Ilustrasi pemaknaan suatu kata berdasarkan ekspresi. (Ifsani Ehsan Fachrezi/SM)
Mengingat pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu sekolah menengah, sang guru menjelaskan kalau kata memiliki makna yang terbagi menjadi denotatif dan konotatif. Lanjut dijelaskannya bahwa makna denotatif yaitu makna kata yang sesungguhnya, sedangkan makna konotatif yaitu memiliki “rasa emosi” dalam pengartiannya. Makna dari kata kursi berarti kursi, sedangkan mengucapkan anjing pengertiannya justru bergantung pada kepercayaan kelompok masyarakat.
Makna kata tidak bisa dipisahkan dari bahasa. Sebagaimana penggunan bahasa dimanapun dan kapanpun, jelas tanpa bahasa, ide abstrak dalam pikiran tidak bisa tersampaikan kepada lawan bicara. Yuval Noah Harari dalam bukunya berjudul Sapiens menyebut tanpa adanya bahasa, perkembangan manusia atau homo sapiens tidak bisa berkoloni untuk bertahan hidup. Akhir cerita, bahasa membantu Homo Sapiens menyingkirkan jenis Homo lainnya.
Perkembangan bahasa dari berupa simbol acak berupa gerak tangan, mulut, maupun suara lantas disepakati makna simbolnya oleh kelompok masyarakat agar mudah dipahami merupakan keunikan perjalanan pemaknaan kata. Fungsi dari bahasa itu sendiri dapat dikaji secara makna dan arti kata atau biasa disebut semantik, kemudian fungsi bahasa dijelaskan berdasarkan pemaknaannya dengan makna denotatif dan konotatif.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, pengertian kata konotatif bergantung kepercayaan dari kepercayaan kelompok masyarakatnya, bisa bermakna positif ataupun negatif.
Yasraf dalam jurnal Semiotika Teks: Sebuah Pendekatan Analisis Teks menyebut bahwa konotasi menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda/kata dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan, yang disebut makna konotatif.
Seperti istilah “anak emas” memiliki konotasi positif yang berarti anak paling disayangi, kesepahaman kelompok masyarakat perihal emas yang berharga sehingga diberi perawatan khusus memberikan makna tambahan dari sekedar kata “anak”.
Makna kata konotasi yang bersifat ganda atau polysemy pun bisa dipengaruhi oleh kebiasaan penggunaan kata di lingkungan dan situasi tertentu. Semisal seseorang menggunakan ucapan “anjir” untuk menunjukkan ekspresi terkejut melihat keluar-biasaan karena meniru orang-orang di lingkungannya menggunakan kata tersebut pada situasi yang serupa.
Mudahnya seperti ini
Kata + kepercayaan/pengalaman kelompok masyarakat terhadap kata tersebut ialah baik = konotasi baik
Kata + kepercayaan/pengalaman kelompok masyarakat terhadap kata tersebut ialah buruk = konotasi buruk
Rumus diatas pada pelaksanaannya tidak serta merta bisa dibentuk dengan cepat. Jika ingin memberikan rasa emosi pada kata baru, dibutuhkan kelompok masyarakat satu dan lainnya yang menerima atas makna kata baru yang dibentuk. Pada situasi dan lingkungan lain, kebiasaan kelompok masyarakat terhadap penggunaaan ucapan “anjir” bisa jadi untuk menjelaskan aliran air sesuai pengertiannya di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Pertikaian tim bubur diaduk dan tim tidak diaduk saja masih gaduh diperdebatkan, tapi untungnya tidak saling melaporkan. Pertikaian bubur belum menemukan titik temu (yang sebenernya ga penting), sudah muncul lagi sikap ketidak-terimaan dari pengunaan kata “anjay” karena bersifat melecehkan lawan bicara (tambah ga penting).
Nampaknya kata yang diributkan sekarang ini terdapat perbedaan makna yang ekstrem, bagian menariknya adalah hingga menghasilkan surat edaran dari institusi negara seolah masalah ini sangat penting. Ketika surat edaran dikeluarkan pada 29 Agustus oleh Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjadi boomerang karena makna kata bergantung pada kepercayaan kelompok masyarakat. Sejauh yang saya pahami, penggunaan kata “anjay” digunakan untuk mengekpresikan kekaguman yang sifatnya positif.
Apalagi bahasa slang ini jenisnya banyak sekali dan makna katanya bisa berubah sesuai jaman. Karena makna kata sifatnya tidak mutlak, sewajarnya saja ketika ketidaktahuan adanya perbedaan makna bisa dimaklumi. Lagian, kalau merasa kata tersebut melecehkan sebabnya bukan pada makna kata-nya tapi individunya yang merasa dilecehkan atau tidak.
Penulis: Muhammad Sodiq
Editor: Ifsani Ehsan Fachrezi
Klo aku sih ga ush ngeributin lah cmn perkataan doang selagi bnyk perkataan yg baik,knp hrus di ucapin perktaan jelek sih,lagian yg rugi diri kalian sendiri.Dah lah stop biar pihak yg berwajib saya kita ma hanya bisa mendokan saja swmoga baik buat kita dan baik buat negara.
Iyaaa bener banget, karena kalo menurut saya pemakaian kata itu gimana perspektif kita, kalo misalnya kata ‘anak’ saja yang kita lontarkan dengan bermaksud untuk hal negatif, bisa jadi juga kata yang tidak boleh di ucapkan, sedangkan kalo dilontarkan untuk hal positif juga bakal melahirkan hal positif. Untuk merundingkan kata demi kata seharusnya tidak usah terlalu baku dan mengganggu kelompok masyarakat tertentu. Karena pemilihan kata dan bahasa yang kita ucapkan menurut saya itu hak setiap orang di dalam hidupnya masing-masing. Selagi tidak merugikan banyak orang dan mengerti waktu untuk dilontarkan tidak masalah.