Potret lawas para mahasiswa yang sedang duduk dan berdiskusi di selasar tangga parkiran kampus utama Unisba Jl. Tamansari No.1, Kota Bandung (Arsip Dokumentasi).
Aturan Berbusana Islami di Unisba Memiliki Dua Sisi: Memperkuat Identitas Tapi Juga Mengubah Ruang Akademik Menjadi Ekslusif.
Suaramahasiswa.info, Unisba- Ana, bukan nama sebenarnya, bisa dibilang sudah sering menghadiri acara di kampus Universitas Islam Bandung (Unisba). Sebagai jurnalis perempuan, ia datang ke kampus di Jalan Tamansari itu untuk meliput maupun menghadiri undangan diskusi. Belakangan, ia kembali datang ke Unisba sebagai tamu undangan. Begitu melewati gerbang utama kampus, ia mendapat teguran dari seorang petugas keamanan kampus lantaran tidak mengenakan kerudung.
Insiden kecil ini sontak membuatnya terkejut. Selama beberapa kali kunjungan sebelumnya ke lingkungan kampus yang sama, ia tidak pernah mendapatkan informasi bahwa aturan berpakaian yang berlaku bagi sivitas akademika juga diterapkan kepada para tamu, khususnya harus berkerudung bagi tamu perempuan.
“Pengalaman yang cukup mengagetkan karena sebelumnya tidak pernah mengalami ini waktu ke Unisba untuk berbagai acara. Unisba banyak diskusi juga kan dulu, jadi sering datang juga. Pas kejadian itu aku tahu bahwa ada aturan tersebut,” ujar Ana, melalui sambungan telepon, pada Jumat, (9/5).
Ana berharap, seharusnya informasi terkait aturan-aturan dapat disampaikan sejak awal melalui undangan atau pemberitahuan resmi. Menurutnya, jika informasi diberikan lebih awal, tamu akan lebih siap menyesuaikan diri tanpa kebingungan.
“Jangan sampai hal-hal kayak gini malah memperumit beberapa hal, ya aktivitas-aktivitas publiklah kan mestinya dibuat inklusi aja siapa pun bisa datang, merasa nyaman dan aman,” katanya.
Rupanya Ana datang ke Unisba di saat universitas sudah menerapkan peraturan baru, waktu itu, Peraturan Rektor Nomor 252/F.04/Rek/VI/2022 tentang Penggunaan Busana Islami bagi Mahasiswa di Lingkungan Kampus. Aturan ini mengatur cara berbusana bagi sivitas akademika di lingkungan Unisba. Dalam praktiknya, para tamu pun terkena peraturan ini.
Selain tamu, mahasiswa nonmuslim Unisba juga turut terkena peraturan ini. Sebut saja Lana, bukan nama sebenarnya, yang karena peraturan ini ia pernah mendapat teguran dari dosen maupun kakak tingkat soal cara berpakaiannya. Meski begitu, Lana tidak mempermasalahkan peraturan berbusana. Ia menyadari bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi dari pilihannya yang menempuh pendidikan di universitas berlandaskan nilai-nilai Islam.
Selain soal berpakaian, Unisba juga menerapkan sistem pesantren bagi seluruh mahasiswa. Lana pun tidak keberatan jika harus menjalani kehidupan pesantren karena menurutnya kegiatan-kegiatan keislaman berdampak positif. Namun, ia mengaku merasa cukup berat ketika harus mengikuti mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) hingga lulus kuliah.
“Itu agak berat di aku, apalagi di semester 1,” katanya, pada Kamis, (24/4).
Masalah yang dihadapi Lana diperparah dengan persoalan teknis, misalnya akun sisfonya error sendiri. “Di e-kuliah aku 100 persen absen tapi di sisfo itu nggak. Ternyata pas kemarin IPK keluar, nilai PAI ini tuh agak jelek padahal aku ngerasa nilai ujian hariannya bagus,” ucapnya.

Inklusif dalam Arsip
Di masa lalu, sebelum munculnya aturan tertulis, Unisba dikenal sebagai kampus yang inklusif terutama dari segi kebebasan berekspresi berpakaian mahasiswanya. Penelusuran arsip tim Suara Mahasiswa menunjukkan banyak foto-foto lawas inklusivitas berpakaian tersebut. Banyak momen penting sejarah kampus dilakukan mahasiswa laki-laki dan perempuan, berkerudung ataupun tidak.
Ismail Wefa, alumni Unisba yang menempuh studi sekitar 13 tahun lalu, di masa kuliahnya memang tidak terdapat aturan tertulis mengenai berbusana Islam di lingkungan kampus. Wacana aturan ini sudah ada, tetapi lebih bersifat lisan atau imbauan yang dilakukan para dosen. Itu pun tergantung dosennya, ada yang bersifat tegas dan tidak.
“Ada yang saklek, kalau gak pake kerudung gak boleh masuk, gak boleh ikut kuliah. Ada juga yang himbauan aja, ‘pake kerudung ya’ tapi ketika dia gak pake kerudung, gak jadi masalah.” ujarnya Wefa, saat diwawancarai pada Senin, (28/4).
Dosen senior Unisba, Septiawan Santana Kurnia juga menuturkan suasana Unisba satu dasawarsa lalu berbeda dengan Unisba kini, terutama dalam hal berbusana. “Secara uniform kan semua pake jilbab. Dulu kan ada yang pake ada yang enggak,” kata dosen Ilmu Komunikasi tersebut, pada Selasa, (6/5).
Baik Ismail Wefa maupun Septiawan, sama-sama setuju dengan penerapan SK Rektor yang mengatur tata cara berpakaian mahasiswa. Wefa beralasan, dirinya memiliki adik dan anak perempuan sehingga merasa perlu untuk selalu menghimbau mereka menjaga diri, khususnya dalam hal berpakaian.
Septiawan berpendapat, Unisba mengalami banyak perubahan sejak diterapkan aturan berbusana muslim. Aturan tersebut mendorong penguatan serta pengentalan nilai-nilai Islam meskipun sebelum diterapkannya, nilai-nilai Islam tersebut sudah ada. Aturan berpakaian membuat suasana kampus semakin mencerminkan sikap santun melalui pantulan nilai-nilai keislaman.
Ia juga menyinggung terkait kebebasan berekspresi mahasiswa dalam berpakaian. Menurutnya, penampilan memang ekspresi setiap individu dan pesona bagi masing-masing mahasiswa. “Cara menilainya itu berlandaskan konteks di mana dia berada. Unisba, universitas Islam, ya jelas keislamannya harus ada, dong. Nah, dengan kata Islam-nya harus ada, maka kebebasan berekspresinya juga harus disesuaikan dengan yang di sana,” terangnya.
Pendapat alumnus dan dosen tersebut diamini Rizqa Annisaa, salah satu mahasiswa Unisba. Menurutnya, aturan soal pakaian wajar karena sudah sesuai dengan identitas kampus yang mengacu pada syariat Islam. Berdasarkan pandangannya, meskipun mahasiswa perempuan belum berhijab di luar, diharapkan mengenakan hijab selama berada di lingkungannya.
Selain itu, Rizqa menilai, pihak universitas telah berupaya memberikan dukungan, termasuk melalui lingkungan kampus yang kondusif. Namun, semua tergantung kesadaran mahasiswa serta pribadi dan prioritasnya.
Teguran terhadap mahasiswa yang berpakaian tidak sesuai aturan kampus dinilainya masih wajar sebagai bagian dari upaya penyadaran. Namun, ia berharap teguran disampaikan dengan cara yang baik dan tidak menghakimi.
Aturan dan Reaksi Mahasiswa
Penerapan aturan berpakaian di Unisba dimulai sejak berdirinya Peningkatan Ruhul Islam dan Pengelolaan Masjid Unisba (PRIPM) tahun 2021, yang kemudian menginisiasi lahirnya pedoman pedoman berpakaian Islami, sopan, dan rapi dengan payung hukum Surat Keputusan Rektor tahun 2022.
SK Rektor mengatur pakaian laki-laki yang memenuhi unsur sopan dan rapi, tidak memakai kaos oblong/t-shirt, tidak memakai celana ketat, tidak memakai celana sobek, tidak memakai celana pendek dan/atau tiga perempat, tidak boleh memakai aksesoris perempuan, seperti: kalung (kecuali kalung medis), gelang (kecuali gelang medis), anting, memakai sepatu dan tidak boleh memakai sandal, tidak bertato dan tidak bertindik, tidak mengecat rambut, dan menata rambut dengan rapi.
Untuk perempuan, harus menutup seluruh anggota badan kecuali muka dan telapak tangan, tidak ketat dan tidak transparan. Busana dapat berupa: atasan panjang setengah paha dengan tangan panjang sampai pergelangan tangan, bawahan berupa celana panjang atau rok tanpa belahan, rok terusan atau gamis yang tidak berlebihan, wajib menggunakan kerudung yang menutup dada, tidak memakai perhiasan berlebihan, tidak berhias memakai eye liner, blash on, bulu mata palsu secara berlebihan, dan memakai sepatu bukan selop atau sandal (media.unisba.ac.id, diakses pada Selasa, (10/6) https://media.unisba.ac.id/unisba-resmi-berlakukan-berbusana-islami-di-lingkungan-kampus/).
Di awal penerapannya, penerapan aturan memunculkan beragam respons dari kalangan mahasiswa, khususnya dari fakultas nondirasah. Mahasiswi dari Fakultas Hukum, Psikologi, MIPA, Teknik, Kedokteran, Ilmu Komunikasi, serta Ekonomi dan Bisnis tercatat kerap melanggar ketentuan berpakaian Islami. Bentuk pelanggaran meliputi penggunaan kerudung yang diikat ke leher, pakaian ketat atau berbahan tipis, riasan berlebihan, penggunaan perhiasan mencolok, serta tidak memakai kaos kaki panjang atau sepatu.
Penelitian yang dilakukan oleh Nenti Annisa Putri, Ayi Sobarna, dan Huriah Rachmah dari Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba, menunjukkan bahwa lemahnya kesadaran mahasiswa menjadi faktor utama. Meski sudah ada peraturan dan sosialisasi oleh Kabag PRIPM kepada tiap fakultas, sebagian mahasiswa tetap lebih memilih mengekspresikan diri melalui kebebasan berbusana. Hal ini terjadi karena salah satu kebebasan yang sering dinikmati mahasiswa di perguruan tinggi adalah kebebasan berpakaian.
“Mahasiswa tidak lagi mengikuti etika berpakaian yang ditetapkan kampus dan lebih mengikuti perkembangan zaman,” tulis Sa’diyah & Rosyid (2020), sebagaimana dikutip dalam jurnal tersebut.
Penelitian sebelumnya oleh Masrifah, dkk. (2019) juga menunjukkan hal serupa. Meski mahasiswi memahami adanya peraturan rektor tentang etika berbusana, kesadaran untuk mengimplementasikannya masih minim. Ini mencerminkan benturan antara regulasi kampus dan tren kebebasan ekspresi mahasiswa di era modern.
Dari pihak universitas, Kepala PRIPM Unisba Iwan Permana mengatakan, kebijakan mengenai tata cara berpakaian di Unisba bisa diikuti dengan penuh kesadaran oleh seluruh pihak yang terlibat. “Dengan demikian insyaallah kehidupan secara pribadi, bermasyarakat bahkan bernegara itu akan lebih terarah termasuk akan terhindar pada hal-hal yang tidak diinginkan, Mari kita sinergi bersama,” kata Iwan, kepada Suara Mahasiswa.
Sebelum menerapkan aturan, pihak kampus telah melakukan sosialisasi dan koordinasi bersama perangkat keamanan kampus yang terdiri dari para Komandan Batalyon (Danton) dan Komandan Regu (Danru) kampus. Satuan pengamanan internal ini didapuk sebagai penegak aturan di lapangan.
Wakil Rektor III Unisba Amrullah Hayatudin mengatakan, sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk menutup auratnya. Ia mengutip surat al-Ahzab ayat 59 yang artinya: “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan mereka tidak diganggu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Amrullah menuturkan, peraturan rektor ini merupakan salah satu bentuk dakwah. “Semua mahasiswa yang berada di lingkungan kampus mesti menutup aurat, dan bagi mahasiswi yang tidak berkerudung namun ada suatu keperluan penting yang mengharuskan masuk wilayah kampus, kita akan sediakan kerudung di pos keamanan agar yang bersangkutan tetap menutup aurat selama berada di wilayah kampus,” ujarnya, dalam keterangan resmi media.unisba.ac.id, diakses Selasa, (10/6) (https://media.unisba.ac.id/unisba-resmi-berlakukan-berbusana-islami-di-lingkungan-kampus/).
Kampus Inklusif atau Ekslusif?
Kampus bukan tempat membatasi ekspresi ataupun pikiran warganya. Sebaliknya, ia harus jadi ruang terbuka bagi semua, tempat setiap orang bebas menyampaikan pendapat, berekspresi, dan meyakini apa yang mereka anggap benar. Inilah yang ditekankan oleh Heri Pramono, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Menurutnya, pemikiran konservatif yang kolot tak bisa dijadikan
“Konservatif itu kan pemaknaan, bisa dibilang pikiran tua dan kolot. Akan tetapi kampus tidak boleh membatasi, dalam konteks kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat, kebebasan beragama, baik maupun secara berkeyakinan,” ujarnya pada Kamis, (24/4).
Bagi Heri, inklusivitas bukan hanya soal sikap, tetapi juga strategi menjaga marwah kampus. Kampus adalah bilik diskusi, ruang bagi semua pertanyaan, bahkan yang menyentuh hal-hal paling mendasar seperti ketuhanan. Inklusif berarti memberi tempat bagi suara-suara yang tak selalu sejalan dengan arus utama, dan itu justru memperkaya dinamika berpikir di dalamnya.
Ia menegaskan, kampus dibentuk dari berbagai narasi dan hasil pemikiran. Karena itu, penting bagi setiap orang di dalamnya untuk memahami bahwa pertukaran pikiran adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan akademik. “Orang-orangnya perlu juga paham atas setidaknya bagaimana kita bisa saling bertukar pikiran, karena ya kampus itu adalah ranahnya,” katanya.
Pernyataan Heri diamini oleh Ana, yang sempat kaget dengan aturan berpakaian di Unisba. Menurutnya, kegiatan kampus yang bersifat publik—seperti forum diskusi dan dialog antarwarga kampus—harus selalu diselenggarakan secara inklusif. Baginya, ini penting untuk menjaga agar ruang intelektual tetap terbuka bagi siapa saja. Tidak boleh ada batas-batas eksklusif untuk kegiatan yang sifatnya publik. Inklusif berarti memberi ruang bagi keragaman—dalam pendapat, keyakinan, bahkan cara berpakaian—tanpa paksaan.
Pro dan kontra aturan berpakaian sebenarnya bukan hal baru di Indonesia khususnya di ranah pendidikan. Isu ini pernah dikaji Zulfadli, mahasiswa program doktor bidang Pengkajian Islam, konsentrasi Agama dan Politik di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melalui tesis berjudul “Gerakan Konservatisme Islam Lokal di Sumatera Barat Pasca Orde Baru” (2023).
Zulfadli mengkaji bagaimana konservatisme Islam yang berkembang di Sumatera Barat pasca-Orde Baru bukan hanya tampak dalam bentuk politik dan sosial keagamaan, tetapi juga sangat kentara dalam ekspresi berpakaian. Zulfadli menjelaskan, konservatisme agama di wilayah ini tidak hanya menyasar pada sistem nilai dan kebijakan, tetapi juga menjangkau tubuh dan penampilan warga, terutama perempuan. Pakaian menjadi medium artikulasi kekuasaan moral berbasis agama.
Fenomena ini terlihat dalam kebijakan daerah yang melahirkan sejumlah peraturan daerah (Perda) syariah yang mengatur tata cara berpakaian di institusi pendidikan dan ruang-ruang pemerintahan. Aturan tersebut, misalnya, mewajibkan pemakaian jilbab bagi perempuan muslim, dan dalam praktiknya, kadang menimbulkan tekanan sosial bagi mereka yang tidak mengenakan atribut keislaman sesuai tafsir dominan. Perda semacam ini didasarkan pada falsafah lokal Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) yang dipakai sebagai legitimasi religio-kultural konservatif dalam ruang publik.
Zulfadli mencatat bahwa pemaknaan pakaian dalam konservatisme Islam lokal tidak sekadar soal kesalehan pribadi, tetapi terkait langsung dengan moralitas komunitas dan identitas Islam. Pemakaian busana muslimah menjadi simbol ketaatan, sekaligus bagian dari agenda islamisasi kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, kekuasaan simbolik ini mengandung potensi eksklusi terhadap kelompok yang berbeda pandangan atau keyakinan. Contoh yang disorot dalam tesisnya adalah kasus siswi non-muslim di SMK Negeri 2 Padang yang mengalami tekanan untuk mengenakan jilbab, menunjukkan bahwa kebijakan konservatif bisa menyentuh wilayah hak individu dan kebebasan beragama.
Namun, konservatisme ini tidak tanpa resistensi. Zulfadli mengidentifikasi munculnya kontra-narasi dari kelompok feminis Islam yang mengkritik narasi dominan soal pakaian. Bagi mereka, pemaksaan berpakaian dalam satu model tunggal berbasis tafsir konservatif adalah bentuk kontrol atas tubuh perempuan. Kontranarasi ini menegaskan pentingnya otonomi tubuh, pilihan sadar, dan kebebasan perempuan untuk menentukan sendiri bentuk keberagamaan mereka—termasuk dalam memutuskan berjilbab atau tidak.
Melalui pendekatan ini, Zulfadli menunjukkan bahwa pakaian tidak netral—ia menjadi ajang kontestasi ideologi. Di satu sisi, pakaian dijadikan simbol kekuatan konservatif untuk meneguhkan identitas keagamaan. Di sisi lain, tubuh perempuan menjadi medan tawar antara tafsir keagamaan, kebijakan negara, dan hak asasi individu. Konservatisme berpakaian di Sumatera Barat, menurut tesis ini, mencerminkan relasi kompleks antara agama, politik, budaya lokal, dan wacana gender.
Narasi Zulfadli membongkar bagaimana konservatisme Islam lokal tidak hanya memengaruhi apa yang dipikirkan dan diimani masyarakat, tetapi juga bagaimana mereka berpakaian, dipandang, dan diatur. Dalam konteks ini, berpakaian menjadi tindakan politis yang mengandung muatan ideologis, baik sebagai ekspresi dominasi maupun perlawanan.
*Liputan dan Tulisan In-depth ini dibuat sebagai kolaborasi Pers Suara Mahasiswa dengan BandungBergerak serta International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam program Pelatihan dan Penerapan Jurnalisme Inklusif Bagi Pers Mahasiswa.
Reporter: Muhammad Chaidar Syaddad/SM
Penulis: Alfira Putri Marcheliana Idris/SM
Editor: Iman Herdiana/BandungBergerak
