Kausa Mahasiswa Apatis
[nk_awb awb_type=”image” awb_image=”15318″ awb_image_size=”full” awb_image_background_size=”cover” awb_image_background_position=”50% 50%” awb_parallax=”scroll” awb_parallax_speed=”0.5″ awb_parallax_mobile=”true” awb_mouse_parallax=”true” awb_mouse_parallax_size=”30″ awb_mouse_parallax_speed=”10000″]
Stereotipe apatis mahasiswa masih tertanam dalam benak sebagian mahasiswa yang tidak mengikuti organisasi. Nyatanya, di balik pandangan apatis terhadap mereka, ada saja sesuatu yang mungkin dikerjakan. Sebab setiap mahasiswa memiliki sisi keapatisannya sendiri.
[/nk_awb]
TEKS INDAH NURAZIZAH DAN GINA FATWATI
FOTO MUHAMMAD SODIQ
Beda halnya dengan mahasiswa yang memang benar-benar dikategorikan apatis, mereka tidak tertarik untuk mengikuti organisasi, suatu kegiatan, atau pun melakukan sesuatu selain kuliah pulang kuliah pulang atau biasa dikenal dengan sebutan mahasiswa kupu-kupu.
Hal itu turut diakui oleh Mahasiswa Fakultas Dakwah Unisba, Rakha Dendi Pratama. Ia merasa malas untuk berorganisasi karena tidak mau mengikuti rangkaian diklat yang biasa dilakukan oleh setiap organisasi diawal keanggotaan. Ia juga mengungkapkan tidak ada kesibukan ataupun kegiatan lainnya selain kuliah. “Kesibukannya makan, mandi, tidur, belajar, main game ya gitu,” ungkap mahasiswa 2017 ini pada Selasa (13/3).
Akibat ketidak peduliannya tersebut, Rakha sempat telat melakukan perwalian karena tidak mengetahui informasinya. Ia membenarkan kesehariannya hanya kuliah pulang-kuliah pulang. Namun ia juga menyadari pentingnya memiliki kegiatan lain di luar jadwal kuliah, dan berharap dapat meninggalkan kebiasaan buruknya untuk bermalas-malasan.
Beda halnya dengan Ayu Adjeng Yuniar yang tidak ikut aktif dalam berorganisasi, karena merasa kurang terbuka dengan lingkungannya yang sekarang. Adjeng mengaku tidak bisa berbaur dengan lingkungan baru jika hanya ia sendiri tanpa di temani teman-temen dekatnya. “Karena temen-temen deket aku pada gak ikutan, jadi aku juga gak ikutan,” ungkap Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba 2016 ini.
Ditanya perihal enterpreneur, Adjeng bercerita saat awal masuk kuliah ia dan satu orang temannya sempat membuka usaha online shop. Namun usaha itu tidak bertahan lama sekitar satu tahun, hal itu dikarenakan orang tuanya yang tidak setuju. Menurut orang tuanya, yang perlu ia lakukan adalah fokus kuliah tanpa memikirkan untuk mencari uang. “Papah aku sih yang gak ngebolehin banget, soalnya pas aku buka online shop itu papah aku gak setuju,” terangnya.
Setelah berhenti dari usaha online shop-nya, Adjeng mengaku kegiatan sehari-hari yang ia lakukan sekarang ini hanyalah kuliah pulang-kuliah pulang. Karena hal itu ia juga mengaku kurang mendapatkan pengalaman. “Pulang kuliah juga langsung main, gitu aja tiap hari gak ada kegiatan apa-apa lagi. Makanya kupu-kupu aku mah, apatis banget,” akunya.
Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi 2016, Auranti Galuh P. Juga memilih untuk tidak berorganisasi karena merasa cukup dengan organisasi yang pernah diikutinya selama di sekolahnya dulu. Selain itu, keaktifannya semasa sekolah membuatnya jenuh dan enggan untuk kembali mengikuti organisasi.
Ketika resmi menjadi mahasiswi Unisba, Aura memutuskan untuk tidak mengikuti sama sekali organisasi. Bukan tidak tertarik, tetapi jarak yang jauh antara rumah dan kampus, serta tidak adanya transportasi menjadi salah satu alasan tidak mengikuti organisasi. Ia juga mengaku ingin fokus kuliah dan lulus sesuai dengan target. Saat ini, ia lebih memilih disibukan dengan peran barunya sebagai asisten laboratorium.
“Pokoknya sekarang Aura berpikir udah masuk semester empat, insyallah empat tahun ingin lulus tepat waktu,” ujar Aura. Namun Aura tetap menyadari akan pentingnya organisasi sebagai media pengembang diri dan melatih kepemimpinan.
Sangat disayangkan memang, sebagai mahasiswa yang berlebelkan agen perubahan namun masih menghabiskan waktunya hanya untuk bermalas-malasan tanpa melakukan kegiatan apapun. Lantas, apa yang bisa ia ubah jika terhadap lingkungan sekitar pun acuh. Berdasarkan dari kuesioner yang telah disebar oleh Suara Mahasiswa, presentase perempuan sebesar 57,89 persen, sedangkan laki-laki 42,11 persen. Berbagai alasan pun mereka ungkapkan 34,78 persen mahasiswa merasa malas untuk melakukan kegiatan di kampus atau pun berwirausaha, 4,35 persen menganggap hal itu tidak penting dan 60,87 persen lainya memiliki alasan yang beragam. 50 persen dari mereka memilih untuk pulang dan beristirahat dirumah ataupun kos seusai kuliah, 17,86 persen memilih untuk nongkrong-nongkrong. Sisanya memilih untuk bermain band, main, pacaran dan sebagainya.
Mereka pun memiliki karakteristik atau kepribadian yang tentunya berbeda dengan mahasiswa organiastoris, akademik, maupun enterpreneur. Menurut data yang diperoleh, mahasiswa jenis ini biasanya menghindari duduk di depan saat peroses belajar dikelas. Selain itu, sebelum perkuliahan di mulai sebagian besar dari mereka jarang mempersiapkan terlebih dahulu materi yang akan dipelajari atau bahkan tidak sama sekali membaca buku ataupun membawa buku panduan. Meskipun begitu mereka tetap dapat menangani tugas sesuai target waktu, fokus pada tujuan dan berkorban demi mencapai tujuan.
Hal itu turut di tanggapi Parihat Kamil, dosen Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Fakultas Dakwah Unisba. Menurutnya menjadi siapa pun itu, diharapkan tidak acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar. Terlebih mahasiswa yang menurutnya harus peka terhadap lingkungan sosial dan budaya di manapun ia berada. “Mau jadi apa nantinya jika cuek terhadap lingkungan sekitar, tidak akan mendapat wawasan dan pengalaman. Padahal itu juga sebuah pembelajaran,” jelasnya saat ditemui di Ranggagading No. 8 pada Senin (9/4).
[nk_awb awb_type=”image” awb_image=”15319″ awb_image_size=”full” awb_image_background_size=”cover” awb_image_background_position=”50% 50%” awb_parallax=”scroll” awb_parallax_speed=”0.5″ awb_parallax_mobile=”true” awb_mouse_parallax=”true” awb_mouse_parallax_size=”30″ awb_mouse_parallax_speed=”10000″]
“Mau jadi apa nantinya jika cuek terhadap lingkungan sekitar, tidak akan mendapat wawasan dan pengalaman. Padahal itu juga sebuah pembelajaran,”
[/nk_awb]
Parihat berharap mahasiswa tidak hanya mengais ilmu dari bangku kuliah saja, tetapi juga belajar hidup dari lingkungannya saat ia kuliah. Menurutnya hal itu dapat menjadi pembelajaran untuk menghadapi persoalan-persoalan yang nantinya akan dihadapi. Namun ia juga mengungkapkan bahwa mahasiswa harus memiliki skala prioritas, jangan sampai tujuan utama kuliah terbengkalai akibat terlalu aktif organisasi. “Bukan tidak boleh berorganisasi, jangan sampai di organisasi aktif tapi akademiknya jeblok, IPK-nya kecil,” ungkapnya.
Namun, Parihat juga mengungkapkan bahwa pentingnya berorganisasi ataupun memiliki kegiatan lain di luar kuliah sesuai dengan minatnya. Untuk menghindari perilaku apatis ia menyarankan mahasiswa untuk mencari teman yang baik dan lingkungan yang kondusif, sehingga mahasiswa tersebut juga terpacu untuk ikut serta dalam suatu kegiatan.
Apatis bisa saja dikurangi dengan berbagai cara, misalnya pada saat proses pengenalan mahasiswa baru. Dalam tahap itu, mahasiswa baru masih berada ditahap transisi dari murid sekolah menjadi seorang mahasiswa yang dituntut kritis, kreatif dan inovatif. Dengan demikian, masa pengenalan ini menjadi penting untuk mengarahkan mahasiswa agar bisa lebih peka terhadap lingkungannya dan bisa berguna bagi masyarakat berdasarkan minat dan bakatnya.