Adegan film Kucumbu Tubuh Indahku. (Foto/Istimewa)
Suaramahasiswa.info – Siapa yang selalu dibuat kagum terhadap karya dari sineas kondang Garin Nugroho? Yap, kali ini ia mengeluarkan film Kucumbu Tubuh Indahku yang terinspirasi dari kisah hidup Rianto, seorang koreografer Tari Lengger Lanang. Keras nya melawan kehidupan bagi seorang lengger, terkemas apik didalam film ini. Garin Nugroho sebagai dalang dibalik kesuksesan film tersebut, tak pernah gagal dalam pembuatan setiap karya nya. Terbukti ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ memenangkan penghargaan pada perhelatan Asia Pasific Screen Awards ke-12.
Namun dibalik prestasi yang didapat, Garin sempat mendapatkan penolakan dari masyarakat Indonesia. Melalui petisi tuntutan yang tersebar di media sosial, untuk memboikot dan meminta film itu diturunkan. Melihat aksi tersebut Garin merasa mendapatkan penghakiman massal tanpa proses dialog dan penegakan hukum berkeadilan. Sampai akhirnya penayangan film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ dibatasi tayang di Indonesia.
Kembali pada cerita, lika-liku kehidupan yang dialami Juno (Muhammad Khan) memang pahit adanya. Terlihat pada masa kecil yang ditinggal ayah nya tanpa kabar, mengharuskan ia untuk mengerjakan semuanya seorang diri. Pengalaman sadis yang terekam anak seusia nya, saat menyaksikan pembantaian oleh seorang Guru Lengger (Sujiwo Tejo) terhadap perselingkuhan istri nya.
Memasuki usia remaja dengan pribadi Juno yang kurang kasih sayang, membuat ia membebaskan siapapun yang ingin mengisi hati nya, termasuk dari sesama laki-laki. Pertemuan Juno dengan Sang Petinju (Randy Pangalila) berhasil terajut dengan penuh perasaan. Tatapan, bahasa tubuh, dan detak jantung menciptakan rasa yang spesial. Namun jalinan persahabatan yang berakhir dengan ditinggalkan nya Juno karena sebuah tragedi.
Semakin tumbuh dewasa Juno tertarik untuk bergabung dalam sebuah sanggar. Mengingat petuah Guru Lengger bahwa tubuh Juno yang bagus dan lentur cocok sebagai penari Lengger. Budaya tari yang diperkenalkan adalah tari Lengger Lanang, dimana penari merupakan laki-laki yang berhias menyerupai perempuan.
Rentetan peristiwa, pengalaman, dan konflik yang dialami Juno membuat perspektif baru tentang kehidupan. Bahwa trauma-trauma yang dibentuk merupakan representasi sosial dan politik bagi seseorang. Tiap-tiap adegan kisah penari lengger yang sejatinya muram, namun dibagian akhir tampak lebih berwarna. Walaupun isu yang diangkat berat, Garin berhasil memvisualisasikan seorang penari lengger yang begitu maskulin dan feminin pada suatu tubuh.
Begitu pun unsur budaya tradisional di film “Kucumbu Tubuh Indahku” sangat teracik kental. Liuk tubuh para penari mendefinisikan kelembutan dan keanggunan yang dipadukan tembang khas Jawa, yang bisa mendamaikan suara hati mu saat menonton nya. Porsi bahasa Jawa yang digunakan dengan disuguhi terjemahan, semakin mantap sesuai latar tempat nya. Berbicara Jawa, film “Kucumbu Tubuh Indahku” tak lupa menyisipkan bumbu kepercayaan lokal, dimana kamu dapat menyaksikan ritual yang terbilang aneh dengan disandingkan unsur politik.
Persembahan iringan musik dari Mondo Gascaro berjudul ‘Apatis’ menjadi helaan nafas para penonton, bahwa kepedihan hidup Juno berakhir. Kehidupan dewasa yang mampu memberikan pelajaran terlukis dari raut senyuman Juno diakhir film.
Agar dapat menikmati film secara utuh, perlu pemahaman lebih terkait pesan-pesan yang terkandung didalam nya. Karena film ini mengingatkan kita terhadap keanekaragaman budaya, dengan berbagai perspektif, dalam memandang kehidupan demi sebuah pendewasaan diri. Kucumbu Tubuh Indahku mengajarkan kita bahwa trauma merupakan bagian dari hidup, apapun rintangan nya kamu hanya perlu sedikit bertahan dan terus melanjutkan hidup.
Penulis: Eriza Reziana
Editor: Puteri Redha Patria