Dua aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Jeritan Rakyat (Ajra) berunjuk rasa mengecam ketertutupan pemerintah dan DPR saat melakukan pembahasan draft rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Alun-alun Serang, Banten, Rabu (6/7/2022). Mereka menuntut pemerintah dan DPR mempublikasikan draft rancaangan KUHP tersebut selama masa pembahasan secara terbuka untuk dikritisi publik supaya rakyat bisa turut berpartisipasi dan memberikan aspirasi mereka. (Foto: Asep Fathulrahman/ANTARA FOTO)
Suaramahasiswa.info, Unisba – Perumusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang jauh dari jangkauan publik menyebabkan berbagai desakan penerbitan draf terbaru bermunculan. Mengutip data survei dari Kompas.com mengatakan, 89.3 persen responden mengaku tidak mengetahui adanya rencana pengesahan RKUHP. Persentase ini menimbulkan kekhawatiran karena dinilai menyalahi hak atas informasi.
Sebagai negara demokrasi, masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam aturan hukum dan kebijakan pemerintah. Hal tersebut dijamin dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan diratifikasi melalui UU No.12 tahun 2005. Pada pasal 25 A menyatakan, rakyat berhak ikut serta dalam pelaksanaan urusan publik, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.
Keterbukaan akan draf RKUHP pun sebenarnya telah diatur pada Pasal 5 UU No. 12 tahun 2011 tentang asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dalam kejelasan rumusan dan keterbukaan. Asas keterbukaan di dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan haruslah bersifat transparan dan terbuka.
Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dengan menggunakan hak memberikan masukan secara lisan maupun tulisan, seperti tercantum pada pasal 96 ayat 1 UU No. 12 tahun 2011. Disana tertulis jika masukan tersebut dapat dilakukan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum, Kunjungan Kerja, Sosialisasi, ataupun Seminar.
Sayangnya, hingga saat ini perjalanan menuju pengesahan RKUHP masih terkesan eksklusif. Jalan mengakses draf RKUHP yang sulit hanya memperburuk koalisi masyarakat sipil untuk mengikuti perkembangan pembahasan RKUHP.
Masih terdapat sejumlah pasal yang dianggap memiliki potensi multitafsir. Bahkan pasal karet yang dapat mengancam ruang kebebasan sipil, pasal yang rentan digunakan sebagai alat represi lembaga atau individu yang kritis terhadap pemerintah, pasal hukuman mati yang dinilai melanggar HAM dan sebagainya.
Padahal, menurut buku saku Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, keterbukaan dalam pembahasan RKUHP dibutuhkan demi meningkatkan kepercayaan dan keyakinan warga kepada lembaga legislatif. Selain itu, transparansi dapat membuka pintu lebar untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat dalam mengomunikasikan kepentingan mereka. Dengan keterbukaan negara dapat menciptakan kecerdasan kolektif dan meningkatkan pemahaman akan peran dan anggota parlemen.
Apabila ketentuan dalam RKUHP ini disahkan tergesa-gesa maka akan merugikan kelompok rentan, minoritas, dan berpotensi meningkatkan diskriminasi terhadap perempuan. Maka dari itu diperlukannya transparansi dalam pembentukan undang-undang ini dengan sosialisasi yang melibatkan masyarakat sipil dan keterbukaan pemerintah terhadap draf RKUHP yang akan disahkan.
Penulis: Syifa Khoirunnisa
Editor: Sophia Latamaniskha