Ilustrasi mahasiswa tingkat akhir yang sedang memikirkan skripsi. Skripsi identik dengan penggunaan kertas yang banyak. (Ilustrasi: Farhan Anfasa Hidayat/SM)
Oleh Aksal Alfarizi
Dalam pernyataannya saat rapat kerja bersama Komisi X DPR RI di gedung DPR, Jakarta pada Rabu (30/08/2023), Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyampaikan bahwa skripsi itu tidaklah menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh mahasiswa program sarjana (S1). “Kalau perguruan tinggi itu merasa memang masih perlu skripsi atau yang lain. Itu adalah haknya mereka” ungkap Nadiem.
Sontak saja kabar ini pun menjadi perbincangan hangat, terlebih di media sosial. Sebut saja akun twitter @jujukyng yang mengatakan “semoga cepet disetujui, lebih cepat lebih baik” katanya. Ada pula yang mengatakan bahwa skripsi sebenarnya tidak menjadi masalah tetapi dosen pembimbingnya lah yang mereka keluhkan.
“menurut aku mah skripsinya gpp, bagus malah, yang apa-apa itu cara Dosbim (Dosen Pembimbing, Red) treat mahasiswa susah ditemui lah segala dipersulit gak mengayomi gak membimbing belum kalau galak kiler omongannya pedes, itu yang biki stress sihh” ucap akun twitter @Joyfully.
Adalah hal yang sangat lumrah ketika suatu kebijakan itu memunculkan sikap pro dan kontra. Oleh karenanya, izinkan saya di sini untuk mengutarakan pandangan terkait skripsi. Saya hanya akan menjelaskan sependek pengetahuan dan berdasarkan pengalaman selama mengerjakan skripsi.
Skripsi Itu Buang-Buang Kertas
Sebelumnya “penafikan” terlebih dulu, bahwa saya bukanlah insan pecinta alam yang dengan detail mencintai, merawat, dan memperjuangkan alam. Saya hanya sedikit heran tentang penggunaan kertas, terutamanya saat proses bimbingan skripsi. Meskipun kini sudah memasuki era di mana semuanya serba digital, nyatanya hal itu tidak tercermin dalam proses bimbingan skripsi yang masih menggunakan kertas. Skripsi itu hanya kedok untuk buang-buang kertas sekaligus uang.
Memang tidak bisa dipungkiri jika ada beberapa dosen yang tidak masalah melakukan proses bimbingan skripsi melalui pesan WA (Aplikasi Whatsapp, Red) atau Email (Surel, Red) untuk selanjutnya dapat didiskusikan bersama saat mereka bertemu. Hanya saja saya kira tidak banyak dosen yang seperti itu. LANGKA.
Skripsi Itu Mudah, Dosennya yang Sulit
Pada beberapa kasus, saya seringkali mendengar mahasiswa yang mengeluhkan tentang dosen pembimbing. Persoalan dosen pembimbing ini memang menjadi persoalan yang kuno, selalu ada.
Contohnya saja, ada mahasiswa yang merasa bahwa dosen pembimbingnya itu tidak membimbing dirinya. Dosen pembimbing itu sulit ditemui oleh mahasiswa bimbingannya, kalaupun bertemu hanya sebentar dan tidak sesuai dengan harapan mahasiswa untuk mendapat bimbingan yang benar.
Sebenarnya persoalan dosen pembimbing ini tidak bisa hanya dengan menyalahkan dosen seorang. Saya rasa masalah ini merupakan masalah yang sistemik. Misalnya, dosen yang disibukkan dengan beban-beban administrasi di kampus sehingga abai terhadap tugas yang seharusnya mereka jalankan .
Selain itu, birokratisasi kampus yang bergerak dalam logika pasar membuat dosen harus melakukan riset. Adapun kebanyakan mutu dari riset tersebut diukur keberhasilannya lewat komersialisasi dan publikasi berbasis angka. Singkatnya dosen adalah buruh.
Menengok Negara Tetangga
Di negara tetangga kita yang beda secara rumpun. Negara yang jauh di selatan sana. Di tempat ditemukannya black swan atau angsa hitam, Australia, mereka tidak mengenal istilah skripsi. Mahasiswa di Australia bisa lulus dengan menjalani kuliah dan menyelesaikan semua mata kuliah berdasarkan jumlah SKS tertentu yang sudah ditentukan. Di Australia mahasiswa bisa lulus selama tiga atau empat tahun tergantung dari jurusan apa yang mereka pilih. Jiga nu enaknya.
kita bayangkan jika apa yang terjadi di Australia terjadi pula di Indonesia, mungkin akan banyak mahasiswa yang lulus dengan tepat waktu. Hal itu juga tidak akan memberatkan mahasiswa pun dosen dalam relasinya dengan kampus.
Mahasiswa menjadi cepat lulus dan siap menjadi “Pekerja Sukses” untuk dieksploitasi. Dosen pun dapat fokus menjalani harinya sebagai seorang intelektual yang mengabdi kepada ilmu pengetahuan.
Itulah beberapa hal yang dapat saya sampaikan terkait kebijakan tidak diwajibkannya skripsi sebagai syarat mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana. Sebab “Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam, bisa berbentuk prototipe, proyek, bisa berbentuk lainnya, bukan hanya skripsi tesis dan disertasi. Keputusan ini ada di perguruan tinggi “ ucap Nadiem Makarim.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH TELAH MEMBACA
Penulis Merupakan Alumni Fakultas Ilmu Komunikasi