dalam gerbang, terlihatlah sebuah tugu putih yang sederhana dengan bentuk mengerucut bertuliskan Dr. Franz Wihelm Junghuhn. Tugu itu adalah makam dari tokoh tersebut yang berada di antara banyaknya pohon kina.
Namun, suasana yang terlihat di sana sangat sepi pada waktu itu. Jauh dari kesan bahwa kawasan ini merupakan tempat wisata. Faktor itulah yang membuat saya bertanya-tanya apa sebenarnya tempat ini.
Akhirnya, kami menghampiri kantor petugas Cagar Alam Junghuhn, lalu bertemu dengan petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) yang bernama Asep Suryana. Ia pun mulai menegaskan bahwa cagar alam ini memang bukan tempat wisata. Tetapi, kebanyakan orang melakukan penelitian di kawasan ini.
“Di sini tidak terfokus untuk membudidayakan, kami hanya menyediakan sarana edukasi bagi anak-anak sekolah bagaimana cara memperlakukan kina agar keasriannya terjamin,” ucap lelaki berkumis tipis tersebut.
Asep menambahkan, jika pengelolaan tempat ini berbeda pada zaman dahulu dan sekarang. Bahwa saat dulu Cagar Alam Junghuhn itu dikelola oleh Dinas Parawisata Produksi Jawa barat dan BBKSDA . Namun, sekarang telah dikelola sepenuhnya oleh BBKSDA sebagai cagar alam.
Maka, Asep pun menjelaskan bahwa kita harus bisa membedakan antara taman wisata alam dan cagar alam. Karena cagar alam perkembangannya berlangsung secara alami dalam artian harus apa adanya tidak seperti taman pada umumnya. Jika kita melihat payung hukum yang ada di bbksda bagian cagar alam bahwa tidak diperbolehkan menebang pohon yang tumbuh secara alami. Namun, asumsi warga sekitar berlainan, karena dulu sempat dirawat oleh dinas parawisata. Masyarakat berfikir bahwa seharusnya taman itu bersih, teratur dan memiliki nilai estetika yang tinggi.
Tidak hanya terdapat sebuh tugu di tempat ini. Di sudut lain tak jauh dari tugunya terdapat suatu lahan budidaya pohon kina. Kebetulan, di tengah asiknya mengobrol, kita diajak untuk menelusuri lahan tersebut.
Asep pun turut menjelaskan bahwa di Cagar Alam Junghuhn sendiri terdapat 150 budidaya pohon kina yang baru dan sudah lama.
Membicarakan soal budidaya kina di sana, Asep menjelaskan bahwa kina tidak bisa tumbuh dari biji yang biasa saja. Namun, biji kina harus di produksi terlebih dahulu, dengan cara pembibitan semai sambung. Di mana batang bawah kina adalah semai succi yang di tanam di kebun. Kemudian penyambungan dilaksanakan pada saat bibit bawah berumur 8-12 bulan dengan yang asli, lalu di bungkus dengan plastik supaya mengurangi penguapan, baru bisa tumbuh.
“Dari Amerika Selatan, Junghuhn membawa kina ke Indonesia dan dibudidayakan. Akhirnya berhasil menjadi produk terbesar di dunia bahkan Bandung sendiri pada waktu itu di sebut kota kina,” tuturnya.
Sedikit cerita mengenai sosok seorang Junghuhn, menurut Kurator Musium Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Achmad Iriyadi menjelaskan Junghuhn sangat tepat membawa kina ke daerah Lembang, Bandung karena memiliki dataran yang tinggi.
Kina pun sangat dibutuhkan untuk pengobatan malaria. Manfaat itulah yang menjadi faktor juga tumbuhan ini sangat dikenal oleh masyarakat dunia.
“Junghuhn sosok yang berjasa bagi Indonesia, dia telah memperkenalkan bangsa kita keseluruh dunia. Bahkan jika kita berangkat ke luar Negeri, akan lebih mudah dikenal karena pada saat dulu di negara kita bisa memproduksi Kina yang cukup tinggi” ucapnya saat ditemui SMAK BPK 1 Penabur pada Jumat (9/3).
Melanjutkan cerita saya bersama Asep di cagar alam, ia sempat mengeluh karena kurangnya perhatian dari warga setempat pada tempat ini. Menurutnya, pemerintah kurang melakukan sosialisasi kepada warga. Sehingga warga pun minim pengetahuan akan sejarah kina dan Junghuhn sendiri.
“Harapan saya tidak hanya BKSDA yang memperhatikan, tetapi warga sekitar pun. Terutama pemerintah daerah yang seharusnya memiliki perhatian khusus terhadap cagar alam. Terlebih, Cagar Alam Junghun ini merupakan salah satu aset negara,” tutupnya.