Vici Muhammad Fauzi*
sejatinya, kami menolak hitam-putih karena:
Mempertanyakan, alasan apa yang membuat fakultas “keukeuh” dengan peraturan hitam-putih?
Jika alasannya untuk penyeragaman dengan fakultas lain, kenapa biaya kuliah kita tidak diseragamkan? Berarti peraturan otonomi daerah atau perarutan/kebijakan “dikembalikan ke fakultas masing-masing” tidak berlaku untuk seragam UTS?
Pada dasarnya, peraturan adalah untuk:
1.Mendidik
2.Doktrin
3.Koreksi
Jika “hitam-putih” itu untuk mendidik, landasannya apa? Kita kan Universitas Islam Bandung, kenapa tidak “keukeuh” menerapkan peraturan apa yang telah dianjurkan Islam dalam berpakaian? Esensi berpakaian Islam sejatinya agar terlihat indah, nyaman, dan longgar dalam artian tidak mengumbar aurat. Tapi balik lagi, untuk ranah aurat, ketika pun kita dihadapkan dengan wanita tak berkerudung, dan tak boleh “judging“, karena mereka butuh proses untuk mengenal Tuhannya. Kalau para wanita dipaksa berkerudung, lambat laun, wanita tersembut malah membenci peraturan tersebut. (akan lebih indah berkerudung karena kesadaran sendiri)
Jika alasannya doktrin, siapa dan hal apa yang membuat “hitam-putih” ini keukeuh menjadi sebuah peraturan yang mapan? Jika alasannya kita “mahasiswa” juga sebagai anak pula harus mengikuti apa kata “orang tua” kita di kampus, maka hal-hal lain seperti sistem pengajaran pun harus ayah/ibu ke anak bukan dosen mahasiswa dengan sistem tabligh akbar/komunikasi satu arah. Kita mahasiswa komunikasi, telah belajar juga komunikasi dua arah itu bagaimana, lantas sistem komunikasi dua arah hanya menjadi wacana mata perkuliahan saja dong? Untuk menekankan citra bahwa dosen A sebagai dosen yang fleksible karena telah menerangkan komunikasi dua arah dengan sistem pengarajaran satu arah.
Lantas, untuk apa dosen mengajarkan media literasi, kalau peraturan saja tidak bisa diliterasi? Kembali lagi, untuk apa dan tujuan genting apa yang membuat fakultas keukeuh dengan peraturan hitam-putih? Saya tanya kembali kepada dosen, apakah Anda sebagai dosen siap tidak menerima kenyataan bahwa 2+2=5?
Peraturan dalam konteks koreksi, bahwa sebuah peraturan menjadi sebuah kebutuhan dalam mengatur perilaku masyarakat, menjadi kewajiban pemegang peratutan juga mencontohkan, dengan cara semua dosen memakai hitam putih saat ujian. Bukankah seperti itu pemegang peraturan pada idealnya?
Dan, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa jika dosen memerlukan bantuan mahasiswa dalam hal penelitian, acara, dan seremoni lainnya untuk kepentingan dosen, malah mahasiswa yang sibuk dengan event organizernya dosen, dengan CEO-nya adalah dosen yang bersangkutan. Lantas, di mana letak keterlibatan mahasiswa dalam peraturan pakaian kemahasiswaan.
Jika Anda (dosen) mengaku universitas ISLAM bandung, mengapa tidak langsung menerapkan pakaian syar’i seperti ITB? Yang tidak tanggung-tanggung telah jelas dalam Islam.
Berarti Anda juga (dosen) menyakini bahwa ada freewill/kehendak bebas masing-masing dalam berpakaian.
Dan jika alasannya untuk penyeragaman, apakah yang berseragam itu adil? Ketika KAKAK dan ADIK memiliki bekal uang untuk ke sekolah dengan jumlah yang sama yaitu 10.000, apakah si kakak tidak akan protes? Karena kebutuhannya lebih banyak.
Begitu pun, hitam putih ini, mengapa harus keukeuh? Apakah ada fakultas lain yang menentang Fikom dengan pakaian bebasnya? Mari dengan kami berdiskusi dengan yang bersangkutan. Dan kalau ada pembahasan kembali peraturan ini, mengapa kita sebagai mahasiswa tidak dilibatkan? Apakah dosen dan rektorat lainnya takut kehilangan kredibilitas sebagai petinggi universitas yang bergelar?
Jadi, siapakah yang membuat Anda para dosen keukeuh dengan peraturan hitam-putih ini?
Kami bisa saja menurut, dan nurut, dan manggut-manggut atas peraturan ini, tapi apakah alasan jelasnya?
Karena kami sebagai mahasiswa menaruh curiga, ketika peraturan pakaian hitam putih ini dengan mudah diterapkan tanpa koordinasi dengan BEM dan mahasiswa lainnya. Lantas peraturan yang mana lagi yang akan kami telan mentah-mentah?
Pemakaian batik dan baju koko pada hari Jumat. Apakah berarti pada hari selain Jumat, kita bukan Muslim seutuhnya?
*penulis adalah mahasiswa Fikom Unisba 2011