Poster Film Istirahatlah Kata-Kata. Sumber: NET
Ekspetasi tinggi akan film istirahalah kata-kata menghempas ketika lima menit awal. Pribadi seperti Thukul menjadi legendaris sebagai penyair, aktif berpolitik dan melawan ketidakadilan tidak terasa begitu berapi-api dalam isi ceritanya.
Film ini bercerita seorang penyair yang lahir di Solo tahun 1966, melarikan diri dari Ibu kota hingga berdiam di Pontianak, karena menjadi buronan dari pemerintahan Orde Baru. Pengalamannya beberapa bulan di tempat yang jauh dari keluarga dan tanah asalnya digambarkan membosankan. Di dalam film digambarkan, kemarahan karena diasingkan bercampur dengan kesedihannya harus terpisah dengan orang-orang yang ia sayangi.
Gunawan Maryanto menerjemahkan Wiji sebagai sosok yang terbentur dilema di dalam dirinya. Sang sutradara Yosep Anggi juga memilih untuk tidak mengglorifikasi Wiji Thukul dan tidak berusaha mengubahnya menjadi sebuah wajah baru bagi kaus pemberontak ‘hipster’. Menggunakan pendekatan simbolik, Yosep berhasil membawa penonton seakan-akan memahami sepotong kehidupan Wiji pada saat itu, yang berontak dan bisa menangis.
Film yang berdurasi 1 jam 45 menit ini, memakan waktu hingga tiga tahun untuk memproduksi filmnya. Kesusahan mencari literatur yang dilakukan Wiji di Pontianak diakui sutradara. Seperti dikutip di kumparan.com, Yosep mengembangkan naskahnya melalui puisi-puisi yang di buat Wiji selama di Pontianak karena banyak yang tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama di perasingan.
Penyair pemberontak rezim Soeharto ini memang hidup dalam kata-katanya. Pemahaman tentang Thukul mungkin belum cukup hanya menonton ‘Istirahatlah Kata-Kata’. Sedikitnya informasi di awal maupun di akhir film membuat penonton harus menggali lebih dalam siapa Wiji Thukul.
Kolot memang membicarakan soal perlawanan di jalan, tetapi Kehidupan Wiji adalah metafora paling pas untuk menggambarkan bagaimana perlawanan di mulai dari kata-kata yang berayun menjadi puisi, dianggap ancaman serius oleh rezim Soeharto. (Wildan/SM)