
Sederet poster dalam acara diskusi publik "Membongkar Praktik Mafia Tanah Dago Elos" pada Rabu, (9/10). (Foto: Sausan Mumtaz Sabila/SM).
Suaramahasiswa.info, Unisba–Demi mengawal putusan pengadilan di Senin (14/10) nanti, masyarakat Dago Elos mengadakan diskusi membedah fakta-fakta penipuan Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustendi Muller (Duo Muller). Acara ini bertajuk Membongkar Praktik Mafia Tanah Dago Elos serta dilaksanakan di Balai Rukun Warga 02 Dago Elos Bandung.
Lebih lanjutnya acara ini mengungkap fakta-fakta persidangan Muller bahwa eigendom verponding muller palsu, akta kelahiran Muller palsu, dan Jo Budi Hartanto terlibat dalam pusaran mafia tanah elos. Mulai dari Dea (salah satu warga Dago Elos), Heri Pramono (Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung), Fatia Maulidiyanti, hingga Morgue Vanguard atau yang biasa dipanggil Ucok hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut.
Fakta-fakta Persidangan
Dea menjelaskan bahwa fakta-fakta yang diungkapkan merupakan hasil analisis warga saat mendapat kejanggalan atas pengakuan muller. Namun saat itu warga belum bisa membuktikan maka mereka pun mengadakan kelompok belajar untuk bisa mendapatkan bukti yang kuat di pengadilan.
Pertama, Duo Muller yang mencoba meyakinkan pengadilan dengan mengaku anak dari Edi Edward Muller keturunan Jors Hendrik Muller ternyata hanya omong kosong saja. Kedua, anak pertama dari Jors Hendrik Muller yaitu Hari Muller yang namanya diubah menjadi Renih ketika dibawa ke pengadilan, selain itu Renih yang sudah meninggal, dengan berjenis kelamin laki-laki, padahal data yang ditemukan ia adalah perempuan.
Tidak cukup dengan itu, Duo Muller pun melanjutkan aksi busuknya dengan mengaku warisan kakeknya dialihkan ke Perseroan Terbatas (PT) Simohan dengan dokumen yang sudah ditandatangani, padahal faktanya PT. Simohan itu belum terbentuk. Dengan bantuan pemilik PT. Dago Inti Graha JO Budi Hartanto memberikan kesaksian bahwa dengan dimenangkannya tanah Dago Elos tersebut akan dialihkan oleh Muller ke PT. Dago Inti Graha dan sudah dibayar sebesar 300 juta rupiah.
Selain itu, Heri Pramono menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berisi Eigendom verponding jika sudah habis masanya maka kepemilikan lahan akan diambil alih oleh negara bukan lagi milik perseorangan ataupun keluarga. Maka dari itu, peralihan lahan oleh Duo Muller kepada PT Dago Inti Graha cacat hukum dibuktikan dengan didatangkannya ahli ke pengadilan.
Keyakinan atas Tanah Dago Elos
Melihat bukti-bukti yang kuat membuat Heri percaya tanah Dago Elos akan kembali menjadi milik warga sepenuhnya. Ditambah, warga yang semangat mengawal pengadilan serta bekerjasama merebut haknya. Ia mengatakan bahwa diskusi yang diadakan hanya mengambil sedikitnya persen keberhasilan namun yang utama adalah keberanian warga Dago Elos.
“Warga sendiri yang itu yang semangat warga hingga saat sekarang itu menjadi modalitas kedepan hari ini dan kedepannya mengawal putusan atau bahkan upaya-upaya hukum kedepannya,” ungkapnya.
Melihat fenomena Dago Elos ini, Fatia merasa perebutan lahan oleh mafia tanah semakin sering terjadi di Indonesia. Komplotannya pun menurut Fatia harus ikut serta bertanggung jawab karena terlibat dalam aksi Duo Muller untuk menggapai impiannya menguasai lahan Dago Elos.
“Meskipun dia misalkan bukan bagian dari pemerintahan atau dia bukan bagian dari orang yang masuk ke pejabat hukum tapi justru kita juga harus melihat bagaimana pertanggungjawaban negara terhadap mafia-mafia tanah karena oligarki-oligarki kecil ini justru yang dipakai oleh negara hari ini untuk bisa merampas lahan kita,” kata Fatia.
Di sisi lain, Ucok mengungkap bahwa Dago Elos dapat belajar dari kekalahan penggusuran lahan sebelumnya. Didukung oleh era kapitalisme, saat penumpukkan uang atau kekayaan harus diinvestasikan untuk pembangunan. Tetapi, pembangunan tersebut membutuhkan ruang-ruang hidup yang pada akhirnya menggusur rumah warga.
“Kita tidak boleh sendirian artinya Dago Elos enggak boleh kalah karena Dago Elos menjadi semacam mimpin dalam hal perebutan ruang hidup dan kita bersyukur kita belajar dari era kalah banyak kawan yang di jejaring solidaritas itu,” ujar Ucok.
Heri mengungkap juga, dalam membantu warga Dago Elos ia pernah empat kali ditolak pengadilan, Tetapi, ketika warga marah barulah langkah hukumnya diterima. Ia berpendapat hukum sudah tidak memihak pada masyarakat, sehingga kekuatan warga adalah harapan terakhirnya.
Fatia setuju dengan itu, kini demokrasi mulai mati secara perlahan. Negara membuat kebijakan seolah-olah demi rakyat, padahal nyatanya rakyat tidak membutuhkan hal tersebut.
“Demokrasi itu tidak mati, dia mati pelan-pelan, prosesnya panjang karena yang di atas ini mereka berkonsolidasi setiap hari dan mereka juga mengevaluasi diri, temen-temen, gimana caranya kita ubah lagi metodenya, kita ubah lagi caranya kita bagaimana cara mengelabui, pakai metode apalagi,” Ucap Fatia.
Setelah sesi diskusi terkait fakta-fakta kebohongan Muller selesai masyarakat yang hadir semakin banyak mengerumuni Balai Dago Elos. Mereka bersiap-siap untuk menikmati penampilan dari grup musik Dongker. Lalu pada akhir acara diadakan konsolidasi warga guna antisipasi aksi yang akan datang.
Reporter: Sopia Nopita/SM
Penulis: Sopia Nopita/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM