Sungguh ini adalah hari yang berbahagia, kenapa? Karena kamu baru saja menjalani 24 jam penuh makna. Kemarin, adalah peringatannya, nah sekarang aplikasinya. Tepatnya 87 tahun lebih sehari lalu, remaja seusia kita menginginkan negerinya untuk bersatu melawan kolonial. Ya, itu dulu, kamu bisa saja bilang, “ini bukan zamannya,” sama seperti kamu bilang “bela negara enggak mesti wajib militer”. Tapi bila ditanya balik, “Apa yang mesti kita lakukan?” Bingung enggak lu?
Hari ini, hari dimana berkelu kesah adalah hal yang wajar. Dimana time line media sosial lebih sering diisi elegi kehidupan pribadi, tanpa menyadari bahwa ada langit yang terbentang luas di luar sana. “Langit terbentang luas, mengapa tidak pikiranku, pikiran mu,” itu ucap Ucok. Sebuah cambukan dari sang musisi yang baiknya tidak berujung dengan sebuah tompol share, post, atau apalah itu namannya.
Sumpah pemuda, memang terdiri dari tiga butir pengharapan. Terus berkembang dari hari ke bulan ke tahun ke abad hingga disadur oleh sumpah mahasiswa. Kedua sumpah ini tetap berisikan butir senada, namun redaksional yang berbeda karena tekanan zaman. Lantas, adakah dari keduanya yang kita amini tak hanya di bibir?
…………………………………………………………………………………(silahkan isi sendiri via laman komen)
Ah, sial apa yang ada di otak kita? Pusingkah mengurusi setumpuk tugas? Layar yang dipenuhi pesan balasan? Sudahkah pening dengan tisu-tisu penuh lendir di pojokan kamar? Atau bahkan menangisi frame yang fotonya tak tega untuk di buang? Adakah kau melihat asap, air yang tak kunjung mengalir, tanah yang berguncang, api yang membabi buta? Adakah kau melihat sipeminta-minta lelah diekploitasi kemiskinannya? Adakah kau menitihkan air mata pada mereka yang lupa? Ku yakin ada. Karena negara ini punya sejuta masalah, pastinya kau telah memilih satu.
Indonesia bukan sebuah kosakata main-main bung. Dan tidak pula sebuah pengharapan kolot. Bila kau tak suka caranya, silahkan dirikan bangunan sendiri, dengan bersama-sama hancurkan benteng-benteng usam itu. Bukan kah cara khas pemuda? Sejumlah catatan sejarah selalu menyajikan tesis-antitesis-sintesis, dan memang begitulah skema pergerakan pemuda.
Ah tak perlu mencap aktor apatisme, bisa jadi kita salah satunya. Tak perlu juga teriaki “cie anaknya aktivis banget!” bisa jadi kau akan membunuh jiwanya. Lalu? Saling dukung saja lah kawan, tiada yang benar sepenuhnya bukan di dunia ini? Kau pun tahu betul kerelativitasan sebuah kata “benar”.
Selagi di jalan yang benar, toleransi merupakan kunci. Kunci dari setiap jurang pemisah. Selama kau telah memilih jalan masing-masing, patuhilah rambunya, tunaikanlah pengharapannya. Dan ingat Indonesia tidak pernah mengharapkan generasi yang rusak.
Selamat Hari Sumpah Pemuda! Walau Menporanya tak lagi muda! (Roby Iskandar/SM)