Suaramahasiswa, Unisba–Terhitung empat belas hari setelah dilantiknya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Masyarakat pun memenuhi bahu jalan depan Gedung Sate untuk mengungkapkan kekecewaannya terhadap pimpinan baru tersebut.
Dihiasi pakaian dan payung serba hitam, Aksi Kamisan Bandung yang secara konsisten telah menyuarakan pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), kali ini Kamis (31/10) mereka datang dengan tema “Dimulainya Masa Kegelapan”. Berangkat dari keresahannya terhadap latar belakang pimpinan negeri terpilih yang membuat khawatir akan masa depan negara.
“Tema yang kami angkat hari ini sudah jelas ya bagaimana dilantiknya presiden dan wakil presiden saat ini, yang mana hal itu menjadi suatu kemunduran untuk demokrasi,” ungkap Rohim selaku Koordinator Lapangan (Korlap).
Dengan nada skeptis, ia mengungkap beberapa poin penting yang menjadi kekhawatiran saat ini. Dimulai dari Presiden yang menjadi terduga pelanggaran HAM di masa lalu hingga wakilnya yang lolos pencalonan dengan langkah-langkah kotor yaitu mengangkangi konstitusi.
Saat itu jalanan tidak terlalu ramai namun tidak menyurutkan semangat massa aksi yang ada. Mereka tetap membentuk lingkaran sembari menyampaikan keluh kesahnya dengan lantang. Topik yang dibawakan pun beragam, didominasi topik sosial yang sedang terjadi hingga ditutup dengan isu-isu ringan lainnya.
Salah satu peserta aksi menyampaikan orasinya dengan keras dan tegas mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset yang tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tentu hal ini memicu perdebatan mengapa RUU tersebut sampai tidak bisa lolos.
Padahal RUU Perampasan Aset merupakan salah satu harapan rakyat untuk memiskinkan koruptor terutama dari pemulihan aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi. Di sisi lain, DPR periode lalu sempat berdalih bahwa RUU ini tak dapat dikerjakan karena waktu yang mepet namun lagi-lagi tak jelas nasibnya.
Selain itu, kasus Prabowo yang menjadi terduga atas penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi pun kembali dibahas pada salah satu orasi. Ironisnya pemerintah diam seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Menurut Rohim, aksi kali ini pun cukup berbeda dengan kehadiran para buzzer pada postingan seruan aksi di akun media sosial mereka. “Hari ini media sosial kami dihiasi oleh komentar negatif para buzzer, prediksinya sih itu memang dilakukan secara sistematis ya karena nada dan kata yang dipakai juga serupa,” kata Rohim.
Meski begitu, dengan yakin Rohim mengatakan jika Aksi Kamisan ini akan terus berjalan terlepas dari kondisi apapun. “Kami tidak peduli mau dibungkam bagaimanapun, kalau kedepannya akan ada tentara atau polisi yang menjaga kami akan tetap ada disini,” tutur Rohim dengan nada semangat.
Aksi ini diikuti juga oleh Putra seorang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), ia merasa aksi ini menjadi langkah awal untuk mencegah terulangnya peristiwa yang pernah terjadi. Ia juga yakin bahwa pelanggaran HAM akan terus terjadi tanpa suara dari masyarakat sipil.
Putra mengungkap juga bahwa di sekolahnya, penjelasan tentang pelanggaran HAM tidak cukup mendalam hanya dibahas secara umum. Menurut Putra pun banyak siswa yang tidak peduli dengan isu pelanggaran HAM karena terlalu sibuk dengan tugas-tugas sekolah.
Serupa dengan Putra, Sondang, peserta aksi lainnya menilai bahwa rakyat memang perlu menciptakan lebih banyak ruang untuk bersuara. “Ruang seperti ini memang sangat diperlukan untuk membangun solidaritas dan silaturahmi antar pihak yang memiliki keresahan sama akan ketertindasan,” kata Sondang.
Reporter: Sopia Nopita/SM
Penulis: Linda Puji Yanti/SM
Editor: Melani Sri Intan/SM