Mahasiswa dan Ekonomi Masyarakat
[nk_awb awb_type=”image” awb_image=”15314″ awb_image_size=”full” awb_image_background_size=”cover” awb_image_background_position=”50% 50%” awb_parallax=”scale” awb_parallax_speed=”0.5″ awb_parallax_mobile=”true” awb_mouse_parallax=”true” awb_mouse_parallax_size=”30″ awb_mouse_parallax_speed=”10000″]
Mahasiswa produktif tak harus turun berorasi, ataupun berdiam diri menelaah pengetahuan. Mereka bisa berperan membangun ekonomi masyarakat.
[/nk_awb]
TEKS PUSPA ELISSA DAN IQBAL YUSRA KARIM
FOTO PUSPA ELISSA
Di samping kegiatan kuliah demi pendidikan yang berguna bagi kualitas diri manusia. Menjadi mahasiswa dianggap sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan. Walaupun terkadang dalam kenyataan banyak sarjana yang kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan seperti lagu Iwan Fals berjudul Sarjana Muda.
Yah, pengangguran jadi momok di Indonesia. Di tahun 2017 lalu Badan Pusat Stastistik (BPS) menyatakan jumlah pengangguran di Indonesia meninggkat sebesar 10 ribu orang menjadi 7,04 juta orang per Agustus lalu. Sebelumya, jumlah pengangguran hanya 7,03 juta orang.
Melansir okezone.com Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri menganggap cara yang efektif untuk menekan angka tersebut yakni dengan berwirausaha. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya mendorong sektor ekonomi kreatif.
Salah satu penggerak sektor wirausaha ialah Arya Padmadikara. Mahasiswa Telkom university itu berwirausaha dengan mendirikan pabrik handuk yang telah berjalan selama satu setengah tahun. Ia mengatakan tidak mau bergantung terhadap orang tuanya. “Dosen saya mengatakan. Ketika kamu menjadi entrepreneur selama 10 tahun, maka 10 tahun ke depannya kita sudah santai menjalani hidup,” katanya.
Terbukti, usaha yang ia awali sejak masuk kuliah, sangat membantu biaya hidup Arya. Berkat usaha yang ia geluti, Arya dapat membiayai keluarga beserta adiknya yang masih kuliah. Selain itu, keterampilan manajerialnya pun terasah.
Setidaknya dalam seminggu 20.000 handuk dapat diproduksi dan menghasilkan omzet sekitar 30 juta rupiah. “Laba bersih yang saya peroleh 7 – 8 juta rupiah per minggu. Saya mempuyai 40 pekerja, bisa di katakan saya mengurangi tingkat penggangguran,” tuturnya.
[nk_awb awb_type=”image” awb_image=”15315″ awb_image_size=”full” awb_image_background_size=”cover” awb_image_background_position=”50% 50%” awb_parallax=”scroll” awb_parallax_speed=”0.5″ awb_parallax_mobile=”true” awb_mouse_parallax=”true” awb_mouse_parallax_size=”30″ awb_mouse_parallax_speed=”10000″]
“Laba bersih yang saya peroleh 7 – 8 juta rupiah per minggu. Saya mempuyai 40 pekerja, bisa di katakan saya mengurangi tingkat penggangguran,” tuturnya.
[/nk_awb]
Menurut Arya, dengan berwirausaha tidak membuat ia meninggalkan perkuliahan. Arya menegaskan tidak mengikuti kegiatan organisasi kampus, bukan karena dirinya tidak peduli. Baginya membantu masyarakat tidak harus mengikuti organisasi kampus tetapi dengan membuka lapangan pekerjaan pun sudah melakukan bakti sosial. “Apa yang saya lakukan itu tidaklah apatis.”
Lain halnya dengan kisah Arya, Nabilla Indira Pasha lebih memilih bekerja. Berawal dari ajakan kerabatnya untuk bergabung di sebuah perusahaan di Bandung. Ia pun memutuskan kuliah sembari bekerja. Setelah bekerja Nabilla lebih bertanggung jawab. “Uang jajan pun jadi sendiri. Untuk pembagian waktu kuliah tidak terganggu karena waktu bekerja hanya akhir pekan. Lumayan juga nambah-nambah CV.”
Usai cerita, Nabilla mengutarakan dirinya tidak mengikuti organisasi kampus seperti mahasiswa lainnya. Seusai kuliah ia harus memeriksa data di kantor. Tidak adanya waktu membuat ia tidak mengikuti organisasi di kampus.
Melalui surat elektronik, Ketua Hipmi Kota Bandung, Harris Sugiharto mengatakan berorganisasi tidak dapat di paksakan. Hal ini bergantung pada individu. “Memang secara umum orang yang senang berorganisasi akan lebih mudah menyesuaikan diri di kehidupannya. Tapi banyak juga yang terlalu berpolitik pada saat bekerja. Ya, sifat politik nya itu yang lebih dominan,” balas Harris. Tak melulu seperti itu, Layla Nur Syifa Romdoniah dapat bekerja sembari berorganisasi di kampus. Mahasiswi Prodi Teknik Industri 2015 ini bekerja sebagai marketing di sebuah perusahaan di Bandung dari semester tiga hingga sekarang. Ia juga aktif di Himpunan Mahasiswa Teknik Industri Unisba.
“Cara membagi waktunya sih ga susah, bekerja di bidang marketing tidak menyita waktu kuliah saya. Kegiatan organisasi juga sama tidak menyita waktu, misalnya ada rapat, kalo satu gak hadir bisa di wakilkan. Jadi gak berat banget.” Kepala Prodi Teknik Industri Unisba, Nugraha menanggapi terkait keapatisan mahasiswa terhadap organisasi. Ia mengatakan pengalaman organisasi sangat diperlukan. Tidak harus ada apatis di kalangan mahasiswa. “Organisasi membentuk karakter dan pribadi kita. Justru dengan organisasi akan memberikan keberhasilan yg akan datang di dunia kerja. Pun dengan ber-entrepreneur bisa melatih jiwa kemandirian, inisiatif yang lebih bagus, dan kreatif pula,” katanya pada Rabu (13/3/2018).