Lagi-lagi. Kata yang kami sepakati atas beragam kasus intimidasi bahkan pemberedelan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Kali ini menimpa Pers Kampus Universitas Mataram. Sang rektor dengan gagah membekukan kepengurusan UKPKM MEDIA Unram, tahun ini. Via Musanif sebagai Kabag Kemahasiswaan, meminta ruang redaksi untuk dikosongkan paling lambat (1/11) lalu. Ya, memang sudah kelewat tanggung bila dibahas hari ini, namun bukan alasan untuk menutup mata bukan?
Alasan pemberhentiannya, pihak kampus mencap konten MEDIA Unram selama ini dipenuhi muatan kritik “Kami diminta menulis berita yang baik-baik tentang kampus Unram. Tidak boleh mengkritik, karena menurut rektor itu tidak sejalan dengan semangat lahirnya Pers Mahasiswa,” jelas Sulton Anwar sang Pimpinan Umum. Sebelum dititah angkat kaki dari sekretariat, sejumlah pertemuan antara Sang Pemimpin Umum dengan pihak rektorat pun sempat dijalani. Sebelum Media Unram, sejumlah kejadian serupa pun sempat dialami kawan-kawan Pers Mahasiswa. Seperti Daunjati dari ISBI, Didaktika UNJ , dan yang terhangat adalah Lentera dari UKSW.
Benar, sebagai pers mahasiswa, kita tak punya payung hukum yang melindungi. Ya benar pula, bila terjadi pelanggaran etika profesi atau hal lainnya, pers mahasiswa tidak akan pernah berjung di hadapan dewan pers. Namun, apakah dengan kelemahan itu, pihak kampus yang secara umumnya adalah penanggung jawab sekaligus pembina sebuah Pers Kampus harus bersikap arogan? Tak terima dengan warta bernada sumbang, bukan berarti harus mengambil jalan pedang bukan?
Kita semua tahu, UU 40 Tahun 1999 tentang pers, terutama Bab II Pasal 2, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” Ah lagu lama. Namun, apa kita sadar yang diaturnya belum terjamah disegala lini?
Klise mungkin bila berbicara hukum. Namun yang pasti adalah, hari ini kebebasan mahasiswa berceloteh tentang kampusnya kembali ternodai. Ternodai tinta hitam, di mana pembredelan adalah langkah termudah bagi sejumlah kalangan. Kalangan yang enggan mendengar nada sumbang tentang diri dan tanggung jawabnya.
Sungguh ke-lupa-an akan guna Hak Jawab, juga Hak Koreksi yang sejatinya ada bagi mereka. Mereka yang merasa terganggu dengan pemberitaan harian lembaga penerbitan mahasiswa. Dan saat pembredelan terjadi, hal itu menandakan; betapa adikuasanya media hingga mencungkil lubang telinga sejumlah pihak yang enggan dirinya dikritisi. Konyolnya mereka menggunakan kekuatan fungsional untuk menendang bebunyian sumbang itu, ketimbang ber-opini dan membeladiri di media yang sama. Sungguh publik bisa menilai, tak seperti gambaran teori jarum hipodermik yang kolot itu.
Untuk perkembangan terkini, sejumlah kawan sesama buruh tinta telah mengguratkan pena demi arti kata solidaritas. Hanya itu yang kita punya, agak pesimis memang kalimat tadi, namun bukan berarti kita ikut terbuai kesenduan utopia. Solidaritas, satu kata berjuta kekuatan yang kami percaya selalu berbuah manis, lambat atau cepat.
Redaksi.