
Seseorang tengah melakukan trik menggunakan skateboard-nya dalam acara perayaan Go Skateboarding Day 2023 di Taman Pramuka, Kota Bandung. (Foto: Fikri Fadilah/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba– Skateboard (Baca: Skaytbawd), sebuah olahraga ekstrem yang banyak diminati semua kalangan, khususnya anak muda. Bahkan, pada 21 Juni setiap tahunnya para pemain skateboard sedunia merayakan Hari Go Skateboarding Day untuk mempromosikan olahraga papan luncur ini kepada khalayak umum. Meskipun eksistensinya sudah lumayan masif, ada stigma negatif yang sering membayangi setiap insan pengayuh papan beroda ini, mulai dari dicap nakal sampai dianggap tak kenal aturan.
Ditemui oleh Suara Mahasiswa di perayaan Go Skateboarding Day 2023 di Taman Pramuka, Bandung, seorang skaterboarder termasyhur Kota Kembang, Wismu Bono. Menurutnya, konon pemain skateboard dipandang sering merusak fasilitas umum yang disediakan pemerintah akibat permainannya. Kemudian ia meluruskan bahwa tidak semua pemain skateboard itu nakal. Kalaupun memang ada, di balik kenakalannya pasti memiliki jiwa yang baik juga.
Wismu menjelaskan pula bahwa skateboard itu terbagi menjadi dua habitat, yaitu skateboard street dan skateboard park. Jenis yang pertama biasanya bermain di jalan dan menggunakan trotoar sebagai arenanya. Sedangkan skateboard park itu bermain di taman yang sudah difasilitasi area untuk bermain skateboard tersebut.
Permainan skateboard yang memadukan antara keterampilan gerak dan keseimbangan tubuh ini sendiri ditemukan pada tahun 1950-an di California oleh Bill Richard ketika ia memasangkan roda ke papan kayu. Johan Tambun seorang skaterboarder Jakarta dalam wawancaranya di Humanonwheels.id menjelaskan bahwa skateboard di Indonesia dipelopori oleh sekelompok anak muda Menteng, Jakarta Pusat pada tahun 1980-an.
Adapun, masuknya budaya skateboard ke Indonesia ini tidak semulus porselen. Seperti yang dikatakan oleh Firman Boesly, seorang skateboarder kawakan asal Bandung bahwa pada era 90-an masyarakat umum banyak yang memandang negatif budaya skateboard. Hal ini disebabkan karena mereka sering bermain di jalan seraya melakukan perusakan properti umum yang dibuat oleh pemerintah. Meskipun begitu, kini menurutnya papan beroda ini sudah mulai diterima di masyarakat dengan masuknya skateboard ke salah satu cabang Olimpiade.
“Kalau dulu stigmanya memang negatif karena memang situasi dan kondisi pada zaman itu anak skate kebanyakan mungkin stigmanya adalah anak nakal, tapi itu berubah di era tahun 2005 keatas sampai sekarang skateboard ini sudah diterima masyarakat bahkan sudah banyak yang berprestasi di kejuaraan,” ungkap Firman saat ditanyai di perayaan Go Skateboarding Day Bandung pada Rabu (21/6).
Dengan adanya stigma negatif tentang skateboard, Hani Royani salah satu orang tua anak menggemari skateboard pun mengatakan jika banyak dampak positif bagi anak saat bermain skateboard. Salah satunya adalah anak tidak terlalu berlebihan saat menggunakan gawai dan bisa bersosialisai dengan teman-temannya saat bermain skateboard.
Hani pun mengharapkan pemerintah bisa memberikan fasilitas yang baik dan tidak memandang sebelah mata pada olahraga skateboard. Sama hal nya dengan harapan tersebut, Wismu juga mengharapkan agar pemerintah lebih mengapresiasi dan memfasilitasi dengan membangun arena-arena khusus skateboard.
Dengan begitu, stigma yang membayangi skateboard tidak bisa dipukul ke semua pelaku yang menggemari papan beroda ini. Adapun kebiasan merusak fasilitas umum bisa terjadi karena kurangnya arena khusus untuk bermain skateboard. Kegemaran mereka untuk mengayuh papan ini bisa diarahkan menjadi sebuah hal yang bermanfaat dan membawa prestasi.
Penulis: Fikri Fadilah/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM