Apatisku Untuk Perkembangan Potensiku[nk_awb awb_type=”image” awb_image=”15379″ awb_image_size=”full” awb_image_background_size=”cover” awb_image_background_position=”50% 50%” awb_parallax=”scroll” awb_parallax_speed=”0.5″ awb_parallax_mobile=”true” awb_mouse_parallax=”true” awb_mouse_parallax_size=”30″ awb_mouse_parallax_speed=”10000″]
Aktivitas perkuliahan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia, memiliki keanekaragaman baik di dalam maupun luar kampus. Saat mengisi waktu formal dan juga nonformal, mahasiswa memiliki ‘keunikan’ di setiap perencanaan dan pelaksanaan dalam berkegiatan sebagai seorang yang sudah berada pada tingkat pendidikan terakhir. Dalam hal ini, seberapa besar tingkat mahasiswa ingin atau tidak menjadi anggota organisasi/lembaga di dalam kampus?
[/nk_awb]
OLEH TRISAKTI RAKSANEGARA
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI 2016
Seperti cerita singkat Rasi Raksanegara, remaja dewasa berumur 23 tahun, sudah memutuskan berhenti kuliah, yang juga selama kuliah ia tidak mengikuti satu pun organisasi resmi yang ada di kampusnya.
Nama panggilan akrab sehari-harinya ‘Rasi’, memberi pandangan bagaimana seorang mahasiswa dalam mengambil keputusan, apakah harus mengikuti organisasi? Atau tidak harus berkecimpung dalam keorganisasian di kampus? Menurutnya, organisasi dalam kampus bukanlah sebuah keharusan yang perlu dilaksanakan oleh mahasiswa, karena memilih untuk mengikuti atau tidak, merupakan pilihan masing-masing individu.
“Organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama,” menurut pakar etnografi James D. Mooney. Lalu, bagaimana bila mahasiswa itu sendiri ingin bersama-sama mencapai tujuan tetapi tidak harus berada pada sebuah organisasi? Rasi berpendapat terkait hal tersebut, menurutnya dunia kampus tidak sepenuhnya harus mengikuti segala kegiatan yang ada di dalamnya. Hal itu termasuk organisasi, karena di dalamnya pasti memiliki kelebihan tersendiri, juga kekurangan yang dirasa baik oleh pihak internal maupun eksternal dari organisasi tersebut.
Dari pengalamannya selama melaksanakan perkuliahan, kurang lebih dua tahun setengah, hingga akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Rasi masih mengingat dan terus mengkaji segala hal yang ia rasakan selama menjadi mahasiswa. Bahkan sampai ada satu hal yakni iklim organisasi yang dirasanya memunculkan warna tersendiri bagi seorang mahasiswa menghadapi situasi seberapa penting organisasi perlu diketahui, dipahami, termasuk diikuti oleh mahasiswa.
Dari sisi keberlangsungan setiap kegiatan yang dilaksanakan organisasi internal kampus, Rasi merasakan adanya perbedaan yang mencolok dari setiap organisasi. Perbedaan-perbedaan itulah yang dirasa oleh Rasi sebagai bentuk ciri khas yang dimiliki oleh setiap organisasi. Berbendera dan berkeyakinan beda dari setiap apa yang harus dan akan dilakukan organisasi itu sendiri.
Namun sangat disayangkan, masih ada saja pandangan negatif kepada mahasiswa yang sama sekali tidak mengambil peran dalam keorganisasian. Dari hal inilah banyak menimbulkan pro-kontra baik dari pihak organisasi, ataupun dari mahasiswa non organisasi. Bukan masalah tidak ingin berkontribusi atau malas dalam berorganisasi, melainkan internal dan iklim dari organisasi itu sendiri yang dirasa tidak cocok dengan mahasiswa yang tidak berorganisasi. Namun, dari sisi internal pun masih ada saja beberapa anggotanya yang mengganggap bahwa mahasiswa non organisasi ‘bukan’ seorang mahasiswa, hingga muncul stigma mahasiswa apatis.
Menelisik sedikit pengertian dasar, apa itu mahasiswa dan apa yang disebut dengan apatis? Apakah ada kaitannya seorang mahasiswa non lembaga dengan apatis itu sendiri? Mahasiswa menurut Knopfelmacher dalam Suwono, 1978; “Mahasiswa merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik serta diharapkan menjadi calon–calon intelektual.”
Muncul kata Intelektual, yang dalam pengertiannya adalah orang-orang yang dapat menyikapi setiap permasalahan, lalu harus melakukan langkah selanjutnya, merekalah yang memiliki keputusan yang terbaik dari hasil berpikirnya. Sedangkan menurut Solmitz (2000) apatis merupakan ketidak pedulian seseorang, mereka tidak memiliki perhatian atau minat khusus terhadap aspek-aspek tertentu seperti aspek fisik, emosional, dan kehidupan sosial.
Benarkah mahasiswa non organisasi adalah seorang yang apatis? Rasi, dari hasil dirinya yang dapat dikatakan pernah menjadi mahasiswa tidak setuju muncul pandangan mahasiswa itu apatis hanya karena tidak mengikuti suatu organisasi kampus. Pada dasarnya dalam kehidupan berkeluarga sekaligus bertetangga itu ada di bagian kita melaksanakan setiap kegiatan yang hampir mirip dengan yang ada dalam organisasi.
Lalu tidak menutup kemugkinan bukan karena apatis atau tidak peduli begitu saja membuat tidak ingin mengikuti organisasi. Tetapi bisa saja ada kegiatan lain yang lebih bisa menunjang karir serta cita-cita yang ingin dicapai oleh mahasiswa itu sendiri. Rasi pun merasa, dirinya tidak banyak mengetahui tentang setiap organisasi di tataran fakultas dan universitasnya.
Bukan karena dia apatis yang benar-benar apatis tingkat mutakhir, tetapi Rasi meyakini setiap elemen manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tak bisa dipungkiri. “Iya aku ga berorganisasi, aku pun iya dikatakan mahasiswa apatis. Tapi aku merasa dari apatis yang dikatakan mahasiswa anggota organisasi, aku banyak berpotensi di bidang yang aku geluti, dan sama sekali mereka tidak ketahui,” ujar Rasi sambil menutup perbincangan.
Oleh karena itu, janganlah berpandangan buruk atau negatif terhadap orang lain yang berbeda aktivitasnya dengan kita. Lebih baik, saling bertukar pikiran, pendapat, dan juga saling tolong-menolong mana kala ada suatu permasalahan. Sehingga dapat diselesaikan bersama-sama, bahkan bisa menjadi tenaga tambahan di segala urusan yang sedang dilakukan.