Seorang mahasiswa sedang berorasi di hadapan massa dalam sebuah aksi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat, Jalan Diponegoro No. 27 Bandung pada Kamis (14/4/2022) lalu. (Foto: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM)
Oleh Tsabit Aqdam Fidzikrillah
Suaramahasiswa.info, Unisba – REFORMASI DIKORUPSI, MOSI TIDAK PERCAYA, DPR K****L.
Beberapa ungkapan di atas biasanya ditulis memakai cat semprot warna merah atau hitam pada bagian belakang spanduk bekas, belakangan ini mungkin sering ditemukan di antara kerumunan orang beralmamater (mahasiswa) dalam aksi di depan “Rumah Rakyat”. Jumlah kekuatan massa yang berkerumun membawa spanduk tersebut tidak menentu, umumnya tergantung pada cuaca—perpolitikan—dan faktor lainnya.
Lalu, apa saja faktor lain yang dapat memengaruhi jumlah kekuatan massa aksi mahasiswa tersebut. Faktor yang mungkin paling banyak dibicarakan juga dituliskan dalam jurnal-jurnal diluar sana adalah faktor efikasi politik dan kepercayaan politik pada diri seorang mahasiswa. Efikasi politik adalah keyakinan seorang individu kalau perannya dalam perpolitikan dapat berpengaruh bahkan mengubah sesuatu.
Sedangkan kepercayaan politik sendiri merupakan rasa percaya/tidak percaya masyarakat—dalam hal ini mahasiswa—terhadap suatu rezim atau sistem politik. Adapun ketika masyarakat tidak mempercayai suatu rezim tersebut maka akan timbul emosionalitas massa yang memunculkan gerakan massa. Kedua hal tersebut tentunya akan memengaruhi kuantitas massa dalam sebuah aksi.
Bicara soal jumlah kekuatan massa, menurut penulis tidak akan adil jika tidak membicarakan juga soal kualitas dari massa tersebut. Sebenarnya penulis sendiri belum mengetahui cara mengukur kualitas dari sebuah massa aksi, kecuali dari seberapa keras dia meneriakan kata Revolusi. Menurut penulis, kualitas lain juga patut dipertanyakan, seperti seberapa mengerti peserta aksi terhadap isu terkait dan pertanyaan-pertanyaan lain.
Bukan maksud penulis tidak menghargai orang-orang yang turun aksi hanya berdasarkan pada ajakan dan emosi. Tetapi hal-hal seperti berjoget Tik-Tok saat aksi dan menggunakan tulisan-tulisan konyol yang kurang tepat dengan isu terkait akan dapat diminimalisir jika kualitas massa aksi memadai. Meskipun perubahan sosial adalah karya berjuta-juta massa, tapi setidaknya berikan edukasi terhadap massa tersebut dengan propaganda yang baik dan efektif.
Memang, mengumpulkan massa dan menghimpun kekuatan guna mencapai tujuan bersama akan terasa sulit. Bahkan, gerakan mahasiswa tahun 1998 yang sering dijadikan contoh aksi mahasiswa zaman sekarang pun disebutkan terkendala dalam mengumpulkan massa. Salah satunya dikatakan oleh mantan Ketua Senat Mahasiswa (SM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) sekaligus sebagai salah seorang aktivis 1998, Pande K Trimayuni.
“Zaman dulu ada kebijakan mahasiswa nggak boleh berpolitik praktis. Jadi apa yang bisa dilakukan mahasiswa saat itu melalui menghimpun diri dalam kelompok studi itu.” Ungkap Pande dalam salah satu wawancara dengan Kompas.com.
Pande sendiri menjelaskan jika salah satu cara untuk menarik perhatian mahasiswa saat itu adalah dengan menggelar berbagai macam diskusi dan acara kebudayaan. Dengan begitu massa mahasiswa dapat dikumpulkan meski masih dalam lingkup satu kampus.
Selain Pande, seorang mantan aktivis 1998 bernama Adnan Anwar juga mengatakan dalam wawancara dengan CNN Indonesia kalau masih sedikit mahasiswa yang memiliki satu tujuan sama dan masih ragu dalam memperjuangkannya. Namun semua keraguan tersebut tiba-tiba hilang ketika peluru sudah bersarang di tubuh empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998, seketika membuat seluruh massa membulatkan tekad untuk meruntuhkan Orde Baru (Orba).
Contoh kesulitan mahasiswa di masa Orba tersebut membuat penulis cukup terkejut karena dengan segala halangan yang ada mereka dapat mencapai hasil yang cukup signifikan dengan meruntuhkan rezim saat itu. Rupanya ada hal yang penulis tidak sadari jika pergerakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh elemen mahasiswa tetapi juga dengan elemen lain.
Masyarakat umum non-mahasiswa ternyata memiliki peranan besar dalam reformasi 1998 yang selama ini penulis kira hanya milik mahasiswa. Sialnya penulis sendiri pernah berbangga hati atas posisi sebagai mahasiswa. Hal tersebut menyadarkan penulis jika adanya mahasiswa dalam perubahan sosial bukan sebagai pemimpin perjuangan.
Penulis rasa untuk menghimpun kekuatan massa mahasiswa harusnya berjuang bersama dengan yang diperjuangkannya—Rakyat! Bukannya merasa eksklusif dengan tidak memperbolehkan massa aksi yang berpakaian biasa tanpa almamater.
Mohon maaf apabila salah kata, salam damai, salam hangat dan salam satu aspal.
Penulis merupakan pengurus Pers Suara Mahasiswa