Ghinan, Pelukis Senyum Rumah Pelangi
[nk_awb awb_type=”image” awb_image=”15374″ awb_image_size=”full” awb_image_background_size=”cover” awb_image_background_position=”50% 50%” awb_parallax=”scroll” awb_parallax_speed=”0.5″ awb_parallax_mobile=”true” awb_mouse_parallax=”true” awb_mouse_parallax_size=”30″ awb_mouse_parallax_speed=”10000″]
Mereka menghabiskan waktu di jalanan, tak ada yang peduli. Tetapi, seorang wanita justru mendedikasikan dirinya untuk mendidik mereka yang terkucilkan dan dipandang sebelah mata. Ia memilih tidak hanya mencibir tapi merubah keadaan mereka.
[/nk_awb]
TEKS GINA SANTIA
FOTO DOK. PRIBADI
“Saya Ghinanti Rhinda Dewi,” sapanya siang itu di masjid Trans Studio Mall Bandung.
Wanita ramah yang ditemui kala itu telah menginspirasi banyak kaula muda melalui Rumah Pelangi. Disana muda-mudi mendedikasikan dirinya mengajar anak jalanan, secara cuma-cuma. “Mendidik itu bukan hanya kewajiban guru, orang tua, atau pemerintah, tapi kewajiban bagi orang-orang yang terdidik,” tutur wanita kelahiran Bandung tersebut.
Berawal dari kepeduliannya terhadap anak jalanan, pada usia lima belas tahun ia mulai berjuang membentuk Rumah Pelangi. Ia menceritakan saat ia maasih bersekolah sering melihat anak seusianya yang semetinya menikmati masa-masa sekolah, malah harus mengais rezeki. Padahal menurutnya mereka memiliki peran yang sama, yakni sebagai poros generasi penerus bangsa, serta mereka pun memiliki hak pendidikan yang sama.
Hal itulah yang mendorong lahirnya Rumah Pelangi pada 18 Juni 2012. Alun-Alun Bandung menjadi tempat pertama Ghinan dengan anak-anak Matahari (panggilan bagi anak-anak penghuni Rumah Pelangi) beraktivitas, belajar keagamaan dan Calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Ia bersama empat teman lainnya sengaja menyisihkan uang jajan untuk membeli alat tulis yang digunakan saat itu.
Dalam perjalannya, Rumah Pelangi terpaksa harus berpindah tempat ke Stasiun Bandung pada tahun 2012, hingga terakhir menetap di Terminal Leuwi Panjang. Bermacam sebab, mulai dari razia anak-anak jalanan oleh Satpol PP dan kondisi anak matahari di Stasiun Bandung, yang tidak begitu membutuhkan pembimbing belajar. Hingga perjuangan Ghinan dimulai dari nol lagi.
Ketika ia membentuk Rumah Pelangi di Terminal Lewi Panjang pada tahun 2013. Ghinan diharuskan meminta izin kepada orang tua si anak, dan para preman yang mengkoordinir anak-anak jalanan. Sukarnya mendapatkan perizinan dari pihak terkait, membuat Ghinan melakukan pendekatan terhadap mereka dengan memberi makanan, rokok, dan kopi saban hari.
Enam bulan lamanya, Ghinan melakukan pendekatan, tak ayal membuat ia memperoleh perilaku kasar dan kadang pelecehan dari para preman. “Sempat saya mau ditonjok preman, dibentak-bentak, dicolek-colek dan digodain, gara-gara saya terus-terusan minta izin ke mereka,” tutur wanita yang berusia 21 tahun tersebut.
Perilaku kasar dan pelecehan dari preman, masih bisa ia terima. Tetapi, ada hal yang membuat semangat juang Ghinan sempat redup. Ia ditawari kesepakatan, bila ingin mengajar harus membayar Rp 50.000 per anak. “Bingung, saya punya uang darimana? Saya hanya bisa berusaha dan berdo’a sembari terus melakukan pendekatan kepada mereka. Akhirnya membuahkan hasil, mereka pun memperbolehkan saya ngajar anak-anak, tanpa harus membayar sewa,” ceritanya dengan sumringah.
Setelah berjalannya kegiatan Rumah Pelangi, rekan-rekan seperjuangannya mulai meninggalkan Ghinan dan anak-anak matahari dengan alasan kesibukan di luar Rumah Pelangi, hingga alasan tidak kuat mental menghadapi kondisi anak-anak yang tak terurus. “Namanya juga jihad, belajar, dan berjuang, yah pasti banyak pahit dan enggak enaknya.”
Meskipun ia kecewa, Ghinan tidak menyerah begitu saja. Ia terus mempertahankan Rumah Pelangi, dan berjuang meski tanpa karib seperjuangan.
Meski begitu, nampaknya Ghinan harus tetap berbangga hati. Bapak Ule Sulaiman (24) yang bekerja sebagai penjaga keamanan Terminal Leuwi Panjang, melihat kegiatan yang diadakan Rumah Pelangi. Ia merasa bangga dan berterimakasih atas dedikasi yang dilakukan pengajar Rumah Pelangi. “Kegiatan belajar Rumah Pelangi ini, harus terus ada, jangan sampai vakum,” ungkap laki-laki paruh baya tersebut.
Sinta (15) salah seorang siswi matahari kini sudah bisa membaca dan tahu bagaimana tatacara salat. Ia merasa senang dan beruntung bisa kenal dengan Ghinan. “Teh Ghinan orangnya baik, dia sabar ngajarin aku dari awal sampai sekarang, aku udah bisa baca dan salat,” ucap gadis berambut pendek itu, saat ditemui di Terminal Leuwi Panjang.
Dari perjuangan Ghinan membentuk Rumah Pelangi, ia kemudian mengabadikan kisahnya dengan menulis sebuah buku yang berjudul Tauhid Hasan 2. Rencananya karyanya ini akan terbit tahun 2018-2019 mendatang. Selain itu, ia pun kerap kali diundang sebagai pembicara seminar diberbagai universitas, dan talkshow di stasiun radio.