
Aktivis media sosial Indonesia menggelar aksi protes terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Permenkominfo) No. 5 Tahun 2020 di depan kantor Kominfo, Jakarta Pusat pada Jumat (22/7). (Foto: Taris Iman/Deutsche Welle)
Suaramahasiswa.info, Unisba- Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menjadi perbincangan di masyarakat Indonesia, khususnya pengguna media sosial setelah beberapa waktu lalu mengancam akan memblokir Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) besar seperti Google, Whatsapp, Twitter, dan masih banyak lagi. Ancaman tersebut berlaku bagi PSE lingkup privat (Swasta) yang tidak mendaftar sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Permenkominfo) No. 5 Tahun 2020.
Bukan tanpa sebab, peraturan menteri tersebut menjadi kontroversi karena memiliki pasal-pasal yang dianggap tidak memiliki tolok ukur jelas (Baca: Karet). Sama seperti pendahulunya (UU-ITE). Seorang ahli hukum, Herlambang Wiratraman menyimpulkan dalam wawancaranya dengan Kompas.com jika Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 ini bermasalah dan mengancam kebebasan berekspresi.
“Substansi hukumnya masih jauh dari standar bahkan bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan berekspresi.” Ungkap Herlambang dalam wawancara dengan Kompas.
Terdapat banyak pasal yang kontroversial mulai dari pengekangan, melanggar privasi bahkan hingga mengancam kebebasan berekspresi. Contohnya dalam Pasal 2, Pasal 7 dan Pasal 47 yang mewajibkan PSE untuk mendaftar. Herlambang menilai jika pasal-pasal tersebut menunjukan represifitas atau pengekangan pemerintah Indonesia kepada PSE dan penggunanya dengan memaksa PSE untuk patuh kepada hukum siber ini.
Selain pasal-pasal yang mengekang, ada juga pasal yang rentan menyalahgunakan data dan melanggar ruang privasi masyarakat. Contohnya dalam Pasal 21 dan Pasal 36 ayat (5) yang menyebutkan bahwa sistem atau data elektronik dapat diakses oleh kementerian atau lembaga dan aparat penegak hukum dalam rangka pengawasan maupun penindakan hukum. Hal ini berpotensi melanggar privasi masyarakat dalam menggunakan sistem elektronik.
Adapun pasal yang dapat mengancam kebebasan berekspresi adalah Pasal 9 ayat (3) dan (4). Pasal tersebut mengatur tentang kewajiban PSE untuk tidak memuat maupun memfasilitasi dimuatnya informasi yang dilarang. Kriteria informasi yang dilarang tersebut adalah informasi yang melanggar perundang-undangan, cara untuk mendapatkannya dan informasi yang meresahkan masyarakat juga mengganggu ketertiban umum.
Pasal tersebut tidak memiliki tolok ukur yang jelas pada kriteria “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” karena dapat memiliki tafsiran yang luas. Pasal ini dapat mengancam kebebasan berekspresi masyarakat ketika menyampaikan kritikan kepada suatu pihak terlebih kepada pemerintah dan aparat penegak hukum melalui media sosial atau situs artikel.
Lebih lanjut, informasi yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum tersebut dapat diminta untuk diturunkan atau diblokir oleh masyarakat, kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum, dan lembaga peradilan sesuai dengan Pasal 14. Secara tidak langsung, orang yang memiliki kepentingan politik dapat mengajukan pemblokiran kepada konten yang dinilai “meresahkan” atau mengganggu ketertiban umum secara sepihak.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam siaran pers-nya menilai jika pasal-pasal dalam Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tersebut dapat menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi hingga kebebasan pers di Indonesia. AJI Indonesia bersama dengan Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 telah meminta agar Kominfo membatalkan aturan tersebut.
“Tapi ternyata Kominfo tidak mau mendengarkan aspirasi publik. Padahal Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 akan berdampak luas pada publik, termasuk komunitas pers,” ungkap Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito dalam siaran pers AJI Indonesia pada Kamis (21/7).
Hingga kini masih banyak gelombang penolakan terhadap Permenkominfo dari berbagai pihak, mulai dari menandatangani petisi hingga mengirimkan surat terbuka. Peraturan tersebut dianggap memberangus kebebasan berekspresi dalam dunia digital.
Penulis: Tsabit Aqdam Fidzikrillah
Editor: Putri Mutia Rahman